Pemilihan Presiden (Pilpres) tinggal menghitung hari. Tim sukses dari pasangan masing-masing calon terus melakukan kampanye di berbagai daerah. Pada penutupan kampanye 10 Februari 2024, Pasangan nomor urut 1 Anies-Muhaimin melaksanakan kampanye di Jakarta; Pasangan nomor urut 2 Prabowo-Gibran di Provinsi yang sama; sedangkan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud melaksanakan kampanye di Jawa Tengah.
Tujuannya untuk terus menarik perhatian dari rakyat agar meraup suara terbanyak dan memenangkan kontestasi lima tahunan ini. Di sisi lain, suara gemuruh dari para intelektual kampus dalam mengkritik situasi demokrasi dan para elit politik nasional mulai muncul ke permukaan, pertama kali menabuh genderang kritik adalah Universitas Gadjah Mada. Kemudian diikuti oleh sivitas akademik kampus lain.
Isu Kebebasan Beragama dalam Debat Pertama
Sedangkan untuk debat Pilpres yang diselenggarakan oleh KPU telah berakhir pada Minggu, 4 Februari 2024. Debat ini adalah debat yang sudah kelima kalinya dilaksanakan. Pada debat pertama, muncul isu terkait kebebasan beragama yang diwacanakan pada tema kerukunan antar warga. Prabowo menanyakan tentang kelompok minoritas yang sulit mendirikan tempat ibadah ke Ganjar dan Anies.
Dalam jawabannya, Anies mengklaim banyak memberikan izin pendirian rumah ibadah saat memimpin Jakarta. Hal ini memang fakta. Tapi, berdasarkan survei International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) izin yang diberikan hanya pada kelompok agama mayoritas.
Wacana kebebasan beragama ini hanya menjadi diskursus sederhana dalam debat pertama, tidak dibicarakan secara mendalam dan mendasar. Bahkan di media sosial, kalah heboh dengan isu Nikel yang sempat menjadi perdebatan antara Co Captain nomor urut 1 Tom Lembong dan Luhut Binsar Panjaitan yang telah menyatakan sikap dukung Prabowo. Bahkan lebih trending lagi persoalan pada debat keempat terkait etika Gibran terhadap Mahfud.
Padahal justru kebebasan beragama atau berkeyakinan di negara ini menjadi salah satu persoalan penting dalam demokrasi Indonesia. Hingga saat ini, masih ada rumah ibadah yang tidak diijinkan berdiri dan kelompok minoritas yang masih mengalami intoleransi dan diskriminasi.
Kasus-kasus Kebebasan Beragama
Pada tahun 2023 terdapat beberapa kasus penodaan agama di antaranya kasus yang dialami oleh Panji Gumilang, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun yang ditangkap dengan alasan telah menistakan agama. Panji ditangkap setelah viralnya tata cara sholat di Al-Zaytun yang dipandang telah menodai Islam seperti: jemaah perempuan berada di baris depan laki-laki saat melaksanakan shalat. Panji dipidana dengan pasal 156a KUHP dan Undang-Undang ITE.
Selain itu, kasus penodaan agama juga menimpa Lina Mukherjee. Lina yang mengunggah video di TikTok dan Youtube makan kerupuk babi dengan mengucap “Bismillah” menjadi viral dan dilaporkan oleh pihak tertentu, ia kemudian dipidana salah satunya dengan UU ITE dan mendapatkan hukuman dua tahun penjara.
Dari penodaan agama kita bergeser pada kasus rumah ibadah. Pada bulan September 2023 di Kabupaten Bireuen Aceh Darussalam, pembangunan masjid Muhammadiyah ditolak. Masjid milik Ahmadiyah juga di beberapa tempat masih mengalami penolakan.
Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam catatan akhir tahun Koalisi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan terdapat beberapa kasus kontroversi rumah ibadah di antaranya: Penutupan tempat ibadah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang terjadi di Purwakarta, Jawa Barat; penutupan Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo Jawa Tengah; dan penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKWJ) di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Data ini menunjukan masih marak polemik rumah ibadah di Indonesia.
Persoalan yang lain adalah penganut agama leluhur yang masih sulit untuk mengakses hak beragama di Indonesia, salah satunya salah seorang penganut agama leluhur di Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2023 yang KTP-nya dipaksa oleh petugas kelurahan untuk mencantumkan agamanya adalah Islam.
Di tahun 2023 terbit Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2023 tentang Kementerian Agama yang menegaskan bahwa Kementerian Agama hanya menyelenggarakan pelayanan keagamaan pada enam agama semata: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Kebijakan ini semakin memperjelas politik agama di Indonesia. Terjadi politik pembedaan agama. Negara memprioritaskan enam agama pada saat yang sama meminggirkan hak beragama penganut agama leluhur. Agama leluhur tidak mendapatkan kesetaraan seperti enam agama di atas.
Mengapa Terjadi Demikian?
Fakta di atas menggambarkan kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Namun dari ketiga pasangan calon kurang memberikan ruang bagi isu ini. Mengapa terjadi demikian?.
Pertama, dalam Pilpres, demokrasi hanyalah persoalan angka-angka. Memang tujuan untuk mengikuti kontestasi adalah kemenangan dan kemenangan ditentukan oleh angka-angka. Tapi, kemenangan tanpa mempromosikan dan menjamin hak beragama setiap warga negara apalagi kelompok minoritas hanya membuat demokrasi dimiliki oleh tirani mayoritas. Demokrasi tidak untuk semua warga.
Kedua, jika berpihak pada kelompok minoritas agama, akan terjadi resistensi dalam meraup suara. Warga Ahmadiyah dan Syiah tidak menjadi perhatian penuh, padahal kelompok ini hingga sekarang menjadi korban pelanggaran bagi kelompok mayoritas. Ahmadiyah dipasung hak beragamanya lewat SKB 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008. Kebijakan ini menjadi legitimasi hukum untuk mempersekusi Ahmadiyah. Bagi ketiga pasangan calon yang mempromosikan dan mengakui hak kelompok minoritas, kebijakan ini seperti menelan pil pahit kekalahan.
Catatan
Pilpres tidak bisa memastikan alam demokrasi berjalan sesuai nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan non-diskriminasi. Padahal mewacanakan pemihakan terhadap hak beragama bagi warga negara menjadi tolak ukur pemajuan alam demokrasi Indonesia.
Indonesia telah memiliki padanan hukum terkait kebebasan beragama di Indonesia, diantaranya adalah pengakuan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2, pasal 29 ayat 1 dan 2 dan penguatan terhadap pengakuan terhadap kebebasan beragama dalam pasal 18 ayat 2 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan politik.
Tetapi nyatanya hukum dibiarkan menjadi teks semata, tidak dijadikan visi politik untuk membawa kondisi kebebasan beragama di Indonesia lebih sehat dan bisa dinikmati oleh setiap orang.
Editor: Ahmad