Oleh: Sabrur Rohim
Apa yang dimaksud dengan 1000 HPK seperti yang digunakan sebagai judul tulisan ini? Apakah ini jenis takhayul atau khurafat baru? Jawabannya tegas dan lugas: bukan! Lantas, bagaimana hubungannya dengan ajaran Islam? Berikut ini penjelasan tentang 1000 HPK berkaitan dengan piwulang (ajaran) Islam.
1000 HPK
Yang dimaksud dengan 1000 HPK artinya “1000 Hari Pertama Kehidupan.” Makna dan istilah “1000 HPK” ini tidak sama dengan nyewu dino—peringatan 1000 hari kematian seseorang dalam tradisi Kejawen. Justru, istilah ini dapat dimaknai kebalikan dari tradisi tersebut, yaitu memaknai fase awal kehidupan manusia. Fase 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa tumbuh kembang paling kritis dalam kehidupan seorang anak.
Fase 1000 hari pertama kehidupan terbagi menjadi 3 (tiga), yakni: masa kehamilan, masa satu tahun pertama setelah kelahiran, dan masa balita. Masa kehamilan sekitar 270 hari. Masa satu tahun pertama pasca kelahiran adalah 365 hari. Dan masa balita adalah tahun kedua pasca kelahiran sampai usia lima tahun.
Pola asuh yang baik, baik pemberian nutrisi, stimulasi, dan sebagainya yang dicurahkan orangtua (terutama ibu) kepada sang anak di dalam kurun 1000 HPK akan berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya secara jangka panjang. Sehingga dengan memperhatinan 1000 HPK akan menentukan kualitas sang anak di masa depan, baik secara lahiriah maupun batiniahnya.
Masa Kehamilan
Sesungguhnya, perhatian terhadap urgensi 1000 HPK dalam fase kehidupan manusia, dalam perspektif Islam, tidak dimulai sejak pertemuan ovum dan sperma, tetapi lebih jauh lagi pada fase pra-kehamilan. Yang dimaksud di sini adalah fondasi keagamaan yang kuat, sakral, dan legal, bahwa kehamilan (yang menandai awal HPK itu) didahului dengan perkawinan yang sah sesuai tuntunan agama dan negara. Sehingga, kehamilan tersebut bukan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) sebagai akibat hubungan seksual pra-nikah atau akibat dari suatu perselingkuhan (perzinahan). Akan tetapi, sebagai buah cinta sejati dari suatu hubungan seksual setelah terjadi akad nikah yang sah antara sepasang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dan mengasihi serta bersepakat untuk membangun bahtera rumah tangga.
Dalamwawasan Islam, kehamilan bukan semata-mata proses biologis dari kegiatan reproduksi manusia. Lebih dari itu, Islam memandang kehamilan sebagai sesuatu yang sakral, spiritual, karena pada tujuan akhirnya ingin mewujudkan anak keturunan yang saleh, generasi yang berbakti dan mengabdi kepada Allah. Untuk kepentingan itu, proses ikhtiar mewujudkan kehamilan dimulai dengan berdoa, Allahumma jannibna al-syaithan wa janib al-syaithana ma razaqtana. Artinya, “ya Allah, jauhkan kami (suami-istri) dari gangguan setan, dan jauhkan setan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami.”
Dengan doa ini, dimaksudkan agar Allah menjauhkan kita (suami istri) dari kejahatan setan selama kita berhubungan badan. Seandainya dari hubungan badan tersebut menghasilkan anak, maka kiranya anak tersebut juga dijauhkan dari kuasa dan kejahatan setan. Ketika kehamilan itu akhirnya terjadi, sikap utama yang musti ditunjukkan seorang ibu adalah rasa gembira atas kehamilan tersebut. Dengan sikap gembira tersebut mengindikasikan bahwa kehamilan tersebut bukan tidak diinginkan (KTD).
Sikap Gembira
Tentang sikap gembira atas kehamilan ini sendiri telah diajarkan dalam al-Quran melalui beberapa ayat. Misalnya, dalam QS al-Shaffat: 101, di mana Allah bercerita tentang kelahiran Nabi Ismail AS: “Maka Kami beri dia (Ibrahim) kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (yakni Ismail).” Di ayat lain disebutkan juga, yakni QS al-Hijr: 53, “Sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim (yakni Ishaq).”
Sikap gembira atas kehamilan itu menjadi modal utama seorang ibu, yang akan menjadi fondasi baginya untuk memberikan perhatian yang khusus, yang spesial, atas janin yang dikandungnya itu. Ia akan menjaga kesehatan tubuhnya dengan baik, mengkonsumsi makanan yang bergizi dan bervitamin, yang baik lagi halal, yang akan menunjang bukan saja kesehatannya sebagai ibu tetapi juga kesehatan bayi yang dikandungnya. Ia akan rutin memeriksakan ke dokter, ke bidan, ke puskesmas, ke rumah sakit, dan akan mematuhi semua arahan dan bimbingan petugas kesehatan.
Selain tawakal dan berdoa kepada Allah, hal-hal yang bersifat alamiah, kauniyah, juga harus diperhatikan. Jangan sampai seorang ibu hamil tidak memperhatikan larangan atau anjuran yang bersifat medis terkait dengan kehamilannya, dan justru lebih percaya dengan takhayul dan khurafat yang hanya bersumber dari katanya dan katanya.
*) Sabrur Rohim, SAg, MSI, alumnus PMU Syariah dan PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, guru ngaji di PP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul.
Editor: Arif