Akhir-akhir ini, berbagai media massa Indonesia tidak pernah luput dari pemberitaan mengenai penerapan tatanan kehidupan yang baru, atau era new normal. Hal ini juga tidak terlepas dengan pemberitaan mengenai perhelatan pernikahan di sejumlah daerah wilayah Indonesia, di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Sebagaimana kita ketahui, setiap sehabis Idul Fitri, sebagian masyarakat Indonesia memanfaatkan waktunya untuk melangsungkan pernikahan di bulan syawal. Lalu bagaimana dengan pernikahan di era new normal?
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
Selain itu, pernikahan juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna melangsungkan kehidupan umat manusia, serta menjadikan manusia senantiasa mengingat Allah. Allah Swt berfirman:
وَمِن كُلِّ شَىْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S Al-Dzariat: 49)
Walimatul ‘Ursi di Era New Normal
Dalam perkawinan, dikenal suatu prosesi yang dinamakan walimatul ‘ursi atau sering disebut dengan resepsi pernikahan. Prosesi ini dilakukan untuk memberitahukan khalayak ramai bahwa kedua mempelai telah menjadi suami istri. Sekaligus, sebagai rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya pernikahan tersebut. (Abdul Aziz Dahlan, 1999)
Resepsi pernikahan di dalam Ilmu Fiqh dikenal dengan istilah walimatul ‘ursi, yang terdiri dari dua kata dalam bahasa Arab. Yaitu al-walimah dan al-‘urs. Walimah berasal dari dua kata awlama yang artinya berpesta, mengadakan jamuan/kenduri, atau kata al-walimah (jama: walam) yang artinya jamuan atau pesta.
Sedangkan ‘urs berasal dari kata a’rasa yang artinya menyelenggarakan pesta perkawinan, atau kata al-ursu yang artinya perkawinan. (Ahmad Warsono Munawwir, 1997). Maka secara bahasa, kalimat walimatul ‘ursi mempunyai arti pesta perkawinan.
Kata walimah apabila diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka akan menjadi walimah yang di dalam fiqh Islam mengandung dua makna. Yaitu makna umum dan makna khusus. Makna umum dari walimah, adalah seluruh bentuk perayaan yang melibatkan orang banyak.
Sedangkan walimah dalam makna khusus disebut walimatul ‘ursi. yaitu pernikahan yang bertujuan untuk memberitahukan khalayak ramai, bahwa kedua mempelai telah resmi adanya akad nikah yang sah menjadi suami istri. Wujud rasa syukur kepada Allah SWT. (Slamet Abidin, 1999)
Hukum Walimah
Hukum walimah menurut jumhur ulama adalah sunnah. Hal ini dipahami dari sabda Nabi yang berasal dari Anas ibn Malik, menurut penukilan yang Muttafaqun ‘alaih: “Abdurrahman bin Auf berkata: Nabi Saw bersabda kepadaku: Adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing”. (HR. Bukhari)
Namun Wahbah az-Zuhaili dalam Kitabnya Fiqh Islam Wa Adillatuhu, menjelaskan bahwa resepsi pernikahan menurut jumhur ulama merupakan sunnah yang sangat dianjurkan. Dan hal tersebut merupakan pendapat yang masyhur dari Madzab Malikiyah dan Hanabilah, serta pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. Karena yang demikian hanya merupakan tradisi yang hidup, melanjutkan tradisi yang berlaku di kalangan Arab sebelum Islam datang. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui oleh Nabi untuk dilanjutkan dengan sedikit perubahan, dengan menyesuaikannya dengan tuntunan Islam. (Amir Syarifuddin, 2006).
Sebagaimana Nabi SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang kaya yang ingin datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang kepada (kaya). Barang siapa tidak memperkenankan undangan, maka sesungguhnya durhaka kepada Allah dan Rasulnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas, menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai kemampuan. Hal ini ditunjukkan Nabi Saw, bahwa perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain. Tetapi, semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang. (Amir Syarifuddin, 2006)
Ketentuan Akad Nikah di Era New Normal
Namun, perlu kita ketahui di tengah pandemi yang masih berlangsung, agar penerapan the new normal berjalan dengan baik sesuai yang diinginkan.
Maka dengan cara mematuhi paduan protokol kesehatan yang sudah diterbitkan Menteri Agama Fachrul Razi, yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2020: Tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi.
Adapun ketentuan akad nikah di rumah ibadah yaitu:
- Memastikan semua peserta yang hadir dalam kondisi sehat dan negatif Covid-19.
- Membatasi jumlah peserta yang hadir. Maksimal 20 persen dari kapasitas ruang, dan tidak boleh lebih dari 30 orang.
- Melaksanakan dengan waktu se-efisien mungkin.
Secara umum, panduan kegiatan keagamaan ini dan kegiatan agama sosial yang diatur dalam surat edaran tersebut tidak hanya didasarkan pada status zona yang berlaku. Tetapi juga memperhatikan kasus penularan di lingkungan rumah ibadah.
Tapi untuk resepsi, belum ada keputusan resmi dari Menteri Agama Fachrul Razi. Hal tersebut perlu diperhatikan bagi KUA (Kantor Urusan Agama) untuk selalu senantiasa mengikuti panduan protokol kesehatan. Yaitu dengan memakai masker, kaos tangan pada saat dan membatasi jumlah orang pada saat prosesi akad nikah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, tentang pedoman tatanan normal baru produktif dan aman Coronavirus Disease 2019 bagi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah nomor 440-830/2020, isinya nantinya masyarakat yang ingin menggelar pernikahan harus tunduk pada pedoman. Dengan penerbitan izin normal baru, oleh unit pemerintah daerah.
Adapun Panduan Peribadatan Jamaah Muhammdiyah Dalam Masa Pandemi Covid-19 Melalui Lampiran Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/EDR/I.O/E/2020 Tanggal 12 Syawal 1441 H/04 Juni 2020 M. Yang isinya yaitu dengan mencuci kaki dan tangan, diutamakan untuk mandi terlebih dahulu, mengganti pakaian, memakai masker, menjaga jarak, tidak berkerumun, dan lain-lain.
***
Untuk penyelenggaraan resepsi pernikahan, dari Gabungan Perkumpulan Penyelenggara Pernikahan Indonesia (GP3I) mengusulkan kepada pemerintah. Di tengah diberlakukannya kebijakan new normal yang mulai tengah berlangsung, yaitu memberikan usulan untuk: mencuci tangan, menyediakan metal detector atau x-ray di gedung-gedung untuk mendeteksi barang-barang yang dibawa, dan pengukuran suhu tubuh menggunakan pemindai suhu atau thermo-gun. Adapun apabila didapati tamu yang suhu tubuhnya tidak lazim, maka harus dibawa ke bilik kesehatan.
Kemudian untuk kotak amplop, uang diganti dengan scan barcode non-tunai. Para hadirin tamu juga harus menggunakan masker. Resepsi digelar dalam dua sesi dengan durasi 2 jam per sesi, dan disemprot disinfektan per jeda sesi, sehingga penggunaan gedung akan lebih panjang. Dekorasi juga dihindari material berbahan kain dan bunga palsu, yang dinilai bisa menjadi pembawa virus.
Di samping itu, anak-anak dan orang tua disarankan tidak diundang ke resepsi dengan alasan kesehatan. Adapun juga bisa menggunakan solusi virtual wedding. Pengantin dan tamu tetap bisa bertegur sapa seperti biasa, meski tak bisa bertatap muka secara langsung.
Editor: Zahra/Nabhan