Memiliki siklus haid yang tak teratur kerap menjadi masalah yang krusial bagi wanita. Apalagi di bulan puasa, rasanya sedih sekali jika belum bisa memaksimalkan ibadah karena terhalang siklus haid yang tak teratur. Seringkali wanita yang dispesialkan Allah ini merasa terombang-ambing karena banyak sekali keragu-raguan yang dirasakannya, terutama dalam hal ibadah.
Nah, kira-kira apa saja yang harus diperhatikan perihal haid ini khususnya di bulan puasa?
Larangan Ibadah Bagi Wanita Haid
Secara jelas dalam al-Qur’an wanita yang mengalami haid dilarang untuk melakukan ibadah-ibadah wajib. Seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, tawaf, I’tikaf dan melakukan jima’. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 artinya :
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Dari ayat itulah haid dinyatakan sebagai darah yang kotor dan apabila wanita mengeluarkan darah haid, maka wanita tersebut tidak suci. Sementara syarat sahnya suatu ibadah ialah suci dari hadast besar maupun kecil. Maka hukumnya haram jika wanita yang sedang haid melakukan ibadah-ibadah yang mengharuskan dirinya dalam keadaan suci dari hadast. Termasuk ibadah puasa, di bulan Ramadhan ini wanita yang mengalami haid diharamkan berpuasa, namun ia wajib menggantinya dibulan lain.
Mengalami Haid Yang Terjeda (Suci Diantara Dua Haid)
Agar lebih mudah memahaminya, haid yang terjeda penganalogiannya seperti ini:
Si A mengalami haid selama tujuh hari. Di hari kedelapan ia bersuci dan mulai melakukan ibadah-ibadah wajib seperti puasa dan shalat. Tiba-tiba dua hari kemudian ia mengeluarkan darah lagi, jika dihitung dari hari awal ia haid, darah itu keluar di hari kesepuluh. Maka darah yang keluar di hari kesepuluh itu merupakan darah haid, karena belum mencapai 15 hari. (Isnawati, 2019:7) Berarti ia dilarang melakukan ibadah-ibadah wajib.
Dari penganalogian diatas, itulah yang dinamakan haid terjeda atau suci diantara dua haid. Lalu bagaimanakah puasanya si A di hari kedelapan dan kesembilan ? Apakah puasanya sah atau tidak?
Dalam channel you tube “Rumah Fiqih”, berdasarkan penjelasannya Ustadzah Isnawati, Lc., MA, terdapat dua pendapat mengenai persoalan ini.
Pertama, sebagian mahzab Syafi’i berpendapat bahwa ibadahnya wanita yang mengalami haid terjeda adalah tetap sah. Maksudnya, di hari kedelapan dan kesembilan puasanya tetap sah, maka tidak perlumenggantinya.
Kedua, jumhur ulama sepakat bahwa puasanya wanita yang mengalami haid terjeda itu tidaklah sah. Itu artinya di hari kedelapan dan kesembilan masih terhitung masa haid, karena belum mencapai 15 hari. Sehingga si A tetap harus membayar hutang puasanya, terhitung dari haid pertama hingga haid kesepuluh. Pendapat ini merupakan wujud kehati-hatian terhadap darah yang mungkin masih tersisa di hari kedelapan dan kesembilan.
Darah Yang Masih Keluar Melebihi 15 Hari
Pada permasalahan haid wanita, ada istilah istikhadhah, yaitu darah yang keluar di bawah rahim wanita diluar masa haid dan nifas. Secara umum batas maksimal wanita haid adalah 15 hari (Al-Mas’udah, 2016:79) dan batas maksimal wanita nifas menurut sebagian fuqaha’ adalah 40 hari (Ayub, 2010:85). Jika wanita darahnya masih keluar melebihi batas maksimal tersebut, maka darahnya dinamakan darah istikhadhah. Sedangkan darah istikhadhah ini tidak ada batas maksimal atau minimalnya. (Muhammad, 2012:97)
Lalu bagaimana hukum ibadahnya wanita yang mengalami darah istikhadhah? Apakah ia juga wajib berpuasa di bulan Ramadhan?
“Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaiys datang kepada Nabi SAW kemudian berkata: ya Rasulullah SAW sungguh aku mengalami istihadhah maka aku tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Maka Rasulullah bersabda tidak, karena itu adalah darah penyakit bukan darah haid. Apabila datang haid maka tinggalkanah shalat dan ketika darah itu berhenti maka mandilah dan jalankanlah shalat.” (H.R Muslim)
Hadist tersebut menyimpulkan bahwa darah istikhadhah bukanlah darah yang kotor, melainkan darah penyakit. Maka wanita yang mengeluarkan darah istikhadhah dinyatakan suci dan boleh melakukan ibadah-ibadah wajib seperti shalat. Termasuk melakukan ibadah puasa, maka wajib baginya berpuasa di bulan Ramadhan.
Hal penting yang perlu diperhatikan oleh wanita selama masa istikhadhah, yakni sebelum melakukan shalat, ia harus membersihkan sisa-sisa darah yang keluar dan mengganti pembalutnya setiap akan melakukan shalat. Dan ketika darah istikhadhah ini terus keluar dalam jangka waktu yang lama, maka disarankan untuk segera berkonsultasi dengan dokter.
Kesimpulan
Sudah menjadi kewajiban kita semua, baik wanita maupun pria untuk mengetahui dan mempelajari permasalahan-permasalahan haid. Karena haid kaitannya erat dengan ibadah. Haid sendiri merupakan fitrah yang Allah diberikan khusus untuk wanita. Namun, bukan berarti pria tak perlu mempelajarinya, justru ketika kelak pria ini menjadi seorang suami, maka dialah yang akan mengajari istrinya dan bisa memahami kondisi biologis istrinya.
Juga tak perlu sedih bagi wanita yang tak bisa memaksimalkan ibadahnya di bulan Ramadhan akibat siklus haid yang tak menentu. Sebab, Allah SWT masih membolehkannya untuk tetap bisa melakukan ibadah-ibadah lainnya. Seperti berdzikir, membaca buku agama, bersedekah, melakukan kebaikan-kebaikan dan lain sebagainya.
Semoga artikel ini cukup membantu ya bagi pembaca (khususnya wanita) yang sedang dilema karena mengalami permasalahan haid yang serupa.
Editor : Revoluna Zyde