Hadis Nabi yang termaktub dalam hadis-hadis sekarang ini, pada awalnya merupakan hasil dari kesaksian sahabat terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi. Maka, sahabat secara umum paling mengetahui dan merupakan pengemban tugas yang terpercaya dari tradisi Nabi. Bagi yang tidak mengetahui langsung dari Nabi, mereka dapat bertanya kepada sahabat lain atau mengamati praktik para sahabat.
Sebelum hadis-hadis dibukukan dalam kitab-kitab, telah terlebih dahulu mengalami jalur periwayatan yang panjang. Cara periwayatan dan menyampaikan hadis pada zaman Nabi tidak sama dengan zaman berikutnya.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih kongkrit, berikut ini dikemukakan cara periwayatan hadis pada masing-masing periode.
Periwayatan Hadis pada Zaman Nabi
Para sahabat pada umumnya sangat berminat dalam menerima hadis dan menyampaikannya kepada sahabat lain.
Mereka berusaha menjaga dan mengamalkannya, sehingga ketika mereka tidk menyaksikan peristiwa yang telah berlangsung, mereka akan bertanya kepada yang lain. Perhatian mereka yang demikian besar tidak terlepas dari sebab-sebab berikut:
- Mereka diperintah untuk mrngikuti nabi dan sunnahnya serta menjadikan sebagai suri tauladan. (QS. Al-Ahzab: 21)
- Mereka diperintah untuk menghafal sunah dan menjaganya serta menyampaikannya kepada yang lain sesuai dengan apa yang mereka terima.
- Nabi menjadikan sunnahnya sebagai pegangan hidup dan kewajiban mengamalkannya, disamping al-Qur’an yang mana bagi siapa saja yang berpegang teguh dengan keduanya, maka dia tidak akan pernah tersesat selamanya. (Mustafa Amin Ibrahim, t.t: 108)
Sahabat dalam menerima hadis dari Nabi langsung direkamnya dalam ingatan atau hafalan mereka dan ada juga dalam bentuk tulisan. Hadis itu kemudian disampaikan kepada sahabat lainnya, dan bagi sahabat yang menerima hadis itu berusaha mengonfirmasikan kembali kepada Nabi. Dengan cara itu, maka kemungkina terjadinya pemalsuan hadis sngat kecil.
Perlu diketahui bahwa periwayatann pada zaman Nabi banyak berlangsung secara lisan berdasarkan hafalan masing-masing sahabat. Walaupun demikian, periwayatan hadis pada zaman Nabi berjalan lancar dan hadisnya sangat terjaga karena pengawasan Nabi sendiri dan kesungguhan para sahabat dalam menjaganya, baik secara menerima atau menyampaikannya.
Periwayatan Hadis pada Zaman Sahabat Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat-sahabat yang memegang tampak kepemimpinan yadalah mereka yang disebut dengan Khulafa’ Rasyidin,yaitu Abu bakar, Umar bin Khatab, ‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun demikian tradisi periwayatan hadis tetap berjalan.
Pada masa pemerintahan Khulafa’ Rasyidin, periwayatan hadis semakin ketat. Hal ini karena dilakukan untuk menjaga hadis nabi dari usaha negatif orang-orang yang hendak merusak agama Islam.
Namun ketika wahyu telah berhenti karena wafatnya Nabi, mereka semakin berani dan untuk mengantisipasi usaha mereka Khulafa’ Rasyidin mengambil tidakan sebagai berikut:
- Membatasi dan mereduksi periwayatan
Tindakan yang diambil oleh masa Abu bakar dan Umar yakni mereka membatasi periwayatan hadis. mereka berusaha menjahui dari memperbanyak periwayatan dengan mendasarkan dalil Nabi:
يا ايهاالناس اياكم و كثرة الحديث عني ومن قال على فلايقولن الا حقّ او صدقا فمن قال على مالم اقل فليتبوّء مقعده من النار
Artinya: “Wahai manusia jahuilah memperbanyak hadis dariku barang siapa yang mengatakan dengan menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar. Barang siapa yang berkata atas atas namaku sesuatu yang tdak pernah kukatakan maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka” (Ahmad bin Hanbal,t.t: 297).
- Berhati-hati dan ketat dalam menerima dan menyampaikan hadis
Ciri-ciri periwayatan hadis pada masa ini, mereka tidak langsung menerima dan meriwayatkan hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, kecuali telah terbukti kebenarannya.
Untuk membuktikan kebenaran ini, Abu Bakar meminta kepada periwayat untuk menghadirkan saksi. Sedangkan, Ali bin Abi Thalib meminta kepada periwayat untuk bersumpah atas kebenaran hadis itu. ‘Umar bin Khatab melakukan keduanya dengan maksud untuk berhati-hati.
- Melarang periwayatan hadis yang melampaui batas manusia
Langkah yang ditempuh pleh para sahabat ini adalah mewarisi cara Nabi dalam menyampaikan ajarannya yaitu sangat memperhatikan kadar dan kemampuan sahabat. Oleh karena itu Ali bin Abi Thalib berkata:
حدثوا الناس بما يعرفون اتحبوان ان يكذب الله ورسوله
Artinya: “Sampaikanlah (hadis) kepada manusia sesuai dengan pengetahuan mereka, apakah kamu senang untuk berbuat kebohongan kepada Allah dan Rasul-Nya..”.(Al-Bukhary,jilid 1:hlmn. 41)
Periwayatan Hadis pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat
Sesudah generasi sahabat muncul generasi berikutnya yang disebut dengan tabi’in. Periwayatan pada masa ini meniru periwayatn pada masa Nabi dan sahabat, yaitu dengan musyafahah. Walaupun mereka tidak langsung menerima hadis dari nabi mereka mereka menerima langsung dari gurunya.(Al-Khatib, 1989: 410) Pada masa ini mereka menerima riwayat hadis dari;
- Periwayat generasi sebelumnya (sahabat ) tapi masih sezaman.
- Periwayat satu generasi.
- Periwayat generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan mereka misalnya Zuhry, Anas bin Malik, Sa’id bin Musayyab. Urwah bin Zubeir, Ata’ bin Rabbah, dan Malik bin Annas. (Syuhudi Ismail, 1988:50)
Cara musyafahah ini menunjukkan bahwa mereka masih mendasarkan periwayat pada daya ingatan dan hafalan. Bahkan demi musyafahah ini mereka rela melakukan perjalanan panjang dalam kurun waktu yang lama. Walaupun demikian mereka tetap berpagang teguh pada prinsip periwayatan yang telah ada di masa sebelumnya, yaitu sikap berhati-hati.
Untuk menghadapi pemalsuan hadis ada beberapa usaha yang dilakukan oleh para ulama’, yaitu:
- Meneliti isnad.
- Melipatgandakan keaktifan keilmuan dan kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis.
- Meneliti kebohongan.
- Menjelaskan keadaan periwayat dari segi ke-‘adilan dan ke-dabitan serta jarh dan ta’dil.
- Membuat kaedah untuk mengetahui hadis-hadis palsu.(Al-Khatib, 1898: 428-436)
Kemudian periwayatan hadis pada masa atba’ at-tabi’in sudah tidak menggunakan musyafahah, hafalan dan kekuatan ingatan, tetapi mulai menggunakan tulisan, catatan dan kitab. Hafalan adalah sebagai penguat, sedangkan catatan adalah untuk kehati-hatiannya. Pada masa ini periwayat tetap menerima hadis dari gurunya, dihafal kemudian ditulis. Mereka juga banyak melakukan pengembaraan.
Editor: Yahya FR