Kami santri abad duahiji
Percaya diri dan berani
Berani bertanya dan
berdiskusi
berani berkarya dan inovasiKami santri abad duahiji
Mars Peacesantren
Welas asih dan empati
Selalu happy tanpa bully
Yang lemah kami lindungi
Itu tadi merupakan sepenggal mars dari sebuah pondok pesantren bernama Peacesantren. Namanya memang tak lazim, namun menyimpan banyak makna. Namanya diserap dari kata compassion (bahasa Inggris) dan rahmah (bahasa Arab) yang memiliki arti cinta kasih.
Di tengah isu kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi di lembaga Pondok Pesantren, Peacesantren hadir sebagai salah satu pondok yang mengedepankan kasih sayang dan welas asih, “Jangan sampai kita bicara secara luas tentang rahmatan lil alamin, kalau masih ada bullying berarti belum ada welas asih dengan semesta,” begitu kata Irfan Amalee. Direktur Ponpes Welas Asih sekaligus co-founder NGO ternama di Indonesia, Peace Generation.
Pondok Pesantren ini terletak di Griya Sanding Indah Sukarasa, Kecamatan Samarang, Garut. Tempatnya sangat asri nan sejuk. Karena memang terletak di perbukitan khas Jawa Barat. Sekitar pesantren dikelilingi oleh bukit menambah suasana sejuk pesantren. Sangat ideal untuk melaksanakan proses belajar mengajar ala boarding school.
Awal Mula Berdirinya Peacesantren
Irfan menceritakan awal mula berdirinya ‘peacesantren’ yang kemudian berubah menjadi benar-benar pesantren. Ia bercerita, bahwa dahulu ia sedikit risau akan menyekolahkan buah hatinya yang mulai masuk jenjang SMP. Karena baginya, sulit mencari lembaga pendidikan yang selaras dengan prinsipnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuat lembaga pendidikan dari buah fikirnya saja, “Karena saya cari sekolah untuk anak saya yang kedua tapi gak nemu. Jadi bikin aja sendiri,” ucap pria muda peraih Kick Andy Heroes tahun 2021.
Laki-laki yang kerap dipanggil ‘Kiai Milenial’ ini juga menuturkan, bahwa selama ia menjadi mahasiwa, ia kerap mengkritik dunia pendidikan. Tetapi baginya terlalu banyak mengkritik akan kurang produktif. Oleh karenanya, kritiknya tersebut ia wujudkan sebagai tawaran solusi, “Sejak mahasiswa saya suka mengkritik dunia pendidikan. Tapi kalau hanya mengkritik tidak akan produktif. Jadi saya wujudkan kritik saya dalam bentuk tawaran solusi,” ujar Irfan saat kami melakukan wawancara.
Awalnya juga, Peacesantren ini hanya sekadar kegiatan saat bulan Ramadan saja sejak tahun 2015 yang diadakan oleh Peace Generation. Sebuah social entreprise yang berfokus pada edukasi mengenai perdamaian dan toleransi. Kegiatan peacesantren pertama kali diadakan di kota Bandung saja. Akan tetapi, karena ternyata gagasan 12 nilai perdamaian dari peacesantren semakin diterima masyarakat secara luas, di tahun-tahun berikutnya peacesantren dilaksanakan di lebih dari 20 kota seluruh Indonesia. 12 nilai perdamaian itu meliputi: 1) menerima diri sendiri, 2) menghapus prasangka, 3) keragaman etnik, 4) perbedaan agama, 5) perbedaan gender, 6) perbedaan status sosial, 7) perbedaan kelompok, 8) merayakan keberagaman, 9) mema- hami konflik, 10) menolak kekerasan, 11) mengakui kesalahan, serta 12) memaafkan.
Bagi Irfan, perlu ada laboratorium untuk menguji praktek event setiap ramadan tersebut. Salah satu caranya yakni dengan menjadi sebuah lembaga pendidikan resmi. Ia menuturkan bahwa mengajarkan 12 nilai perdamaian tidak cukup diselenggarakan satu tahun sekali. Perlu ada laboratorium untuk menguji lebih lanjut 12 nilai perdamaian tersebut. Alhasil, Peacesantren bertransformasi dari event tahunan menjadi lembaga pendidikan formal.
Pembelajaran Peacesantren
Peacesantren Welas Asih sendiri memiliki dua jenjang pendidikan formal. Yakni jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan jenjang Sekolah Menangah Atas (SMA). Siswa atau santri nya pun sengaja tidak banyak. Karena bagi Irfan selaku Mudir pesantrenya, ia ingin mengedepankan kualitas bukan kuantitas. Tercatat hanya sekitar 150 total santri yang ‘nyantri’ di Pesantren Welas Asih. Guru yang ada sebanyak 40 orang. Sehingga prosentase antara guru dan murid kurang lebih 1:4.
Karena memang lembaga pendidikan formal, Pesantren Welas Asih secara kurikulum tetap berkiblat pada kurikulum yang disusun oleh Kemendikbud. Tetapi metode penyampaiannya melalui project based learning dan experiential learning. Misalnya peserta didik diarahkan untuk mengikuti program pengelolaan sampah bersama para warga. Nama program itu diberi nama Ramadani Dermawan. Mereka (para santri) diarahkan untuk mengidentifikasi warga sekitar yang memerlukan bantuan sosial. Bahkan, pada kegiatan Awarding, yaitu acara pembagian rapor, para warga yang tinggal di sekitar sekolah juga dilibatkan dalam kegiatan bernama Festival Welas Asih untuk berjualan dan mengelola parkir wali murid.
Pembelajaran di Pesantren Welas Asih juga menonjolkan soft skill abad 21. Untuk SMP didesain untuk melakukan problem solving atau cara menghadapi masalah. Kelas-kelas menyatu dengan alam. Non akademik lebih besar daripada akademik, di luar akademik ada program pengembangan minat dan bakat (talent), public speaking, editing, videography dan lain-lain. Minat bakat dimasukkan dalam ekstra kurikulum di PWA masuk intrakulikuner.
Damai Alifia, salah satu siswi dari Pesantren Welas Asih menuturkan, bahwa selama ia ‘mondok’ di PWA, Pondok senantiasa mendorong untuk berfikir secara logis. Bahkan, di Pesantren Welas Asih, tidak pernah ada istilah hukuman ataupun istilah yang mengekang santri. Alifia bercerita, bahwa di Pesantren Welas Asih diajarkan metode “Konsekuensi Logis,” yakni jika apapun yang dikerjakan, maka akan mendapatkan konsekuensinya, “Disini tuh tidak ada hukuman tapi ada istilah konsekuensi logis. kalau kamu melakukan suatu hal, kamu akan.” mendapatkan konsekuensinya.
Apa yang dituturkan oleh Alifia tadi, juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Irfan, bahwa inti dari perdamaian bukan berarti tidak ada konflik, tetapi bagaimana mengelola konflik itu sendiri.
Kurikulum Peacesantren
Peacesantren sendiri memiliki Kurikulum internal dengan terdapat tiga variabel utama, meliputi Proses, Output, dan Outcome. Proses sendiri meliputi: Project Based Learning. Pada proses ini disediakan sepuluh tema yang dipelajari selama tiga tahun, dengan rincian satu modul dalam dua bulan. Selanjutnya ada Blocking. Pada proses ini pelajaran yang perlu intensif atau skillset yang perlu diakuisisi meliputi matematika dan bahasa asing. Kemudian ada Upgrading. Yakni pendampingan tambahan untuk mengakselerasi atau yang di bawah standard atau mengafirmasi yang di atas rata-rata. Lalu Talent Coaching. Proses ini diarahkan untuk mengasah minat dan bakat santri mencakup aktivitas fisik, seni, lingkungan, dan keorganisasian.
Lanjut pada Output. Pertama output yang diharapkan ialah karya projek kelompok. Lalu Karya Portofolio Personal. Terakhir ada Level Pencapaian Otentik.
Pada bagian Outcome, terdapat 9 Karakter PWA atau disebut dengan Rapot Abad 21. 9 Karakter tersebut dibreakdown menjadi tiga variabel, mencakup Berakhlak, Bergerak, dan Berdampak. Dari tiga variabel muncul lah 9 karakter PWA yang dimaksud di atas, meliputi: Bertauhid Khalis, Empati, Mandiri, Berani, Sehat Fisik dan Mental, Kritis, Kreatif, Komunikatif, dan Kolaboratif.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa kebaikan tidak terorganisir akan kalah dengan keburukan yang terorganisir, Peacesantren Welas Asih ini juga berupaya mengorganisir kebaikan-kebaikan bagi insan siapapun yang ingin belajar ke PWA.
Moderasi Pondok Pesantren
Bahwa prinsip welas asih dan kedamaian yang mereka usung, sejatinya juga sejalan dengan istilah yang familiar dengan telinga kita, moderasi beragama. Moderasi beragama yang juga sering diidentikkan dengan pemahaman islam yang tengahan (washatiyyah) dan moderat (progresif) tentu juga sejalan dengan apa yang dilaksankan pada kurikulum Pesantren Welas Asih. Pesantren bukan lagi diidentikkan dengan istilah “penjara suci”, tetapi menjadi “tempat mencari jati diri”.
Pesantren Welas Asih ini adalah satu dari sekian Pondok Pesantren di Indonesia yang sejak dari kurikulum dasarnya mengajarkan kerukunan dan kedamaian. Pesantren-pesantren yang lain perlu mencontoh praktek kurikulum dari Pesantren Welas Asih. Agar stigma masyarakat yang melihat Pesantren diidentikkan dengan “Bengkel” anak nakal, menjadi “Pemberdaya” anak bertalenta.
*)Artikel ini merupakan hasil kerjasama dari IBTimes dengan INFID