Al-Qur’an merupakan kitab suci umat muslim yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Al-Qur’an memiliki banyak makna yang belum terungkap secara jelas.
Oleh karena itu dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kegiatan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an sudah ada sejak Rasulullah. Penafsiran semakin berkembang setelah wafatnya Rasulullah dan banyak masalah dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga banyak perbedaan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Kajian Studi Al-Qur’an di Barat
Dalam kajian studi Al-Qur’an di Barat atau dikenal dengan Qur’anic Studies diklaim memiliki cakupan dan ruang studi yang lebih beragam. Diyakini bahwa kajian tafsir telah masuk ke dalam cakupan Qur’anic Studies.
Pada awalnya, ketertarikan sarjana Barat terhadap kajian Islam secara umum dan studi Al-Qur’an secara khusus telah berlangsung sangat lama. Pada abad ke-12, para sarjana Barat telah memulai untuk melakukan serangkaian studi terhadap Al-Qur’an namun masih bersifat apologetik dan kental dengan nuansa polemik.
Kajian ini pertama kali dipelopori oleh para sarjana Yahudi dan Kristen, di mana mereka melakukan gerakan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa Eropa yang dipelopori oleh Gerbert dari Aurilac.
Dan yang pertama kali memiliki gagasan menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa Latin adalah Petrus Venerabilis kepala Biara Cluny di Perancis.
Ketika itu ia mengunjungi Spanyol pada tahun 1142 M, Petrus terpesona dengan kalangan Katolik yang berbahasa Arab dan hidup di bawah pemerintahan dinasti Islam.
Kemudian, Petrus memanfaatkan mereka untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin, proyek ini dilaksanakan oleh Pedro de Toledo, Herman de Dalmatie, Pendeta Inggris Robert Kennet, dan mendapat bantuan seorang muslim yang memiliki nama samaran Muhammad, orang Islam yang identitasnya misterius. Ia berperan sebagai penerjemah dari teks Arab ke bahasa Spanyol. Kemudian yang lainnya menyunting terjemahan.
Kemudian, proyek ini selesai pada tahun 1143 M. Kemudian kajian Al-Qur’an disusul dengan melakukan berbagai kajian seputar keislaman dan lebih sering menggunakan metode filologi.
Metode Filologi dalam Studi Al-Qur’an
Metode filologi ini diterapkan terhadap karya-karya serta berbagai manuskrip keislaman, termasuk di dalamnya adalah kitab suci Al-Qur’an. Karya-karya tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa modern agar lebih mudah untuk dikonsumsi.
Endress menyatakan bahwa pada akhir abad ke-18, pendekatan filologi ini secara massif mulai dimuculkan. Akan tetapi, metode ini tetap tidak dapat dipisahkan dari semangat polemik-apologetik kristiani terhadap Islam yang selalu berujung pada berbagai pandangan negatif seputar Islam dan Al-Qur’an. Kajian-kajian apologetic semacam ini berlangsung kurang lebih selama enam abad sampai akhir abad ke-18.
Kajian Akademis terhadap Al-Qur’an di Barat
Pada awal abad ke-19 kajian Al-Qur’an di Barat mulai mengalami perubahan yaitu dari kajian yang murni bersifat apologetik dan polemik menjadi kajian yang mulai menapaki sifat akademisnya.
Kajian akademis pertama tentang al-Qur’an pada abad ke-19 ini menurut mayoritas sarjana Barat ditandai degan karya Abraham Geiger yang berjudul Wat hat Mohammad aus dem Judenthume Aufgenommen? yang terbit pada tahun 1833.
Dalam karya ini, penulis meninggalkan pendekatan yang bersifat apologetik dan menuju model pendekatan baru yang lebih bersifat deskriptif yaitu pendekatan historical-criticism (Kritik Historis).
Pendekatan Historis Kritis dalam Studi Al-Qur’an di Barat
Kemudian, pada pertengahan abad ke-19, sejarah agama-agama menjadi disiplin yang diakui di beberapa universitas. Salah satu figur ternama yang bekerja di bidang Islamic Studies dalam sejarah agama-agama adalah Ignaz Goldziher.
Ia merupakan orang yang menerapkan pendekatan historis dan kritik historis pada tradisi agama Islam. Kemudian E.A. Westermack ia dapat menempatkan Islam Maroko dalam konteks cara dan perilaku keagamaan yang lebih luas di berbagai tempat selain Maroko. Louis Massignon memperhatikan Kristen dan Agama-agama India dalam studinya tentang mistik Islam. Tor Andre memperhatikan konteks Syiria dan Manicheanisme pada awal Islam, sedangkan Henry Corbin memperhatikan latar belakang Zoroaster bagi Islam Persia.
Dengan melihat contoh tokoh-tokoh di atas, para sejarawan Muslim dapat mengikuti metode dan prosedur penelitian yang sama sebagaimana diterapkan dalam studi tentang agama-agama selain Islam sehingga di kalangan sejarawan agama-agama tidak hanya terdapat pendekatan historis yang sama, tetapi juga kesatuan substansial dalam metode.
Mazhab historisme berusaha mengasumsikan bahwa Al-Qur’an mempunyai asal-usul dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen dan wahyu yang diterima Muhammad juga merupakan periswa natural, bukan peristiwa supernatural.
Sebab menurut mereka, pengetahuan yang diperoleh Muhammad yang dianggapnya wahyu adalah pengetahuan yang dihasilkan melalui trace-medium (keadaan tak sadar diri) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun.
Hanya saja, apa yang dikemukakan oleh madzhab ini terbantahkan dengan historis bahwa Bibel perjanjian Lama baru diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 900 M, dan perjanjian baru diterjemahkan tahun 1171 M, dan tidak ada bukti sejarah bahwa Muhammad sebagai seorang yang pandai bahasa Ibrani.
Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Al-Qur’an di Barat
Pada abad ke-20 para sarjana menggunakan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini mempunyai pandangan untuk mencari esensi suatu fenomena dengan prasangka. Dalam pendekatan ini, sesuatu tidak dilacak asal-ususlnya, sebagaimana dalam pendekatan historisme, tetapi dilakukan identifikasi struktur internalnya.
Maka, kelompok ini ingin memperlihatkan suatu pemahaman dan keyakinan terhadap kitab suci, yaitu Al-Qur’an. Adapun tokoh-tokoh yang menggunakan pendekatan ini, antara lain Charles J. Adams, William Graham, Maurice Bucaille, Marcel A. Boisand, William C. Smith, Roes Crellius.
Pendekatan Historisme-Fenomenologis
Kemudian pendekatan selanjutnya adalah historisme-fenomenologis. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang menggabungkan dua pendekatan sebelumnya. Di mana, pandangannya adalah melacak asal-usul pandangan ajaran keagamaan dengan melibatkan pemahaman dan keyakinan dari penganutnya terhadap ajaran tersebut.
Hal ini dilakukan oleh W. Montgomery Watt, di mana ia melihat adanya sesuatu yang nonhistoris (Al-Qur’an) dan yang historis (Muhammad). Yang pertama bersumber dari Tuhan dan yang lainnya adalah prosuk dari lingkungan.
Kemudian para sarjana Barat selain meneliti tentang teks Al-Qur’an, mereka melakukan pengkajian pula terhadap penafsiran Muslim terhadap teks Al-Qur’an.
Oleh karena itu karya Ignaz Goldziher yang berjudul Die Richtungen der Islamischen Koraanslegung (1920), telah berupaya mengungkapkan bebrapa mazhab penafsiran yang ada semenjak munculnya tafsir sampai periode Muhammad Abduh.
Editor: Yahya FR