Oleh: Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay*
Tragedi perundungan siswa salah satu sekolah di Purworejo menambah catatan panjang tindak pidana yang dilakukan anak di Indonesia. Dimulai dengan viralnya video adegan perundungan tersebut di dunia maya, banyak pihak yang bersimpati terhadap korban.
Bahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, langsung turun tangan untuk menyelesaikannya. Selain itu tidak sedikit pula pihak yang mengutuk tindakan pelaku, bahkan mengharapkan agar pelaku dijebloskan ke penjara supaya jera.
Peradilan Anak
Ketika ada anak yang berhadapan dengan suatu tindak pidana, maka Aparat Penegak Hukum akan menanganinya dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perbedaan mendasar antara penanganan pidana Anak dengan dewasa adalah pada penerapan prinsip restorative justice. Dalam pidana anak, Aparat Penegak Hukum diharapkan melakukan upaya untuk memulihkan kembali hubungan antara korban dan pelaku seperti sediakala.
Dalam paradigma restoratif, upaya pemenjaraan bagi pelaku anak bukanlah solusi untuk menyelesaikan persoalan pidana yang menjeratnya. Tidak menutup kemungkinan dengan pidana penjara tersebut, pelaku anak dapat berubah menjadi lebih ahli dalam melakukan tindak pidana lain karena sering berinteraksi dengan orang-orang yang pernah melakukan tindak pidana, bahkan lebih parah darinya.
Stigmatisasi dari masyarakat pun akan melekat pada anak yang masuk ke dalam penjara, sehingga menyebabkan ia menjadi termarginalkan di lingkungan tempat tinggal.
Risiko seperi inilah yang ingin dihindari dalam penanganan pidana anak. Paradigma restoratif menginginkan adanya pemulihan bagi anak, baik korban maupun pelaku, sehingga kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan bagi masa depannya tetap terjaga baik. Bukan hanya pembalasan serta ganti rugi atas tindak pidana yang telah menjeratnya. Namun dalam konteks masyarakat Indonesia dewasa ini, paradigma restoratif ini menjadi pisau bermata dua, terutama ketika kasusnya menjadi viral seperti tragedi yang dijelaskan di atas.
Satu sisi pelaku merupakan anak-anak sekolah yang diprioritaskan untuk jauh dari pidana penjara, di sisi lain emosi publik telah mencapai puncak ketika melihat perbuatan pelaku yang tidak mencerminkan siswa sekolahan. Sehingga luapan emosi publik tadi akan berimbas pada proses penegakan hukum yang berjalan.
Tidak menutup kemungkinan karena tekanan tersebut penerapan paradigma restoratif tidak akan berjalan maksimal bahkan ditolak secara masif.
Islam dan Paradigma Restoratif
Padahal paradigma restoratif ini sejalan dengan semangat dari tujuan pemidanaan dalam islam. Menurut Ocktoberrinsyah, dalam Jurnal In Right : Tujuan Pemidanaan Dalam Islam (2011), menyebutkan bahwa ada lima tujuan dari suatu penjatuhan pidana, yaitu :
1. Pembalasan (al-Jazā’) Konsep ini secara umum memberikan arti bahwa pelaku tindak pidana perlu dikenakan pembalasan yang setimpal dengan apa yang dilakukannya tanpa melihat apakah hukuman itu berfaedah untuk dirinya atau masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep keadilan yang menghendaki seseorang itu mendapat pembalasan yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Seperti pada surat Asy-Syura (42): 40 dan Al-Maidah (5) : 38.
2. Pencegahan (az-Zajr), Pencegahan atau deterrence ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu tindak pidana agar tidak terulang lagi. Dalam Alquran sendiri terdapat beberapa ayat yang secara jelas memberikan isyarat kepada konsep seperti ini. Antara lain firman Allah swt Az-Zukhruf (43): 48 dan At-Taubah (9): 126.
3. Pemulihan/Perbaikan (al-Islāh), satu lagi tujuan asas bagi hukuman dalam hukum pidana Islam ialah memulihkan pelaku tindak pidana dari keinginan untuk melakukan tindak pidana. Tujuan pemidanaan ini dapat dilihat dalam firman Allah Al-Maidah (5): 38-9
4. Restorasi (al-Isti`ādah), restorasi adalah sebuah metode untuk merespon tindak pidana dengan melibatkan pihak-pihak yang bertikai dalam rangka memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Hal ini dilakukan dengan dialog dan negosiasi antara kedua belah pihak. Dalam Islam, tujuan ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat yang menegaskan adanya hukuman diat sebagai hukuman pengganti dari hukuman kisas apabila korban memaafkan pelaku tindak pidana. Seperti dalam surat Al-Baqarah (2): 178.
5. Penebusan Dosa (at-Takfīr) Salah satu hal yang membedakan hukum pidana Islam dan hukum pidana sekular adalah adanya dimensidimensi ukhrawi dalam hukum pidana Islam. Ketika manusia melakukan kejahatan, ia tidak hanya dibebankan pertanggungjawaban/ hukuman di dunia saja (al-`uqūbāt ad-dunyawiyyah), tetapi juga pertangungjawaban/hukuman di akhirat (al-`uqūbāt al-ukhrawiyyah).
Penjara Adalah Upaya Terakhir
Paradigma restoratif yang dianut oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 menetapkan pidana penjara sebagai langkah terakhir (ultimum remidium) dalam memutus pidana bagi anak. Bahkan sebelum putusan pidana yang dikeluarkan oleh pengadilan, Undang-Undang mewajibkan perlu diadakan upaya diversi. Diversi dilakukan dengan mempertemukan korban dan keluarga, pelaku dan keluarga, serta berbagai pihak terkait, sebagai manifestasi dari konsep restoratif.
Tujuan dari upaya diversi adalah agar tercapai kesepakatan yang berpihak pada korban dan tidak memasukkan pelaku ke dalam penjara. Dalam bahasa sehari-hari masyarakat, kegiatan seperti ini lebih dikenal dengan istilah “musyawarah mufakat”.
Memang benar penjara bukan tempat yang tepat untuk menangkal tindak pidana, terutama anak. Karena seorang anak adalah manusia yang belum mampu bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Baik dalam ranah ekonomi, sosial maupun hukum.
Ada keterlibatan berbagai faktor yang mempengaruhi setiap perbuatan anak. Mulai dari didikan orangtua, guru di sekolah, pengaruh teman sebaya hingga doktrinasi masyarakat tempat ia tinggal. Maka ketika anak melakukan sebuah tindak pidana atau perilaku menyimpang lainnya, tidak menutup kemungkinan ada kontribusi dari berbagai pihak tersebut. Sehingga sangat tidak adil jika hanya anak saja yang dihakimi atas tindakannya.
Islam pun memandang bahwa salah satu tujuan pidana adalah untuk untuk merestorasi, baik korban dan pelaku. Karena jika pelaku anak hanya dimasukan penjara, maka tidak menutup kemungkinan di kemudian hari dia akan melakukan hal yang lebih kejam lagi karena telah terpapar oleh rekan-rekannya di dalam penjara.
Korban pun tidak akan mendapat pertanggungjawaban lebih dari pelaku. Karena dengan penjara tanggungjawab pelaku terhadap korban sudah tuntas secara hukum. Sehingga tujuan Islam untuk mewujudkan keadilan dan penyadaran hukum kepada masyarakat tidak akan terwujud.
*) Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini bekerja di Kementerian Hukum dan HAM pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Pekalongan.
Editor: Nabhan