Salah satu tema yang cukup marginal dalam kajian Islam hari ini adalah soal persinggungan Islam dan Jawa berikut transformasinya dalam budaya lokalitas. Dalam diskursus tentang keislaman di Nusantara, tema budaya lokal – dalam hal ini Jawa – mengalami “kembang-kempis” (muncul-tenggelam) dibandingkan dengan misalnya wacana dialog antar agama (interfaith dialogue).
Padahal, kalau kita benar-benar serius untuk menguatkan jangkar Islam di Nusantara beserta penerimaannya semestinya dilakukan dengan mencintai dan mengembangkan kebudayaan sebagai titik pijak yang tidak bisa ditinggalkan.
Jauh lebih penting lagi untuk disadari bahwa ribuan kultur lokal yang hidup di setiap jengkal pulau-pulau membentuk Indonesia bukanlah semata-mata – mengutip istilah Jadul Maula – warna-warni dan tetek bengek yang eksotik, melainkan wilayah belajar dan sekaligus modal sosio-kultural dasar kebangsaan cum keberislaman kita.
Sebab di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal – termasuk kultur Jawa – acap kali tersimpan gugusan pengalaman, jejak-jejak kreativitas dan pencapaian-pencapaian mengagumkan dari para genius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, pola pikir dan juga sistem sosial tertentu.
Dalam konteks itu, fakta tentang stigmatisasi dan marginalisasi komunitas “Islam Jawa” dan Islam Lokal di hampir seluruh wilayah Nusantara sejak paruh akhir tahun 60-an hingga sekarang, dalam hemat Jadul Maula, menyentuh kesadaran dan keprihatinan kita tentang pengalaman “bunuh diri sosio-kultural” yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri.
Harus diakui, arus pemikiran modernisme, liberalisme dan semacamnya cukup menggerus akar kebudayaan kita sehingga generasi hari ini kehilangan pijakan sejarahnya dalam menentukan arah bangsa ini.
Islam Jawa
Dalam konstruksi kesarjanaan Barat, Ricklefs dalam Islamisation and Its Opponents in Java, misalnya dengan nada sinisme mengatakan bahwa Islam Jawa memiliki reputasi sebagai varietas Islam yang inferior di beberapa tempat, terutama karena berbeda dari apa yang orang anggap sebagai Islam asli atau yang disebut Islam Timur Tengah.
Selain itu, komunitas muslim Jawa, menurut Ricklefs sebagian besar terdiri dari muslim nominal dengan keterbatasan pengetahuan atau minat pada tuntutan formal ketaatan beragama.
Harus diakui, Islam Jawa memang unik. Keunikan ini disebabkan karena menggabungkan Islam, yang dianggap sebagai “pendatang baru” (new comer) relatif di satu sisi, dengan kepercayaan Hindu, Budha, dan animisme pra-Islam sebagai tuan rumah lokal (local host) di sisi lain.
Terlepas dari kenyataan bahwa Islam Jawa dapat dikategorikan sebagai agama sinkretis, pengutukan orang Jawa sebagai Muslim yang buruk (a bad Muslims) tidak membantu dalam upaya memahami perkembangan Islam di Jawa di mana proses akulturasi antara Islam dan tradisi lokal Jawa telah terjadi secara ekstensif.
***
Cara dan modus operandi asimilasi budaya antara budaya Jawa-Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam sebagaimana dikatakan Masdar Hilmy telah menghasilkan corak asimilasi beda agama yang unik. Sejarah percampuran ini kembali ke masa sembilan wali (baca: Walisongo) dan terutama Sunan Kalijaga, satu-satunya wali pribumi di antara mereka. Sunan Kalijaga lah yang berhasil menjembatani “dua peradaban tinggi, dua zaman sejarah, dan dua agama besar. Beberapa karya ilmiah, yang ditulis oleh sarjana pribumi dan barat, melihat Sunan Kalijaga sebagai representasi dari tradisi Jawa, karena ia keturunan Jawa dan agen dalam Islamisasi Jawa.
Dalam buku ini, Daulat Kebudayaan, Irfan Afifi mengupas secara utuh dan filosofis bagaimana pergulatan Jawa dengan Islam yang saling mempengaruhi, bagaimana persinggungan kebudayaan di antara keduanya, dan laku kebudayaan yang diperankan masing-masing dalam konteks lokalitas Nusantara.
Yang menarik dari buku ini adalah buku ini dipengantari dengan sebuah kalimat filosofis yang patut kita cermati bersama. Kalimat tersebut adalah,
“Bagaimanakah seseorang senyatanya ditakdirkan oleh Allah lahir dan dibesarkan sebagai manusia di sebuah lingkung bahasa dan kebudayaan yang partikular-spesifik, seperti Sunda, Jawa, Melayu atau bahkan Indonesia, mesti menyambut dan menerjemahkan ajaran agama Islam yang diyakini bersifat universal – alias diwahyukan untuk manusia secara menyeluruh, sebagaimana dinyatakan dalam seruan kalam-kalam tertulis di kitab-Nya? Atau mungkin rumus pernyataan lain: Bagaimanakah kita, manusia senyatanya lahir secara lokal-parsial dan partikular itu menerjemahkan ajaran Tuhan yang diyakini bersifat universal?”
Kebudayaan sebagai Basis Sistem Pengetahuan
Dari seluruh olah/laku “proses berbudaya” tersebut sebagaimana dimaklumatkan oleh Wedhatama, titik klimaksnya adalah meningkatnya nilai-nilai dan proses berkemanusiaan itu sendiri menuju kualitas manusia paripurna (insan kamil). Sebagaimana diketahui bersama, gagasan manusia paripurna (insan kamil) merupakan ajaran pokok yang telah menyeruak dan membentuk worldview Nusantara.
Yang ingin Afifi tegaskan dalam buku ini adalah proses menjadi manusia (berbudaya) dalam galur sistem pengetahuan adalah merupakan laku berilmu itu sendiri. Tentu saja, hilirisasinya adalah bagaimana manusia mampu meningkatkan strata kearifan dan kebijaksanaan serta nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, tak heran kiranya dalam istilah tradisi, lanjut Afifi, istilah “sarjana” berasal dari bahasa Jawa, yang merujuk sebagai orang yang telah berhasil atau menuntaskan fakultas kemanusiaannya (wong kang wus putus ing olah ngelmu/ budi).
Pada saat yang bersamaan, istilah ini sekaligus berbeda dengan “sujana” yakni orang yang telah mengetahui banyak hal akan tetapi belum bisa menubuhkan dalam proses laku tindak kemanusiaannya secara paripurna. Karena itu, “endgame” kualitas ilmu seseorang disandarkan kepada peningkatan kualitas wawasan moral ruhani seseorang yang dalam istilah Islam disebut akhlak.
Islam Jawa Tidak Sinkretik
Jika umumnya para pengkaji Barat, sebut saja Clifford Geertz, Ricklefs meng-capture praktik keberislaman dipenuhi sinkretisme, namun tidak bagi Nancy Florida dan Mark Woodward. Sebelum mengulas bantahan kedua sarjana terakhir tersebut, ada baiknya kita mengetengahkan apa itu sinkretisme?
Dalam konteks Islam Jawa, sinkretisme diartikan sebagai percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa dengan cara yang tidak genuine dan terkesan dipaksakan. Sebutan sinkretisme sebenarnya mengimplisitkan semacam ejekan seakan-akan Islam tidak lagi terdisplay dalam wujudnya yang otentik, akan tetapi sudah bercampur (blending) dengan unsur-unsur yang sifatnya eksternal.
Dengan kata lain, penyematan istilah sinkretis dalam praktik keberislaman masyarakat Jawa mengasumsikan bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara kejawaan adalah unsur lain atau tambahan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai liyan; unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai cum dicurigai.
Tanpa diduga sebelumnya, Irfan Afifi menemukan data lain terkait Islam Jawa, bahwa praktik-praktik keberislaman dalam masyarakat Jawa – sebagaimana ditunjukkan Nancy Florida – seperti yang dikhayalkan oleh para penjajah Belanda sebagai bentuk “kesalahan-kesalahan berislamnya orang Jawa”, justru merupakan sebongkah usaha orang Jawa menerjemahkan “tasawuf” dalam konteks pergulatan kebudayaannya, di mana keberagamaan bercorak sufistik (Jawa) tersebut merupakan modus keberagamaan umum di zaman itu, yang memang terlalu pelik untuk disandarkan dan diperbandingkan dengan kriteria keberagamaan Islam bernuansa formal hari ini.
Senada dengan itu, meminjam istilah Mark Woodward (1997) dalam Islam in Java bahwa agama masyarakat Jawa adalah Islam. Sebab doktrin Islam, lanjut Woodward, telah mengganti Hinduisme dan Buddhisme sebagai aksioma kebudayaan. Lebih lanjut, temuan Afifi mengungkapkan bahwa ia mendapati narasi lain yaitu narasi kesarjanaan kolonial bahkan hingga masa pasca kolonial yang ingin menggusur – untuk tidak mengatakan menghapuskan – kontribusi kemenyatuan (Jawa: nyawiji) Islam dan kejawaan yang di waktu itu nyaris mengombang-ambingkan pergulatan “eksistensial” pencarian identitas keindonesiaan, kejawaan, dan keislaman.
Tasawuf dan Revitalisasi Ajarannya
Sebagaimana didengungkan oleh para peneliti, meski dengan sedikit pengecualian di beberapa wilayah, secara umum proses penyebaran awal Islam di Nusantara berlangsung melalui jalan damai yang mencakup jalan perdagangan, perkawinan, kesenian dan kebudayaan.
Dalam tesis yang lebih reflektif, penyebaran Islam ke Indonesia menggunakan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan yang dimaksud adalah menyisipkan ajaran tasawuf ke dalam kesenian-kesenian lokal sehingga menjadi laku beragama yang holistik.
Hal ini juga didukung pendapat Snouck Hurgronje, meski dengan nada mengejek, bahwa keberhasilan proses penyebaran Islam awal yang dilakukan oleh para sufi (baca: Walisanga, Syeikh, Kyai, dan semacamnya) dikarenakan oleh kemiripan ajaran-ajaran metafisika sufi dengan pandangan metafisika Hindu-Budha yang lebih dulu berakar kuat di Nusantara.
Memang tidak bisa dipungkiri, proses Islamisasi awal Nusantara – sebagaimana pendapat Azyumardi Azra dan dilanjutkan Irfan Afifi – berkoinsidensi dengan merebaknya tasawuf abad pertengahan dan perkembangan tarekat. Untuk mengelaborasi pendapat ini, Anda bisa membaca karya Azyumardi Azra yakni Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII.
***
Namun begitu, fakta ini tak harus membawa kesimpulan bahwa pada abad ke-13 dan 14, tasawuf maupun tarekat sudah dikenal dan diresepsi di Nusantara secara luas, namun hanya ingin menegaskan bahwa ajaran dan amalan tasawuf memainkan peranan penting dalam proses perkembangan Islam.
Dalam konteks penubuhan ajaran sufi dalam lembaga keraton, Mark Woodward menunjukkan secara apik bahwa dalam teori kerajawian Jawa, khususnya Mataram Islam, didasarkan pada “kultus kemegahan” yang ia sebut sebagai “teokrasi sufi”. Lebih jauh, proses Islamisasi yang dilakukan oleh para sufi Nusantara, sungguh sangat memudahkan proses penyebaran agama baru ini bagi penduduk Nusantara.
Mereka berdakwah menyesuaikan kondisi sosiologis dan psikologis masyarakat dengan tidak menyerukan penolakan frontal atas pandangan dan doktrin-doktrin keagamaan spiritual agama sebelumnya, melainkan lebih berusaha memberi tafsir ulang (reinterpretasi) menurut perspektif Islam yang dikemas dalam kebudayaan lokal sehingga Islam lebih mudah diterima oleh mereka.
Hal tersebut juga menjadi penekanan dalam buku ini bahwa Islam sama sekali tidak menghapus tradisi lama yang baik, akan tetapi mengisi tradisi tersebut dengan nilai-nilai Islam. Dalam konstruksi peradaban Jawa, njupuk iwak ojo sampek buthek banyune (mengambil ikan tanpa memperkeruh airnya).
Daftar Buku
Judul Buku : Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan
Penulis : Irfan Afifi
Penerbit : Pojok Cerpen dan Tanda Baca
Tahun Terbit : 2023
Tebal : 168 Halaman
ISBN : 978-623-5869-09-4
Editor: Soleh