Feature

Pertanyaan Tukang Becak Kepada Mendikbud

3 Mins read

Di pinggiran kota Surabaya yang panas, saya bertemu dengan seorang kawan lama yang berprofesi sebagai tukang becak. Kebetulan kami berbincang hangat mengenai banyak hal. Termasuk isu perpolitikan mutakhir dewasa ini, pelemahan KPK, hingga masalah pendidikan yang fundamental.

Ternyata, kalangan terbawah masyarakat negeri ini juga “melek” dengan pelbagai persoalan krusial yang ada, yang saya pikir, hanya menjadi konsumsi orang-orang intelek di Ibu Kota.

Dalam satu kesempatan, sebutlah nama tukang becak tersebut, Pak Pardi, bertanya kepada saya, “Apakah anak-anak saya (putera-puterinya) yang bersekolah, mendapatkan jaminan bahwa akan menjadi pandai sekaligus bisa menjadi orang baik?”

Itu bagi siapa saja jelas merupakan pertanyaan yang sangat mengganggu. Sekurang-kurangnya, mengganggu hati nurani. Kita tidak mungkin menjawabnya secara sembrono, “Bisa.” Terlebih jika kita menyaksikan praktik demoralisasi banyak sekali pejabat negara yang tersangkut pelbagai kasus kejahatan publik.

Namun, kita juga mustahil menjawab, “Tidak bisa.” Sebenarnya, kemustahilan itu menjelaskan bahwa kita memiliki harapan bahwa, sekolah (formil) adalah sarana untuk menjadikan setiap anak didik menjadi pintar dan bermoral sekaligus.

Terus terang, saya hanya termangu. Karena hampir-hampir putus asa merenungkan, apakah pendidikan kita (falsafah, kurikulum, sistem dan praktik) mampu mewujudkan tantangan yang paling fundamental tersebut.

Pendidikan yang Holistik

Sejujurnya, kita sebenarnya memahami betul bahwa orientasi pendidikan kita sungguh mulia. Hal-hal yang ideal mengenai bangsa kita, menjadi fondasi dasar konstruksi falsafah pendidikan kita (Pancasila dan UUD 1945). Siapapun menteri yang menjabat, tidak pernah membuat kebijakan yang justru melenceng dari dasar negara dan konstitusi kita.

Prof. Dr. Muhadjir Effendy misalnya, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memiliki tugas vital memastikan kesinambungan hubungan antara falsafah berbangsa dan bernegara, dengan falsafah pendidikan Indonesia dan kebijakan pendidikan yang diberlakukan untuk seluruh lembaga pendidikan di Indonesia.

Baca Juga  Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Dosen!

Dalam konteks ini, seorang menteri bertugas bukan sekedar sebagai birokrat: pejabat pelaksana tugas-tugas kenegaraan yang spesifik, sebagai pembantu presiden. Menteri juga berperan sebagai seorang filosof, pedagog dan juga perancang desain kebijakan yang pada akhirnya dilaksanakan oleh para pejabat di bawahnya secara lebih konkret.

Karena berurusan dengan hal ihwal yang lebih bersifat filosofis (manusia, kemanusiaan, kebangsaan, kecerdasan, daya saing anak bangsa, dan moralitas mulia), maka “pendekatan” yang dianggap mampu menangani hal ini adalah pendekatan yang holistik.

Holistik itu – menurut bahasa orang pinggiran seperti saya dan kawan akrab saya yang tukang becak itu – adalah memikirkan segala hal dengan segala daya upaya yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ada celah sedikit pun yang luput dari pantauan.

Hanya saja, tentu meskipun bersifat holistik, oleh karena segala keterbatasan yang ada dan tingkat kesulitan dan tantangan yang begitu tinggi, maka harus ada yang diprioritaskan.

Tantangan Digital

Dalam perbincangan kami, saya sempat berkomentar, “Anak-anak sekarang ini, lebih suka main game dengan gadget (HP pintar dan hal-hal yang semacamnya). Saya khawatir dengan generasi masa depan.”

Ternyata, curhatan saya tersebut dibalas dengan hal lain yang berseberangan. “Lha, justru anak-anak saya itu rajin belajar dengan HP yang dimiliki. Kata anak saya yang sekolah SMP, sudah tidak perlu les lagi, karena bisa belajar melalui Ruang Guru. Malah, kalau ingin tahu sesuatu yang bahkan bapaknya sama sekali tidak mengerti, bisa bertanya ke Mbah Google.”

Sekali lagi saya terkaget-kaget dengan jawaban-jawaban yang disampaikan tukang becak itu. Ternyata bukan sekadar melek politik, tetapi juga melek teknologi!

Lanjutnya, “Tapi ngomong-ngomong, siapa sih Mbah Google itu? Kok seperti orang pandai banget di jagat raya?” Sontak saya langsung tertawa terbahak. Lalu saya jawab, “Saya dengan senang hati memperkenalkan Pak Pardi ke Mbah sakti ini.” Sembari mempraktikkan “bertanya” melalui HP yang saya miliki, saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan aktivitas “canggih” anaknya tersebut.

Baca Juga  Dakwah, Kaderisasi, dan Integritas: Belajar dari Buya Yunahar Ilyas

Anak yang rajin belajar meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki, tentu saja menunjukkan dua modal yang penting sekali: rasa ingin tahu yang tinggi dan etos-moralitas kerja keras yang luar biasa.

Memanfaatkan Teknologi

Tentu saja anak menjadi pandai (karena rajin belajar) dan bermoralitas unggul (pantang menyerah dan memiliki mimpi untuk mengangkat martabat keluarganya) bukan sekadar karena perkembangan teknologi semata-mata dan menguasainya secara teknis. Kalau kita hanya cakap teknologi, jelas salah satu panen-nya adalah generasi gamers, atau yang paling mentok ya atlit E-Sport (pemain game profesional). Atau yang lebih positif, membuka perusahaan online dan mendapatkan predikat unicorn(karena omsetnya besar).

Bukan mengecilkan peran teknologi. Sama sekali bukan. Hanya, sejatinya teknologi itu, seperti yang pernah diungkapkan Soedjatmoko, pemikir ulung asli Indonesia, teknologi itu seharusnya menjadi sarung tangan. Artinya, tidak bisa bergerak sendiri jika tidak memiliki tangan yang mampu menggerakkannya. Hanya hati nurani dan akal suci-lah yang mampu menggerakkan sarung tangan melakukan segala aktivitas kebajikan.

Saya yakin, pendekatan holistik dalam dunia pendidikan yang mencoba mentransformasikan cita-cita dan visi kebangsaan Indonesia, sedikit banyak, menetes ke bagian terkecil dari bangsa ini, namun yang paling fundamental: generasi masa depan bangsa.

Buktinya apa pernyataan tersebut? Saya bertanya ke Pak Pardi, “Apa cita-cita puteri bapak?”

Jawabnya, “Katanya sih, ingin jadi walikota Surabaya seperti Bu Risma. Lalu saya bilang ke anak saya itu, ya barangkali juga nggantiin Pak Jokowi nanti sebagai presiden masa depan. Kan cita-cita semakin tinggi semakin bagus. Lha wongkita tidak punya apa-apa. Satu-satunya yang kita punya ya cita-cita itu.”

Saya memang mengenal Pak Menteri (Muhadjir), karena dulu pernah menjadi Rektor di tempat saya bekerja sekarang ini. Ingin sekali “menyambung rasa dan pikir” antara unegunegyang disampaikan Pak Pardi yang tukang becak itu dengan kebijakan Pak Menteri.

Baca Juga  Pak Malik, Literasi, dan Pergerakan

Sekali lagi, Pak Menteri, mohon bantu saya menjawab pertanyaan Pak Pardi, “Bagaimana menjadikan generasi masa depan bangsa ini menjadi pandai dan berakhlak mulia sekaligus?”

 

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds