Perspektif

Pilkada dalam Narasi Pro-Perempuan: Betulan Paham atau Genderwashing Semata?

3 Mins read

Mengenal Fenomena Genderwashing

Di tengah hiruk-pikuk kontestasi pemilihan kepala daerah, isu gender kerap menjadi komoditas politik untuk menarik perhatian. Para kandidat berlomba-lomba menampilkan citra sebagai pemimpin yang peduli terhadap perempuan. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah menargetkan kelompok perempuan, seperti ibu-ibu, dengan jargon “peduli emak-emak.” Jargon ini kerap berseliweran di baliho dan media sosial, dimaksudkan untuk membangun kesan bahwa mereka adalah pemimpin pro-perempuan.

Dalam banyak kesempatan, terutama saat debat publik, para kandidat seringkali ‘tiba-tiba’ menjadi peduli isu perempuan. Mereka mengusulkan program-program pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesejahteraan ibu. Menggelorakan jargon-jargon kesetaraan dan kepedulian kepada perempuan dengan semangat. 

Sayangnya, usulan ini kerap hanya berada di permukaan, tanpa pemahaman mendalam tentang akar masalah ketidaksetaraan. Akibatnya, solusi yang ditawarkan sering salah sasaran, bersifat instan, atau hanya didasarkan pada asumsi pribadi yang belum terverifikasi. 

Pertanyaannya, apakah langkah-langkah ini benar-benar merepresentasikan kepentingan perempuan dan kesetaraan? Atau, apakah ini hanya strategi politik untuk meraih simpati pemilih? 

Wendy Fox-Kirk dalam penelitiannya Genderwashing: The Myth of Equality, menyebut fenomena ini sebagai genderwashing. Ia menggambarkan genderwashing sebagai upaya institusi atau individu untuk menciptakan kesan mendukung kesetaraan gender, padahal sebenarnya hanya sebatas retorika tanpa tindakan nyata. Bukannya mendukung dunia politik yang lebih inklusif terhadap perempuan, genderwashing justru melanggengkan praktek-praktek bias gender yang struktural.

Genderwashing dalam Pilkada

Fenomena genderwashing dalam pilkada sangat mudah dikenali. Kita disuguhi oleh oleh parade politik sepanjang tahun ini, baik melalui sosial media, televisi, maupun forum-forum kampanye secara langsung.  

Salah satu tanda genderwashing yang bisa kita identifikasi adalah ketika kandidat yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak mendukung isu perempuan tiba-tiba menjadikan isu ini sebagai bagian dari narasi kampanye. Kemudian langkah ini seringkali tidak diikuti dengan strategi atau rencana implementasi yang konkret. Dengan demikian, genderwashing menjadi alat politik yang digunakan untuk menciptakan ilusi keberpihakan tanpa komitmen nyata.

Baca Juga  Kiai Pesantren Mengajarkan Santri Politik yang Bermartabat

Bentuk lain dari genderwashing adalah representasi simbolik perempuan dalam tim sukses atau kampanye. Perempuan sering kali hanya ditampilkan sebagai “wajah” kampanye tanpa diberi peran strategis atau terlibat dalam pengambilan keputusan penting. Sebagian besar peran ini ditujukan untuk tujuan estetika, bukan substansi.

Yang lebih mencolok adalah sikap kandidat terhadap isu kekerasan berbasis gender. Dalam kasus ini, kandidat cenderung tidak berani mengambil posisi yang tegas. Mereka enggan berbicara lantang tentang kekerasan berbasis gender atau kekerasan dalam rumah tangga, karena khawatir kehilangan dukungan dari basis pemilih konservatif atau penyokong politik mereka. Padahal, keberanian untuk mengambil sikap tegas terhadap kekerasan berbasis gender adalah langkah mendasar untuk menciptakan pemberdayaan perempuan yang nyata. Mustahil untuk mengkampanyekan isu gender tanpa melawan kekerasan berbasis gender.

Kritis Memilih Pemimpin Daerah

Kesadaran untuk memilih pemimpin yang memiliki perspektif politik inklusif menjadi semakin penting di tengah maraknya praktik genderwashing dalam kontestasi politik lokal. Generasi muda, dengan pandangan mereka yang semakin terbuka terhadap keberagaman dan kesetaraan, memiliki peran strategis dalam melawan fenomena ini. Menurut laporan INFID, Generasi Z (77%) dan Millennial (80%) telah diidentifikasi sebagai penggerak utama dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif. Mayoritas mereka berpendapat bahwa kelompok minoritas, termasuk perempuan, layak menjadi pemimpin.

Namun, meskipun kesadaran akan politik inklusif mulai tumbuh, praktik genderwashing masih menjadi tantangan besar. Kandidat politik seringkali memanfaatkan retorika pro-perempuan untuk menarik simpati tanpa komitmen nyata terhadap isu-isu yang krusial bagi kesetaraan gender. Generasi muda, sebagai kelompok dengan pandangan yang lebih progresif, memiliki peran penting dalam membedakan kandidat yang benar-benar peduli dengan yang sekadar menggunakan narasi inklusivitas untuk tujuan politik.

Baca Juga  Riset Kawula17: Bahan Pokok, Pendidikan, dan Judi Online Jadi Permasalahan Mendesak

Isu gender merupakan salah satu komoditas yang menjual bagi para pemilih muda. Pastikan bahwa kandidat yang bersangkutan memiliki rekam jejak yang konsisten dalam mendukung kesetaraan gender. Rekam jejak tersebut dalam kita lihat dalam kebijakan, aksi, maupun sikap-sikap pribadi yang ia pilih. Jika yang didapati sebaliknya, misalnya seorang kandidat yang justru melakukan maupun mendukung kekerasan berbasis gender, tidak pernah mempertimbangkan representasi perempuan, maka rekam jejak ini dapat dikatakan buruk.

Ketahui program-program yang diusulkan, tindaklanjuti bagaimana ia akan mengimplementasikan program tersebut serta siapa saja yang akan ia libatkan. Jangan sampai hanya berhenti pada program, namun tanpa perencanaan yang jelas. Kandidat seringkali membuat program, namun belum memahami secara pasti tentang langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan agar program tersebut berhasil.

Lihat siapa saja orang-orang yang ia libatkan. Kita bisa mulai melihat dari tim sukses maupun orang-orang yang dipercaya untuk mengambil keputusan dalam kampanye. Apakah tim tersebut memiliki representasi perempuan atau, lagi-lagi, didominasi oleh laki-laki? Kita tentu perlu bertanya mengapa narasi gender dan pemberdayaan perempuan bisa muncul tetapi tidak ada representasi perempuan di dalam tim suatu kandidat. 

Memutus Praktik Genderwashing

Genderwashing, meskipun terlihat manis namun tidak memberikan perubahan secara signifikan terhadap upaya kesetaraan. Masih dalam risetnya, Wendy Fox-Kirk menggarisbawahi bahwa genderwashing dapat menghambat perubahan struktural, mempertahankan perempuan tetap dalam posisi yang tidak setara.

Melalui genderwashing, sebuah institusi maupun individu politik berusaha untuk menggambarkan citra diri inklusif dengan realitas yang tidak demikian. Strategi ini cenderung memoles tampilan luar sembari mengabaikan akar permasalahan yang sebenarnya terjadi, seperti ketimpangan struktural, diskriminasi sistemik, atau kurangnya representasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Upaya genderwashing terus dilakukan tanpa dibarengi oleh struktur dan budaya organisasi yang mendukung ketidaksetaraan gender. 

Baca Juga  Corona Mengingatkan Kita Pada Kerjasama Global Manusia

Genderwashing dapat memperburuk situasi karena menciptakan ilusi bahwa kesetaraan gender telah dicapai. Pada akhirnya, upaya ini adalah gimik manis untuk melindungi reputasi institusi atau seseorang dengan motif tertentu daripada etika yang benar-benar tulus menuju kesetaraan.

#ibtimes.id #infid

Editor: Yafaro

Laila Hanifah
2 posts

About author
Penulis adalah Peneliti di MAARIF Institute dan Anggota Bidang Advokasi Sosial Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds