Jepang (日本国), negara produsen kendaraan bermotor seperti Honda, Suzuki, dan Yamaha ini adalah salah satu negara di Asia yang baru tersentuh cahaya Islam pada dasawarsa akhir abad ke-19 M. Berbeda halnya dengan penyebaran agama Islam di kebanyakan negara Asia lainnya yang didominasi oleh perdagangan dan pelayaran, penyebaran agama Islam di Jepang terjadi karena kerja sama bilateral antara kekaisaran Jepang yang dipimpin oleh Kaisar Mutsuhito dan kesultanan Ottoman yang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II.
Kerja sama antara kekaisaran Jepang dan kesultanan Ottoman dilandasi oleh perasaan senasib kedua belah pihak sebagai negara Asia yang tidak dijajah oleh bangsa Barat pada masa di mana bangsa Barat gencar menancapkan kuku-kuku kotor di tanah jajahan mereka.
Bangsa Barat kala itu membawa misi besar 3G (gospel, gold, dan glory). Gospel (agama) yaitu bangsa Barat menyebarkan ajaran agama Kristen Katolik ke suluruh dunia. Gold (emas) yaitu mereka berniat mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menjelajahi dunia dan melakukan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Glory (kejayaan) yaitu mereka memperluas daerah kekuasaan mereka agar negara dan bangsa mereka dipandang lebih tinggi dan terhormat.
Hal ini memicu kegundahan di hati kaisar Mutsuhito. Ia menyampaikan kegundahannya kepada Sultan Abdul Hamid II karena ia melihat banyaknya misionaris yang masuk dan menyebarkan agamanya di Jepang. Ia berkeinginan agar Sang Sultan juga mengirimkan penyebar agamanya ke Jepang. Ia berharap akan adanya perubahan yang dibawa oleh agama Islam di tanah negeri matahari terbit tersebut.
***
Menanggapi permintaan Kaisar, pada 14 juli 1889 Sultan mengirimkan kafilah untuk menyebarkan agama Islam. Kafilah ini terdiri dari para dai, 607 awak, dan 57 perwira yang dipimpin laksamana Utsman Pasha. Rombongan tersebut sampai di Yokohama pada 7 Juni 1890.
Para dai tersebut menyebarkan dan mengajarkan agama Islam ke penduduk pribumi dengan metode dakwah yang terbuka agar rakyat Jepang mau memeluk Islam dengan suka rela. Setelah selesai berdakwah, para utusan tersebut memutuskan pulang ke negeri mereka. Namun, dalam perjalanan pulang, mereka diterjang badai yang memakan korban lebih dari 550 orang (Storynesia, 2020).
Warga Jepang berinisiatif menggalang dana untuk para korban tersebut. Bantuan tersebut dikirimkan langsung ke Turki. Shotaro Noda, seorang wartawan muda, ikut dalam kafilah tersebut dan ia yang menyerahkan seluruh bantuan yang telah dikumpulkan kepada ketua lembaga bantuan, Riza Hasan Pasha. Ketika kafilah Jepang ingin pulang, Sang Sultan meminta Shotaro untuk tinggal dan mengajarkan para perwira Turki Utsmani bahasa Jepang sekaligus menjadi penerjemah. Shotaro kemudian tertarik dengan agama Islam sehingga ia memutuskan untuk memeluk agama Islam pada 21 Mei 1891. Ia menjadi orang Jepang pertama yang memeluk agama Islam (Agung Sasongko, 2021)
Perkembangan Islam di Jepang
Islam mulai berkembang menyusul masuknya Islam Shotaro Noda. Kemajuan ini dapat dilihat dari dibangunnya masjid pertama di Jepang yaitu Masjid Kobe pada tanggal 2 Agustus 1935. Tidak berhenti hanya di situ, pada tahun 1942 sekelompok militer Jepang membentuk pusat studi khusus yang mengkaji Islam dan dunia muslim. Para tentara diajarkan bersyahadat dan pengetahuan Islam dasar lainnya. Namun yang disayangkan adalah pusat studi ini bubar dan menghilang setelah usainya perang dunia kedua pada tahun 1945. (Rini Kustiani, 2022).
Memiliki hubungan dengan negara Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya muslim membuat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jepang semakin subur sehingga pada tahun 1953, didirikanlah Asosiasi Muslim Jepang (JMA) dengan Sadiq Imaizumi sebagai presiden pertamanya. Organisasi ini menjadi organisasi muslim pertama di Jepang yang sekaligus bukti akan perkembangan dalam penyebaran agama Islam yang sudah terstruktur dalam suatu organisasi. (Iwan Satriawan, 2018)
Di masa kini, angka perkembangan Islam di Jepang menunjukkan hasil yang positif. Pada tahun 2010 ada sekitar 110 ribu hingga 120 ribu umat muslim di Jepang. Angka ini naik hingga 2 kali lipat dalam satu dekade menjadi 230 ribu. Angka tersebut didominasi oleh para imigran yang berasal dari Asia Tenggara. Namun tak menutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat seiring dengan pesatnya imigrasi di negara penghasil wibu tersebut.
Editor: Yahya