Perspektif

Peta Perlawanan Masyarakat Pesisir

3 Mins read

Oleh: Alhafiz Atsari

Titik koordinat dalam sebuah peta rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) adalah kunci utama keberadaan masyarakat pesisir, baik tradisional, hukum adat, dan lokal yang harus diakui keberadaannya. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan usulan penyusunan dan harus dilibatkan dalam mekanisme penyusunan. Saat ini, RZWP3K yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Daerah telah mencapai 23 dari 34 provinsi di Indonesia dalam kurun 2017-2019. Namun, Kementerian/Lembaga dalam proses penyusunan tidak memiliki peta tematik terkait pesisir dan laut yang dikelola oleh masyarakat tradisional, hukum adat, dan lokal secara komprehensif.

Keterbatasan anggaran untuk mengumpulkan data adalah masalah klasik yang selalu dihadapi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Alih-alih mencari alternatif untuk menghasilkan peta-peta RZWP3K yang peruntukannya bermanfaat secara optimal bagi tiga kelompok masyarakat di atas, pemerintah daerah seolah-olah sedang berlomba untuk mengesahkan peraturan yang dapat menstimulus para investor datang ke pesisir. Bahkan, dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dalam penyusunan Roadmap Perikanan 2020-2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong penyelesaian Perda RZW3K di 11 provinsi menjadi agenda prioritas.

Pertanyaannya adalah, apakah penyusunan rancangan RZWP3K yang telah dilakukan dalam kurun 3 tahun terakhir ini partisipatif dan akomodatif bagi 3 kelompok masyakarat di atas? Tentunya tidak. Titik-titik koordinat yang seharusnya menjadi tempat kelompok masyarakat di atas untuk melakukan aktivitas tangkap dan budi daya secara kolektif digantikan oleh sedikit perusahaan, yang telah mendapatkan izin untuk mengelola secara eksklusif. Hal lain, misalnya, pengakuan akan keberadaan wilayah, sistem dan pranata sosial masyarakat hukum adat yang ada di pesisir oleh KKP masih terbatas di wilayah Timur Indonesia. Jumlah yang diakui hanya 15 dari 33 yang teridentifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa 23 Perda RZWP3K yang ada berpotensi merugikan masyarakat pesisir.

Baca Juga  Omong Kosong Covid-19 (1): Antara Virus dan Rumah Tuhan

Inisiatif Masyarakat Pesisir

Masyarakat tradisional dan adat memiliki tradisi untuk melibatkan atau menyebarkan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab kepemimpinan, hak, dan kewajiban anggota dengan cara yang sangat tepat berdasarkan konteks sosial kapital mereka untuk menciptakan pranata-pranata kerjasama yang telah berlangsung lama (future cooperation) (Ostrom, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Dedi Supendi Adhuri yang berjudul “Sosio-Ecological Diversities of the Sulawesi Islands” juga mengkonfirmasi temuan terkait pengelolaan pesisir secara tradisional oleh masyarakat Sangihe, yang telah memainkan peran yang sangat besar dalam menangkal ‘tragedi ekologi bersama’ yang secara turun temurun berhasil mendistribusikan sumberdaya alam pesisir secara proporsional bagi masyarakat di wilayahnya.

Pada pertengahan 2019, KNTI bersama masyarakat pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu telah melakukan pemetaan wilayah tangkap secara partisipatif yang melibatkan nelayan tangkap dan pembudidaya tradisional. Pemetaan ini diawali dari kajian bersama bahwa draft Rancangan Perda RZWP3K DKI yang disusun pada 2012 tidak akomodatif bagi nelayan tradisional di dua wilayah tersebut. Ditambah peliknya persoalan reklamasi yang tak kunjung usai. Para nelayan di pesisir Teluk Jakarta dan Pulau Pari menganggap draft rancangan tersebut cenderung ‘jakartasentris’ atau ‘bias laut’ karena dalam penyusunannya tidak mempertimbangkan pemangku asli wilayah pesisir yang pembuatannya dilakukan di ‘ruang-ruang pendingin udara.’

Akibat kekhawatiran akan hilangnya wilayah-wilayah tangkap dan budidaya yang selama ini menjadi tempat para nelayan untuk mencari nafkah, para nelayan mulai menggagas ide untuk melakukan pemetaan berdasarkan versi mereka. Dimulai dengan menggambar peta pesisir Teluk Jakarta dan Pulau Pari di atas karton. Peta-peta yang dibuat berdasarkan insting-insting para nelayan kemudian diverifikasi dengan mengunjungi titik-titik tangkap dan budidaya menggunakan perahu nelayan ke laut. Proses validasi ini dilakukan dengan mencatat titik koordinat menggunakan GPS (Global Positioning System) yang akan diolah menjadi peta digital. Peta digital tersebut merupakan hasil untuk menjawab kebuntuan pemerintah yang minim anggaran dan data tentang peta tematik wilayah nelayan traidisional.

Baca Juga  Membayangkan Senyum Kecil Pak Djazman di Surga Sana

Peran Pemerintah

Komitmen tidak seorang pun tertinggal (no one left behind) yang merupakan fokus utama semangat tujuan pembangunan keberlanjutan (SDGs)2030 seharusnya menjadi panduan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan program di pesisir, baik dalam ruang ekonomi, sosial, budaya, dan politik (FAO, 2018). Kolaborasi-kolaborasi dengan dunia usaha yang selama ini menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi harus segera dievaluasi dengan melibatkan masyarakat pesisir dalam hal ini untuk menjaga keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat pesisir yang termasuk dalam kategori tradisional dan adat memiliki pranata sosial dan ekologi yang terbukti mampu menjamin kelestarian pesisir.

Dahulu, diskursus mengenai eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan yang diagendakan pemerintah sangat jarang mendapat perhatian publik secara luas. Namun, publik saat ini melihat laut sebagai masa depan Indonesia yang harus dijaga. Respon ini menandai arus balik bahwa partisipasi penuh oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini masyarakat pesisir, tidak dapat dinafikan. Pelibatan mereka dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sebelas provinsi yang tersisa akan membantu pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ikhtiar global untuk membendung perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca.

*) Penulis adalah staf Advokasi dan Hubungan Internasional Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan pegiat Rumah Baca Komunitas (RBK).

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds