Belakangan ini, isu ekologis menjadi perbincangan hangat banyak pihak, tidak hanya dari para aktivis lingkungan. Mereka mulai menyadari bahwa manusia sudah melampaui batas, dan bertindak semena-mena terhadap alam. Pencemaran udara, penggundulan hutan, dan membuang sampah sembarangan ke sungai dan laut, adalah sedikit contoh dari tindakan brutal manusia.
Sebagai upaya menyikapi tindakan manusia tersebut, pada tahun 2015 lalu, Paus Fransiskus menerbitkan sebuah ensiklik berjudul Laudato Si’. Dalam ensiklik tersebut, Paus berbicara tentang krisis yang terjadi pada Bumi, rumah kita bersama, dan menyerukan sebuah pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis adalah sebuah seruan agar manusia membangun kehidupan yang sehat dan menjalin persahabatan dengan alam.
Dengan melakukan pertobatan ekologis, diharapkan manusia akan berhenti bertindak eksploitatif. Mereka, secara bersama-sama, diharapkan untuk terlibat lebih aktif dalam menyembuhkan alam yang sudah terlalu lama disakiti. Manusia harus berhenti memandang dirinya sebagai makhluk istimewa, dan berhenti menyakiti makhluk lain seperti binatang, tumbuhan, dan alam pada umumnya.
Dari Antroposentrisme Menuju Ekosentrisme
Pada dasarnya, pertobatan ekologis yang diserukan Paus Fransiskus menghendaki perubahan paradigma terhadap alam. Manusia modern cenderung menganut antroposentrisme, suatu paham yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta, dan keberadaannya lebih penting dari makhluk lain.
Awalnya, antroposentrisme merupakan paradigma baru pada awal zaman modern. Paradigma ini menggantikan paradigma Abad Pertengahan, yang saat itu bercorak teosentrisme. Teosentrisme sendiri merupakan suatu paham yang menempatkan Tuhan sebagai entitas tertinggi dan pusat segalanya. Dengan menggantikan paham teosentris dengan antroposentris, manusia diharapkan menjadi lebih merdeka dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.
Namun, antroposentrisme disalahgunakan untuk melegitimasi tindakan manusia, agar dapat mengeksploitasi alam secara membabi buta. Tindakan tersebut malah menimbulkan krisis ekologis, membuat kehidupan manusia sendiri berada dalam ancaman besar.
Ekosentrisme muncul sebagai antitesis dari antroposentrisme. Ekosentrisme, pada mulanya, merupakan paham yang melihat bahwa manusia, binatang, tumbuhan dan segala hal yang ada di alam bersifat integralistik. Ekosentrisme berusaha menciptakan kesetaraan diantara segala yang ada di alam, dan menghapuskan superioritas manusia.
Ekosentrisme menginginkan adanya hubungan timbal balik antara alam dan manusia. Alam memberikan banyak manfaat bagi manusia, berupa pepohonan yang menghasilkan oksigen untuk bernafas, air jernih yang bisa dipakai untuk mandi dan minum, serta langit yang cerah dengan udara yang sehat. Sudah sepatutnya, manusia juga berterima kasih pada alam dengan merawatnya dan tidak memanfaatkannya secara berlebihan.
Dapat dikatakan, pertobatan ekologis dapat dimulai dengan mengubah cara pandang terhadap alam, dari antroposentrisme yang mengagung-agungkan manusia, menuju ekosentrisme yang menghargai setiap komunitas alam raya, baik yang biotis (hidup) maupun abiotis (tidak hidup). Ketika manusia menyadari bahwa dirinya dan alam adalah satu kesatuan, mereka dapat merasakan rasa sakit dan jeritan alam yang disebabkan oleh tindakan manusia.
Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Ekologis
Dalam upaya mewujudkan pertobatan ekologis, manusia tidak hanya mengubah cara pandangnya terhadap alam, tetapi juga mengubah cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Selama ini, manusia sering menganggap dirinya sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan atau bergantung kepada manusia lainnya, guna mencukupi dan menjamin kelangsungan hidupnya.
Namun, manusia bukan hanya sekadar makhluk sosial. Ia juga merupakan makhluk ekologis. Sebagaimana yang ditulis oleh Andreas Maurenis Putra dalam artikel berjudul Pertobatan Ekologis dan Gaya Hidup Baru dalam Relasinya dengan Semesta, tanpa lingkungan alam, manusia tidak dapat berkembang seutuhnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa bergantung pada alam sekitarnya, tanpa air, tanpa hutan, tanpa laut, tanpa flora dan fauna.
Menurut Andreas, sudah semestinya manusia menjadi titik pijak seluruh tingkah lakunya, sebagai makhluk yang diberi tanggung jawab untuk merawat bumi. Manusia semestinya melihat alam bukan untuk dieksploitasi, tetapi sebagai ciptaan yang juga turut membuktikan jejak kehadiran Tuhan dalam realitas dunia ini, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Selain membutuhkan bantuan sesamanya, manusia juga membutuhkan bantuan alam. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk ekologis. Dapat dikatakan, manusia lebih membutuhkan alam dibandingkan sesamanya. Bayangkan jika tidak air jernih lagi untuk diminum atau tidak ada udara sehat lagi untuk dihirup, maka sesama manusia pun tidak akan mampu memberikan pertolongan.
Ketika manusia menyadari dirinya sebagai makhluk ekologis, manusia bisa lebih menghargai alam. Meski manusia sudah mampu menciptakan temuan-temuan mutakhir dan berada di zaman yang menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hal utama, manusia tetap membutuhkan alam untuk menjamin keberlangsungan peradaban.
Pada akhirnya, manusia memang harus melakukan pertobatan ekologis. Dimulai dari meninggalkan antroposentrisme, dan memandang dirinya sebagai makhluk ekologis. Jika banyak manusia telah melakukan hal tersebut, krisis ekologi pun dapat ditanggulangi dan dihentikan.
Pada dasarnya, Paus Fransiskus, melalui gagasan besarnya ini, ingin mengajak seluruh umat manusia untuk kembali menghargai dan menyayangi alam.
Editor: Soleh