Sebagaimana pembahasan yang pernah penulis ulas dalam artikel berjudul “Madrasah Gua Hira”, tulisan kali ini juga sebagai pelengkap yang juga terinspirasi dari salah satu surat di dalam Al-Quran yakni surat Al-Kahfi. Di mana al-kahfi secara bahasa artinya adalah gua. Karena mengisahkan para pemuda yang beriman penghuni gua. Para pemuda itu mencoba mempertahankan keimanan mereka ketika dipaksa untuk menjadi kafir sesuai dengan permintaan penguasa mereka saat itu. Maka mereka bersembunyi di sebuah gua (ashabul kahfi).
Para pemuda itu di dalam Al-Quran disebut sebagai para pemuda Ashabul Kahfi (para penghuni gua). Di mana di dalam surat Al-Kahfi ayat ke-13 mereka disebutkan: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”. Jadi sangat luar biasa kisah para pemuda di dalam gua ini. Mereka adalah pemuda yang beriman dan dengan iman mereka itu berdampak pada mereka mendapatkan petunjuk.
Terkait dengan tema Gua ini adalah sebuah tulisan terkait dengan seorang penghuni gua di dalam sejarah Islam tentu saja Nabi Muhammad SAW. Di mana Nabi Muhammad pernah menghuni dua kali di dalam gua, yakni Gua Hira ketika akan menerima Wahyu Al-Qur’an dan Gua Tsur ketika melaksanakan Hijrah. Ketika Rasulullah di dalam Gua Hira sudah diulas dalam artikel yang berjudul “Madrasah Gua Hira”. Kali ini penulis akan menggali makna fenomena sejarah kedua yaitu ketika Rasulullah berada di Gua Tsur saat melaksanakan Hijrah.
Sebagai pelengkap mengenai kisah di dalam gua ini, kita akan membahas peristiwa saat Rasulullah berada di dalam Gua Tsur. Untuk berikutnya nanti akan dikontekstualisasikan dengan teori pendidikan terutama yang terkait dengan peran lingkungan (dalam hal ini adalah teman atau sahabat). Dimana dalam teori pendidikan Islam modern, kesadaran akan peran lingkungan mempengaruhi terbentuknya lembaga pendidikan khas. Yang hari ini disebut sebagai Pesantren atau Islamic Boarding School.
Inspirasi ayatnya adalah Al-Quran surat At-Taubah ayat 40, yang artinya: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Makna Hijrah dalam Pendidikan
Pendidikan dilakukan agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Di saat yang sama, memang dalam proses perubahan sebagaimana yang diinginkan (tujuan) oleh aktivitas pendidikan tidak bisa dilakukan secara sendiri tapi berjamaah. Itu maknanya bahwa perubahan atau perpindahan atau mungkin yang disebut “hijrah”, harus dilakukan secara bersama-sama. Istilah lainnya secara berjamaah. Atau minimal harus ada teman yang membersamai proses hijrah tersebut.
Konsep kebersamaan ini yang mengharuskan adanya peran dari orang lain atau teman (kondisi lingkungan). Sebagaimana dalam teori pendidikan di atas, maka salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi dunia pendidikan adalah lingkungan dalam arti pergaulan masyarakat. Adanya teman akan menjadi motivator; pengingat; dan penguat dalam segala situasi atau keadaan. Sebagaimana Nabi Muhammad S.A.W ketika berada di Gua Tsur saat peristiwa hijrah ditemani oleh sahabatnya, Abu Bakar As-Shiddiq (termasuk sahabat-sahabat lain yang berperan).
Kedua sahabat itu secara manusiawi berperan saling menguatkan; mendampingi; memotivasi; menyemangati dan menjadi penenang pada saat situasi-situasi genting. Situasi-situasi demikian sering muncul seperti dalam situasi-situasi pembelajaran. Karena memang dalam belajar pasti akan dijumpai situasi kurang semangat; berputus asa; perlu motivasi; atau bahkan malas dalam belajar, maka untuk mengatasinya diperlukan peran sahabat atau teman yang tulus.
Sesuai dengan konsep-konsep sosial pendidikan yang telah dikemukakan di bagian awal, bahwa masyarakat dalam konteks konsep pendidikan merupakan sekumpulan orang yang memiliki ragam kualitas diri pada masing-masing yang terkait dengan perannya dalam memajukan dan mengembangkan pola pikir dan kemajuan interaksi antar sesama civitas akademika (guru; siswa; tenaga kependidikan; dan stakeholder) dalam membangun pendidikan.
Maju dan mundurnya kualitas masyarakat (lebih jauh adalah negara) sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang berlaku dalam sebuah masyarakat tersebut. Bahkan untuk melihat seperti apa keadaan masyarakat di suatu negara dapat dilihat bagaimana keadaan atau kualitas pendidikan di negara itu. Termasuk tolak ukur kemajuan sebuah negara dapat diukur oleh sejauh mana aspek-aspek pendidikan memberikan kontribusi di negara itu.
Sosiologi Pendidikan Islam
Di dalam kaitanya dengan masyarakat (sosiologis), maka tidak dapat dilepaskan dari sosok kerabat dan teman. Maka di dalam ajaran Islam pun ada aturan-aturan tersendiri untuk memilih siapa yang pantas dijadikan sebagai seorang teman atau sahabat. Teman yang baik akan berdampak pada akhlak yang baik, namun juga sebaliknya.
Di antara beberapa keteladanan Rasulullah di dalam hadits adalah banyaknya hadits yang menyinggung seputar adab-adab dalam bertetangga, bermasyarakat dan termasuk kriteria mencari teman. Teman dalam arti yang kita selama ini pahami, atau teman dalam arti pasangan hidup. Intinya banyak hadits-hadits Rasul yang menyinggung persoalan kemasyarakatan dan interaksinya antar sesama atau antar kelompok masyarakat (bersosialisasi).
Sekali lagi fakta-fakta ini semakin menunjukkan pentingnya peran lingkungan dalam pendidikan Islam (sosiologi pendidikan Islam). Di mana fakta-fakta ini yang akan menjadi alasan kenapa perlu ada pengkondisian lingkungan dalam pendidikan Islam, yang secara lembaga nantinya dikenal sebagai Pesantren atau Islamic Boarding School.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah menyampaikan: “Jika engkau bergaul dengan penjual minyak wangi maka akan tertular wanginya, tetapi jika engkau bergaul dengan tukang pandai besi maka akan tertular hawa panasnya”. Ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dari peran lingkungan terutama siapa sosok yang dekat dengan diri kita baik itu teman; keluarga; termasuk masyarakat (kelompok atau organisasi tertentu) secara umum.
Hampir mirip dengan ungkapan Nabi di atas, di dalam pepatah jawa juga pernah menyebutkan, “ojo cedhak-cedhak kebo gupak”. Artinya jangan dekat-dekat dengan kerbau yang sedang berkubang di lumpur. Karena bisa dipastikan jika kita dekat-dekat dengan kerbau yang sedang berkubang di lumpur itu pasti kita akan terciprat lumpurnya, sehingga ikut terkena kotornya lumpur.
Bergaul dengan teman yang baik maka ada kemungkinan tertular baiknya. Tapi sebaliknya, berteman dengan yang tidak baik maka ada kemungkinan sifat-sifat tidak baik itu juga menular kepada yang bersangkutan. Maka di sekolah perlu menghadirkan sosok-sosok sahabat yang baik untuk menciptakan efektifitas keteladanan yang baik untuk seluruh civitas pendidikan.
Guru sebagai Sahabat
Jika bicara persoalan teman atau sahabat di sekolah (madrasah atau pesantren), maka guru juga harus dapat ada kalanya menempatkan dirinya (berperan) sebagai seorang sahabat atau teman yang begitu dekat dengan para siswa atau bahkan dengan guru yang lain. Karena memang keberadaan sekolah memiliki peran dalam membentuk kepribadian baik peserta didik. Sekolah tidak bisa dilepaskan oleh sosok seorang guru sebagai seorang sahabat sekaligus pendidik.
Guru memiliki berbagai fungsi dan peran dalam proses pembelajaran di sekolah selain pendidik dan pengajar. Menurut Hamka yang dikutip oleh Abdul Azis, guru adalah sosok yang berusaha untuk melepaskan manusia dari keterbelakangan dan belenggu kebodohan serta ketertindasan. Guru memiliki fungsi yang sangat strategis bagi peserta didik dengan memberikan pengajaran, melakukan bimbingan atau mengarahkan dan membina kepribadian siswa.
Maka guru sebagai seorang teman atau sahabat itu karena guru merupakan teladan sekaligus motivator dan pemberi semangat bagi peserta didik atau santri mereka. Di sisi lain sebagai seorang pengajar yang memberikan ilmu, guru juga harus menjadikan dirinya sebagai contoh (rule model) seorang muslim yang baik bagi peserta didik (uswatun khasanah).
Guru harus mampu memberikan teladan untuk berperilaku sesuai dengan syariat. Implikasinya dalam pendidikan, guru harus memiliki tujuan yang jelas dalam perannya sebagai pendidik untuk mengembangkan pribadi peserta didik agar memiliki kepribadian yang Islami. Inilah sedikit refleksi filosofis dari fenomena bersejarah Rasulullah ketika hijrah kaitannya dengan pendidikan Islam, khususnya Pesantren. Pesantren Gua Tsur.
Editor: Daib