IBTimes.ID – Pada hari Minggu (6/9), Nasyiatul Aisyiyah menyelenggarakan Tanwir III. Tanwir ini dibuka secara daring oleh Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Haedar menyebut bahwa Tanwir ini, sebagaimana tanwir Muhammadiyah, Aisyiyah, IPM, dan IMM, dilaksanakan dalam suasana darurat pandemi.
Tanwir di Tengah Darurat Pandemi
Ia berpesan agar Nasyiah bersama seluruh keluarga besar persyarikatan harus memberikan konstribusi dan menggunakan cara berpikir darurat, tidak dengan pola pikir normal seperti biasanya.
“Kita menyikapinya tidak hanya dengan argumen teologis. Tapi sebagai kekuatan Islam juga harus memberikan solusi secara nyata. Jadi tidak hanya berpikir pragmatis, tapi sekaligus pragmatis dan teologis,” ujarnya.
Dalam keadaan darurat, Muhammadiyah memberikan referensi keislaman berdasarkan Alquran, hadits, dan kaidah ushuliyah yang kokoh. Dan ini harus menjadi referensi bahwa Muhammadiyah harus berdasarkan pada agama dalam memberikan solusi yang nyata bagi umat.
Ia menganalogikan dengan urusan-urusan ibadah yang ada hukum daruratnya. Maka, dalam berorganisasi juga harus berlaku hukum darurat, yang bahkan lebih mudah diterapkan daripada dalam urusan ibadah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan bahwa saatnya NA merujuk pada cara berpikir yang komprehensif dalam menghadapi situasi apapun. Dalam hal ini, Muhammadiyah mengembangkan pemahaman keagamaan yang bayani, burhani, dan ‘irfani.
“Kalau hanya dengan bayani, kita akan gagal menghadapi pandemi. Karena keinginannya hanya ke masjid terus-menerus. Padahal ke masjid di masa pandemi bisa membahayakan. Maka kita gunakan burhani, yaitu pendekatan rasional kontekstual. Bahkan kita juga menggunakan pendekatan ‘irfani, kemanusiaan, hati, dan rasa. Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, tiga pendekatan ini juga penting,” jelasnya.
Membaca Identitas Gerakan NA
Organisasi memiliki identitas yang kuat pada pemikiran keagamaan, ideologi, dan kerangka organisasi yang menjadi acuan. Tanwir harus dijadikan momentum untuk membaca kembali khazanah pemikiran organisasi.
Haedar berpesan agar Nasyiah memahami kembali sejarah perjalanan dan identitas gerakan NA. Jika Nasyiah tidak pandai membaca ini, mereka akan kehilangan identitas. NA tidak boleh tercerabut dari akar sejarahnya dan identitas dirinya. Memegangi prinsip-prinsip organisasi, kepribadian, dan khittah.
Ia menyebut Nasyiah harus tetap berprinsip kepada platform Muhammadiyah. Terutama Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua dan Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi was Syahadah. Dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, Muhammadiyah akan terus berkomitmen pada pemahaman keagamaan yang ar-ruju ila al-Quran wa as-sunnah tetapi sekaligus mengembangkan ijtihad baru sebagai Islam yang berkemajuan.
“Dalam menghadapi pandemi covid-19, Muhammadiyah sangat konsisten. Hal ini karena menggunakan dasar Islam Berkemajuan, bahwa dasar dari situasi pandemi adalah wabah, bukan resesi ekonomi. Pendekatan new normal dasarnya adalah krisis ekonomi. Maka yang selalu menjadi pertimbangan MCCC adalah para epidemiologi, para dokter, dan para tenaga medis,” ujarnya.
Menurutnya, pemikiran gerakan pencerahan harus mengarah kepada pemberdayaan, pembebasan, dan kemajuan. Gerakan Muhammadiyah beserta seluruh organisasi otonom harus memiliki tiga dimensi ini. Sehingga semua kegiatan memiliki implikasi pemberdayaan, pembebasan, dan kemajuan. Inilah ciri dari gerakan pencerahan.
“Di tengah situasi apapun, Muhammadiyah akan selalu berhadapan dengan realitas. Tetapi Muhammadiyah memiliki sejarah yang panjang. Maka jangan pernah menyederhanakan setiap situasi yang terjadi, yang membawa Muhammadiyah kepada pergulatan konflik ideologi masa lalu. Karena harganya terlalu mahal. Muhammadiyah akan melakukan transformasi cara dari cara serba reaktif dan konfrontatif kepada cara yang konstruktif dan memberi alternatif,” jelasnya.
Reporter: Yusuf