Perspektif

POLIGAMI; Hanya untuk Nabi, Bukan untuk Umatnya

4 Mins read

Ada beberapa alasan yang insya Allah dapat meyakinkan bahwa poligami hanya khusus untuk Nabi termasuk Nabi kita, Muhammad Saw. Pertama, seperti diakui oleh Nabi Saw. yaitu Saya berbeda dengan Anda. Artinya, kita memang berbeda dengan Nabi kendati sama-sama sebagai manusia. Kedua, bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah ma’shum, manusia suci yang terbebas dari kesalahan dan inilah salah satu yang membedakan antara beliau dengan manusia biasa. Ketiga, bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. adalah poligami yang didasarkan atas wahyu, bukan nafsu. Keempat, masih banyak alasan lagi yang meyakinkan, terutama yang terdapat dari beberapa ayat al-Qur’an, misalnya dalam Q.S. at-Tahrim ayat 1-5 :

Dalam ayat 1 misalnya, di situ terdapat kata (kalimat) azwaajaka (istri-istri Anda). Ini jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. memang berpoligami. Kalimat dalam al-Qur’annya pun tegas, yaitu (sekali lagi) azwaajaka (istri-istri Anda). Q.S. al-Ahzab : 6 terdapat kata azwaajuhu ummatuhum (para istri Nabi adalah ibu seluruh kaum Muslimin). Perhatikan kalimatnya, yaitu azwaajuhu (istri-istrinya, Nabi).

Menunjukkan bahwa al-Qur’an secara tegas menyebutkan berpoligami hanya kepada hu (dia tunggal/Nabi), bukan kepada yang lainnya, dan menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah para perempuan yang istimewa, yang sangat berbeda dengan para perempuan di segala zaman. Di antara yang membedakannya, antara lain terdapat aturan yang jelas, yang menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk ibu kaum Muslimin sejagat, seperti yang tergambar dalam Q.S. al-Ahzab : 28, 32 dan 33, 49 dan 50.

***

Dalam Q.S. al-Ahzab 50 dari segi tekstual dengan tegas menyatakan : … Hai Nabi, … Kami telah menghalalkan bagimu istri-istri. Ini dapat dipahami sebagai penegasan bahwa teks al-Qur’an yang menununjukkan istri-istri (poligini) hanya dihalalkan untuk Nabi. Khithab (doktrin) ayat ini jelas pula, untuk Nabi bukan untuk yang lainnya. Kata yang digunakan Allah Swt. pun, yaitu “la-ka (untuk Anda, wahai Nabi) bukan “la-kum (untuk Anda semua), atau “azwaaja-ka (istri-istri Anda wahai Nabi) bukan “azwaaja-kum.

 Penegasan bahwa istri-istri hanya untuk Nabi, diketemukan karena tidak terdapat lagi kalimat azwaja (istri-istri) dalam al-Qur’an yang langsung berhubungan dengan dhamir (kata ganti) ka (Anda seorang diri). Selain untuk Nabi, al-Qur’an menyebutnya dengan dhamir kum (Anda semua), yang apabila dikaitkan dengan kata azwaaja menjadi azwaaja-kum yang berarti istri-istri Anda semua atau tepatnya istri Anda masing-masing. Jadi, andai poligami itu dapat dilakukan juga oleh selain Nabi, maka dhamir ka yang ada dalam azwaajaka, pasti ada penjelasan bahwa ka itu berlaku juga untuk selain Nabi Saw.

Baca Juga  Bu Tejo di Sekitar Kita

Dengan kata lain, bahwa perbedaan yang Allah Swt. gambarkan dalam penggunaan dhamir, antara dhamir ka dan dhamir kum yang menyertai kalimat azwaaja, menunjukkan bahwa kata azwaajan dalam al-Qur’an yang dapat dipahami dengan poligami (istri-istri) yaitu azwaajaan yang dirangkaikan dengan dhamir ka  menjadi azwaaja-ka (istri-istri Anda) bukan dengan dhamir kum (dalam bahasa Indonesia berarti kalian/anda semua).

Al-Qur’an surat al-Ahzab : 53 memperjelas keterkaitan poligami dengan Nabi, bahwa para istri Nabi Saw. adalah perempuan istimewa, yang dapat dikatakan sebagai wahyu dan mereka – andai menjadi janda – tidak boleh atau haram dinikahi. Ini menunjukkan, bahwa poligami yang dilakukan Nabi Saw. adalah sebuah ikatan permanen, sehidup-semati yang tak dapat dipisahkan. Gaya poligami yang demikian, sangat tidak mungkin jika dilakukan oleh umatnya, apalagi di zaman sekarang dan nanti.

***

Dalam Q.S. al-Taghaabun: 14 disebutkan perbedaan penempatan kata azwaaj (istri-istri), yang sering dipahami bahwa berpoligini itu ada dalam al-Qur’an untuk orang yang beriman. Padahal, jika ayat itu dipahami dengan akal, dan hati yang tulus, tentu tidak akan semudah itu memahami ayat tersebut. Paling tidak, seharusnya dilihat kenapa ayat itu menggunakan kata “azwaaji…” (pakai bentuk plural yang berarti istri-sitri).

Ya, karena ayat itu diawali dengan : Yaa ayyuhalladziina aamanuu…, yang secara jelas menunjukkan plural juga (orang-orang yang beriman). Begitu juga dengan kata azwaaji + kum. Kata atau istilah “kum” di sini artinya adalah “kamu semua”. Jadi, untuk mengartikan “azwaajikum”, berdasarkan kaidah bahasa semuanya dimaknakan dengan plural atau jamak, menjadi “istri-istri Anda semua”, bukan dengan “istri-istri Anda” (seperti yang dipahami oleh pelaku poligami), melainkan, ya, itu tadi, istri-istri Anda semua, atau gampangnya; istri Anda masing-masing.

Baca Juga  Babak Baru Umat Islam Indonesia

Dalam Q.S. al-Furqan: 74: Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.. Oleh para pelaku poligami ayat ini dianggap sebagai do’a miliknya.  Padahal, ayat ini tidak ada kaitan dengan do’a untuk orang yang beristri banyak (poligami). Do’a ini adalah do’a yang seharusnya dibacakan seorang imam atau pemimpin, yang jika diterjemahkan secara tepat menjadi : Wahai Tuhan kami (kita), anugerahilah kepada istri kami (kita) masing-masing keturunan yang dapat membahagiakan kami (kita)… Nah, jadi, ini bukan do’a buat orang yang bersitri banyak (poligami), bukan. Sekali lagi, bukan!

***

Masih ada bahkan banyak ayat al-Qur’an yang berhubungan sekaligus yang membedakan perbuatan Nabi dengan manusia biasa. Al-Qur’an  surat Ali Imran: 161, Q.S. al-A’raf : 94, Q.S. al-A’raaf: 157, Q.S. al-Anfaal : 67, Q.S. at-Tahrim: 1, Q.S. at-Tahrim : 3, Q.S. at-Tahrim: 8. Dari ayat-ayat jelaslah bahwa Nabi, khususnya Muhammad Saw sangat berbeda dengan manusia biasa. Poligami, adalah bagian dari yang membedakannya.

Jika manusia biasa ikut-ikutan berpoligami, artinya bukan ikut-ikutan melainkan ingin menyamai Nabi. Keinginan demikian, jelas salah, sebab jika keinginan itu diwujudkan (berpoligami) itu artinya secara tidak langsung mengaku menjadi Nabi, mengaku mampu berbuat adil pada istri-istri. Padahal, Nabi sendiri merasa kurang memiliki keadilan dan karenanya beliau selalu memohon ampunan kendati sesungguhnya beliau adalah ma’shum, dan para istrinya adalah kiriman (wahyu) dari Allah Swt.., bukan atas kehendak Nabi sendiri.

Sedangkan bagi manusia biasa, jika berpoligami, jelas lebih banyak karena nafsu syahwatnya, egonya atau karena tidak tahu diri ingin menyamai Nabi. Jadi, yang mengkhususkan bahwa poligami itu hanya untuk para Nabi, khususnya Nabi Muhammad Saw. adalah al-Qur’an yang secara tegas ketika menyebutkan istri-istri disertai dhamir ka (kata ganti Anda) seperti azwaajaka (istri-istri Anda) yang terdapat antara lain dalam Q.S. at-Tahrim: 1, Q.S. al-Ahzab: 28, dan 50.

Baca Juga  3 Simple Tips For Using TECHNOLOGY To Get Ahead Your Competition

Sedangkan yang berhubungan dengan dhamir “kum”, misalnya azwaja-kum seperti yang terdapat dalam Q.S. at-Taghabun: 14, menunjukkan arti jamak, yang berarti istri Anda semua atau istri Anda masing-masing, dan azwaaji-na yang terdapat dalam Q.S. al-Furqan: 74, bermakna jamak juga, yaitu istri-istri kami, artinya istri kami masing-masing, bukan dimaknakan istri-istri saya.

Editor: Yahya FR
Avatar
13 posts

About author
Noor Chozin Agham, dosen UHAMKA dan UMT Indonesia, Penulis Buku : ISLAM BERKEMAJUAN gaya MUHAMMADIYAH - Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu'amalah Duniawiyah - UHAMKA Press, 2015
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds