Perspektif

Perlu Satu Frekuensi Melawan ‘Monster Kresek’

3 Mins read

“Monster Kresek” mungkin adalah hal yang baru terdengar. Apa itu sebenarnya? Tulisan ini ingin mencoba sedikit membuka pikiran terkait dengan monster kresek, kemerdekaan, dan lingkungan.

Alkisah, satu hari pasca proklamasi, selesai mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Soekarno pulang berjalan kaki dan bertemu dengan tukang sate. “Sate 50 tusuk”, konon itu perintah pertama dari presiden Indonesia. Lalu, apakah sate tersebut kemudian dibungkus dengan kantong kresek seperti yang menjadi kebiasaan kita sekarang? Apakah para pendiri bangsa pernah mengira bahwa isu sampah plastik mengancam eksistensi bangsa?

Dikutip dari biografi “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adam, tidak mengungkap apakah sate tersebut dibungkus dengan kantong kresek. Kemungkinan besar tidak. Jika kita menyandarkan informasi dari wikipedia bahwa kantong plastik baru diciptakan pada 1959 oleh ilmuwan asal Swedia, Sten Gustaf Thulin.

Yang jelas, meloncat zaman sekarang, tiap kita belanja apa dan di manapun, tidak lepas dari kantong kresek. Betapa kita mengalami obesitas kantong kresek, tak mengenal kasta. Tahu-tahu, kini dijajah sampah. Terbukti, mengacu data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, volume sampah di Indonesia pada 2019 mencapai 68 juta ton dan 14 persen atau 9,52 juta ton di antaranya adalah sampah plastik.

Teror Monster Kresek

Jika direka-reka, dalam setahun bisa lahir 95 juta monster kresek. Bila dibagi rata untuk 416 kabupaten dan 98 kota, maka akan muncul 185.000 makhluk monster kresek di tiap kota. Eits, sebentar dulu. Memang makhluk macam apa monster kresek itu?

Dia adalah karya seni yang diolah dari 5 kuintal limbah kantong kresek. Patung berwujud hanoman, bertinggi 4,5 m dan berdiameter 2,5 meter. Ia hadir di antara jajaran bendera dan pernak-pernik bernuansa merah-putih dalam perayaan kemerdekaan Indonesia ke-75 di Jalan Nakula, Kota Tegal. Ditugasi untuk menakut-nakuti warga tentang bahaya sampah kresek. Kreatif, sebab menampilkan angka statistik timbunan limbah tak mungkin dilirik oleh warga. Sementara saat ini, statistik yang terasa horror hanya angka sebaran virus corona di media.

Baca Juga  Antara Peradaban Timur dan Barat

Masyarakat tradisional kreatif menumbuhkan mitos berupa kisah horor, hantu dan keangkeran pohon, sungai, danau atau hutan yang berfungsi ampuh merawat ekosistem dan menjauhkan dari campur tangan manusia.

Tetapi, bagi manusia modern “akal-akalan” macam itu tidak mempan, bahkan justru dimaknai sebaliknya. “Dilarang buang sampah di sini” menjadi pembenaran, di situlah tempat menggunungkan sampah. Peringatan “Jangan kencing di sini”, di situlah tepatnya, tercium aroma yang kian hari semakin pesing. Tak heran, kemudian ditulis dengan nada murka, “Yang buang sampah di sini adalah setan”

Mengerem “perilaku setan” ini lalu diformalkan peraturan daerah yang mendenda warga membuang sampah sembarangan. Selain baru sedikit daerah yang sudah menerbitkan, banyak regulasi belum berjalan efektif. Di samping minim pengawasan, acapkali ia dijalankan dengan tidak konsekuen. Menebus harga kresek dengan harga 200 perak, juga terlalu murah bagi kalangan bawah sekalipun.

Gagal Diet Plastik

Gagal diet plastik dipengaruhi pula nihilnya contoh-contoh konkret. Memang, sesekali ada tokoh yang ngegas seperti Bu Susi Pudjiastuti tiap disuguhi minuman kemasan plastik. Beliau kerap menggugat “Tahukan Anda, Indonesia adalah negara dengan sampah terbesar di dunia dan kebanyakan adalah plastik”. Tapi, coba ingat dan cek perilaku instansi pemerintah di pusat dan daerah? Bukankah masyarakat menjadi murid yang patuh terhadap guru-gurunya.

Timbul pembelaan. “Ah, kantong kresek itu praktis dan murah”. Jika bahaya, kok tidak terasa efeknya bagi kita? Alih-alih memaknai diet kantong kresek sebagai amal jariyah, sebuah amal konkret yang berkelanjutan, justru saya mencatat ada nyinyiran, “Bikin kok patung, malah menambah datangnya jin dan setan”. Bukankah, jin dan setan itu justru banyak bermukim di tempat sampah?

Apalagi jika membaca “Collapse, Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia“, kita diancam oleh Jared Diamond. Runtuhnya peradaban bisa disebabkan kelindan antara alam dengan manusianya. Indonesia dilihat sebagai bangsa yang close to collapse.

Jika perilaku buruk terhadap lingkungan masih ajeg, maka penghuni bumi Indonesia bisa mengalami stres lingkungan, populasi berlebihan, stres politik dan keruntuhan pemerintahan. Orang-orang akan putus asa, kekurangan gizi lalu menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak becus memecahkan masalah. Pecahlah gelombang emigrasi, memperebutkan tanah dan terjadi perang saudara. Itulah skenario buruk keruntuhan bangsa.

Baca Juga  Muhammad Ali: Amin Abdullah adalah Model Pemikir Muslim Progresif

Satu Frekuensi

Kembali merujuk pada Jared Diamond, mungkin perlu kita ngangsu kawruh pada bangsa Belanda yang ironisnya pernah menjajah kita dengan sangat lama. Negeri yang dibangun dengan mengandalkan polder ini sperlima total luasnya berada di bawah permukaan laut.

“Kamu harus bisa berdamai dengan musuhmu, sebab dia mungkin orang yang mengoperasikan pompa di poldermu”, itulah pepatah yang bertolak dari kesadaran bahwa tanpa kesepakatan menjaga negeri dari bencana maka akan tenggelam berjamaah.

Sejarah mencatat bahwa para pendahulu kita berproses panjang untuk menemukan rasa “satu bangsa” . Lalu, berapa lama waktu agar dalam konteks isu lingkungan ini kita menemukan satu kesadaran bersama bahwa penjajah kita adalah perilaku kita yang makin tak dapat mengendalikan sampah. Haruskah ratusan ribu patung monster kresek itu didirikan di tiap kota untuk meneror kesadaran kita?

Satu monster kresek akan berlalu selepas perayaan kemerdekaan ini. Dari sampah kembali menjadi sampah. Musuh kita adalah perilaku monster-monster yang jahat. Sesungguhnya kita adalah jutaan monster kreseknya.

Merayakan kemerdekaan dengan mengibarkan isu lingkungan mungkin dianggap bunyi kresek-kresek semata. Berisiknya seperti bunyi tombol pencarian gelombang radio transistor yang dulu pernah kondang. Kita terlebih dahulu harus sepakat dan bertemu pada frekuensi yang sama. Itulah yang diperlukan.

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Social worker & penulis media digital. Esai-esainya yang bertema masalah sosial dan humaniora dimuat di Detik.com, Kumparan.com, Viva.co.id, Mojok.co., Qureta.com dan media online lainnya.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds