MENGAPA?
“Dana abadi”. Istilah tersebut beberapa kali kita dengar, meski belum banyak yang tahu apa makna sesungguhnya dan apa istilah lain yang sepadan dengannya. ‘Dana abadi’ dalam Bahasa Indonesia tentunya memiliki makna yang khas yang boleh jadi memiliki padanan kata yang berbeda dengan yang digunakan di negara-negara lain.
Dana abadi dapat dimaknai sebagai sejumlah dana yang dihimpun dan dikelola oleh sebuah lembaga untuk diinvetasikan agar memberikan hasil yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan tujuan dari penghimpun dana.
Inti dari abadi adalah keabadian dana itu sendiri. Dana yang terhimpun tidak dimaksudkan untuk digunakan sampai habis, melainkan dikelola dalam satu investasi usaha guna menghasilkan sejumlah keuntungan. Sehingga, sebuah organisasi penghimpun dana dapat menjaga kesinambungan program-programnya dan secara finasial terjaga keberlanjutannya.
Tantangan yang dihadapi sebuah organisasi di era modern saat ini adalah menjaga keberlanjutan eksistensi organisasi di tengah persaingan yang semakin ketat di berbagai aspek. Organisasi masyarakat sipil berbasis keagamaan, tidak terkecuali.
Saat ini, organisasi-organisasi keagamaan pada umumnya dan keislaman pada khususnya, juga sedang bersaing dengan organisasi lain yang muncul belakangan dengan saya saing yang kompetitif. Era teknologi digital, salah staunya, telah memporakporandakan konsep lama tentang ‘modal sosial’ yang dulu menjadi unggulan organisasi-organisasi keagamaan.
Penetrasi pasar dengan tingkat persaingan yang keras, mau tidak mau akan menjadi tembok besar yang harus dapat ditembus oleh organisasi keagamaan beserta lembaga-lembaga yang ada di dalamnya seperti sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, lembaga keuangan dan sebagainya. Semua harus ikut bersaing ketat untuk dapat tetap eksis.
Di saat yang sama, organisasi masyarakat sipil, seperti Muhammadiyah juga memiliki agenda-agenda besar sosial-kemanusiaan yang terus dipelihara dan dikembangkan. Itu adalah amanah dan cita-cita para pendirinya.
Modal sosial yang sudah ada, nampaknya mau tidak mau harus disertai dengan kekuatan modal finansial yang tidak saja harus memadai tetapi juga terjaga sustainabilitasnya. Dalam konteks ini, keberadaan satu dua atau lebih platform sumber finansial yang menjadi penopang gerakan menjadi sebuah keniscayaan. Saat ini, platform sumber finansial yang menjadi pilar gerakan Muhammadiyah setidaknya ada tiga.
Pertama, keberadaan amal usaha berapa lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan sumber keuangan, meskipun tidak seluruhnya optimal. Setidaknya, keberadaan amal usaha di berbagai daerah telah menjadikan Muhammadiyah menjadi lembaga yang mampu membiayai dirinya sendiri dan tidak terlalu memiliki ketergantungan kepada pihak lain (self-funded organization).
Ada banyak amal usaha yang memiliki tata kelola yang baik dan karena itu mampu berkembang pesat dan sekaligus mendapatkan surplus yang cukup. Tidak sedikit pula amal usaha, karena berbagai faktor, yang dari awal berdirinya sampai bertahun-tahun terus berada dalam situasi ‘jatuh bangun’ atau ‘kembang kempis’.
Kedua, tradisi filantropi dan gotong royong yang sedari dulu menjadi bagian dari semangat dalam menggerakan persyarikatan menjadi fondasi yang kuat bagi persyarikatan. Sikap amanah yang dipagang para generasi pendahulu dalam persyarikatan masih kuat membekas dalam bentuk tingkat kepercayaan yang tinggi dari publik.
Sebagian besar fasilitas dan aset berupa lahan yang luas dan berbagai bangunan yang dimiliki oleh persyarikatan berasal dari wakaf. Kalaupun harus membeli, maka sumbernya adalah donasi atau sumbangan individu-individu dari anggota, warga, atau simpatisan Muhammadiyah.
Ketiga, selain bergerak di wilayah atau dalam bidang ‘tradisionalnya’ seperti pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah juga sudah mulai merambah jalur bisnis untuk memperkuat pilar keuangan organisasi. Di berbagai daerah sudah banyak berdiri lembaga usaha yang didirikan secara resmi oleh pimpinan wilayah atau daerah. Begitu juga di tingkat pusat.
Hal ini pula yang kemudian mendorong persyarikatan Muhammadiyah untuk mengatur dan membuat regulasi tradisi bisnis ini dengan mengeluarkan pedoman tentang Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM). Saya kira, keputusan itu sangat tepat dan akan berimplikasi kuat di masa depan dalam rangka mengkonsolidasikan sumber finasial dari dunia usaha yang berada dalam bendera Muhammadiyah. Tentu itu dapat dilakukan dengan kerja sangat keras dan, saya yakin, akan sangat pelik prosesnya.
Dana Abadi : Suatu Konsep Baru
Pada tulisan ini, yang dirangkai dalam lima bagian tulisan, saya ingin mencoba menawarkan satu konsep, yang meskipun tidak baru, tapi barangkali dapat dieksplorasi kemungkinannya untuk diterapkan dalam persyarikatan Muhammadiyah secara sistemik dan terencana, yaitu Dana Abadi Muhammadiyah atau boleh saja kita sebut Dana Ta’awun Muhammadiyah atau untuk keren-kerenan bisa juga disebut Muhammadiyah’s Trust Fund atau Muhammadiyah’s Endowment Fund.
Pikiran tentang perlunya dana abadi muncul adalah untuk melengkapi sinergi gerakan yang selama ini sudah ada dalam persyarikatan, seperti pola subsidi silang antar amal usaha, subsidi amal usaha terhadap majelis-lembaga-ortom (MLO), dan pola sumbangan amal usaha sebagai lembaga ‘mandiri’ terhadap aktivisme gerakan persyarikatan sebagai organisasi.
Alasan lain mengapa kita perlu platform baru berupa dana abadi adalah bahwa Muhammadiyah masih memiliki banyak kewajiban lain yang juga tidak kalah penting dan harus mendapatkan solusinya, seperti memiliki dana kemanusiaan yang terjaga, mensubsidi gaji guru, dan pegawai yang bekerja di amal usaha secara standar dan memadai, menyediakan dana-dana sosial untuk mengakselerasi peningkatan sumber daya manusia, memperkuat proses kaderisasi, dan menyediakan skema-skema beasiswa maupun peningkatan kapasitas organisasi.