Perspektif

Perlukah Muhammadiyah Memiliki Rumah Sakit Jiwa?

2 Mins read

Jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) semakin hari makin meningkat. Di Indonesia sendiri, kondisi kesehatan mental dan jiwa masih menjadi salah satu isu yang dikesampingkan. Padahal, kondisi kesehatan jiwa atau mental tak bisa dianggap remeh. Ia sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan penyakit atau kecacatan lain yang ada pada tubuh.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 9,8 persen dari total penduduk Indonesia mengalami gangguan mental. Sementara hasil survei dari Global Health Data Exchange tahun 2017 menyatakan Indonesia menempati urutan pertama jumlah penderita gangguan jiwa terbanyak se-Asia Tenggara.

Tingginya angka penderita gangguan jiwa pun beriringan dengan jumlah kasus bunuh diri di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2015. Pemerintah sendiri telah memasukkan gangguan mental yang terobati sebagai salah satu dari 12 indikator pendekatan kesehatan keluarga.

Rumah Sakit Jiwa

Di balik banyaknya jumlah ODGJ, terdapat beberapa provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa. Padahal, dalam UU tentang Kesehatan Jiwa tahun 2015 disebutkan bahwa setiap provinsi wajib menyediakan rumah sakit jiwa.

Rumah sakit jiwa termasuk dalam golongan rumah sakit kelas E. Yakni rumah sakit khusus yang menyediakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Hal ini diperlukan karena rumah sakit jiwa memiliki tingkat pelayanan yang berbeda dengan rumah sakit umum. Seperti dibutuhkannya bangsal atau ruang-ruang bersama untuk perawatan dan sosialisasi. Serta lahan yang luas untuk terapi kerja lapangan dan terapi lainnya yang berada di luar ruangan.

Metode ini berasal dari Phillper Piner, seorang psikiater Prancis. Ia berpendapat bahwa penerapan metode okupasi (menyibukkan diri) dengan keleluasaan pasien untuk bergerak dan mengerjakan banyak hal membantu penyembuhan pasien.

Baca Juga  Cara Rasulullah Menjaga Kesehatan Tubuh

Dakwah di Ranah Kesehatan Jiwa

Kontribusi Muhammadiyah dalam bidang kesehatan tentu tak perlu diragukan lagi. Saat ini, Amal Usaha Muhammadiyah di bidang kesehatan terdiri dari 105 rumah sakit dan lebih dari 300 klinik yang tersebar di berbagai provinsi (database MPKU). Dari sekian jumlah di atas, hanya beberapa rumah sakit Muhammadiyah yang memiliki layanan untuk ODGJ.

Embrio pendirian rumah sakit dan pelayanan kesehatan Muhammadiyah berasal dari keresahan generasi awal Muhammadiyah yang melihat banyaknya kaum mustadh’afin yang tidak mendapatkan akses kesehatan yang memadai. Atas inisiatif HM Sudja, didirikanlah PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) pada tahun 1923 di Yogyakarta yang pada akhirnya berkembang ke seluruh Indonesia.

Namun, masih ada beberapa hal yang luput dari perhatian Muhammadiyah. Yakni adanya orang-orang dengan gangguan jiwa atau orang gila. Mereka secara sosial terkucilkan di lingkungan masyarakat, bahkan dalam beberapa kasus ada ODGJ yang dipasung. Dengan stigma yang muncul di masyarakat, mereka dianggap sebagai aib keluarga dan meresahkan masyarakat. Sehingga banyak kita jumpai ODGJ yang terlantar di jalan dengan hidup yang tidak jelas.

Menanti Peran Muhammadiyah

ODGJ seperti merekalah yang sebenarnya membutuhkan uluran tangan untuk dibantu dan diobati. Muhammadiyah dengan kapasitas yang dimilikinya saat ini, sudah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap orang-orang dengan gangguan kejiwaan. Rumah sakit Muhammadiyah yang telah tersebar di mana-mana, diharapkan memilki layanan kejiwaan untuk mengakomodir ODGJ. Bahkan, jika memungkinkan, Muhammadiyah mendirikan rumah sakit khusus penderita gangguan kejiwaan.

Penyediaan rumah sakit jiwa tentunya harus diiringi dengan peningkatan jumlah dokter ahli kejiwaan. Saat ini, hanya ada 987 dokter ahli jiwa di Indonesia. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia, maka satu dokter ahli kejiwaan harus menangani 250.000 penduduk. Potensi pemaksimalan tenaga medis kejiwaan tentu menjadi pekerjaan rumah tangga di Muhammadiyah.

Baca Juga  Konsep Pendidikan Indonesia: Utopia Neoliberalisme

Terobosan ini bisa menjadi langkah yang strategis, karena penanganan ODGJ tidak hanya terpaku pada rehabilitasi dan konsumsi obat-obatan semata. Tapi juga diimbangi dengan siraman rohani yang menenangkan jiwa dan pikiran. Seorang kader Muhammadiyah tentu memiliki bekal untuk menjadi pengayom dan penenang di tengah masyarakat.

Jaringan Muhammadiyah yang berada di semua lapisan masyarakat juga harus mampu menjadi garda terdepan dalam menghapus stigma negatif terhadap ODGJ di masyarakat. Sehingga ke depannya, keberadaan orang-orang dengan gangguan jiwa tidak lagi menjadi fenomena yang meresahkan, tapi menjadi ladang untuk berdakwah.

Editor: Arif

Avatar
11 posts

About author
Kader IMM Renaissance FISIP UMM
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds