Membahas poligami membuat penulis ingat dengan sebuah film berjudul Surga yang Tak Dirindukan. Diambil dari sebuah novel karangan penulis ternama Asma Nadia, film ini sukses membuat penulis terhibur sekaligus mendapatkan gambaran mengenai poligami.
Penulis menikmati akting Fedi Nuril, Laudya Chintya Bella dan Raline Shah dalam film yang beredar tahun 2015 ini. Penulis tak bermaksud mengulas film ini lebih jauh, biar pembaca yang menonton dan mengulasnya sendiri. Penulis hanya ingin mencoba mengulas soal poligami yang akhir-akhir ini sedang hot dibahas.
Benarkah poligami itu surga yang tak dirindukan? Poligami adalah syariat Islam, karena ia termaktub dalam Alquran. Dalilnya QS. An Nisaa : 3, “maka nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Dan jika kamu tak dapat berlaku adil maka nikahilah satu saja atau budak-budak yang kamu miliki.”
Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan poligami adalah syariat dengan batasan 4 orang perempuan yang boleh diperistri. Namun jika takut tidak bisa adil, maka hendaknya monogami. Adil menjadi syarat mutlak poligami.
Yang dimaksud adil adalah soal hal material, yakni pembagian harta dan jatah nafkah batin, bukan soal perasaan. Karena perasaan sulit untuk berlaku adil. Syarat adil ini ditegaskan dalam QS. An Nisaa : 129.
Potongan ayat di atas cukup untuk menjadi landasan syariat poligami secara fikih. Karena memang definisi fikih adalah pengambilan hukum dari ayat yang terperinci. Namun penulis ingin mengajak untuk membaca rangkaian ayat secara utuh agar pembacaan kita menjadi lebih luas.
Hukum Poligami
Sebenarnya An Nisaa ayat 3 tidak bisa dipisahkan dengan ayat sebelumnya. Jika kita baca dari ayat 2, maka yang sedang dibahas adalah kewajiban menunaikan hak anak yatim. Jangan sekali-kali kita korupsi hak anak yatim. Barulah dalam ayat 3 Allah SWT mengingatkan bahwa jika kita tak mampu berlaku adil terhadap anak yatim yang kita nikahi, silahkan nikahi perempuan lain dua, tiga atau empat orang. Kalau masih khawatir juga maka seorang saja.
Jadi sebenarnya ayat poligami itu tema utamanya soal menunaikan hak anak yatim, namun terselip di dalam pembicaraan tersebut seputar poligami. Tentu jika ulama tafsir akan mengutip ayat secara keseluruhan, maka ulama fikihcukup mengutipnya dari fankihuu, sehingga banyak yg belum tahu tema besarnya.
Kembali ke soal fikih, lantas apakah hukum poligami? Ada yang mengatakan poligami itu sunnah, alasannya dipraktikan Nabi. Semua yang diucapkan, dipraktikan dan ditetapkan Nabi adalah sunnah menurut definisi ilmu hadits. Tapi definisi ini beda dengan sunnah dalam ilmu fikih. Dalam ilmu fikkih, sunnah (kadang disebut mandub atau mustahab) adalah sesuatu yang bila dikerjakan mendapat pahala bila ditinggalkan tidak berdosa.
Poligami sunnah dalam definisi ilmu hadits memang iya. Walaupun yang dipraktikan Nabi SAW adalah menikahi lebih dari 4 orang perempuan. Ini bagian dari keistimewaan Nabi yang tidak boleh diikuti umatnya. Namun apakah poligami itu sunnah menurut ilmu fikih?
Kata “Fankihuu” dalam ayat poligami adalah fiil amr (kata perintah). Dalam ilmu ushul fiqh ada kaidah “al ashlu fil amri lil wujub“. Asal dari fiil amr menunjukan hukum wajib. Namun ternyata tidak semua fiil amr menunjukan hukum wajib. Ada juga fiil amr yang menunjukan hukum mubah. Misalnya “wa kuluu wasyrabuu“, makan dan minumlah.
Fiil amr dalam kata “fankihuu” menunjukan hukum mubah. Jika kita terjemahkan silahkan nikahi dua, tiga atau empat. Jadi secara fikih, poligami itu mubah atau dibolehkan. Lantas apakah jika poligami itu mubah maka langsung bisa diterapkan?
Surga yang Tak Dirindukan
Dalam penerapannya yang mesti dipertimbangkan adalah maslahat dan mudharat. Pertimbangan maslahat dan mudharat dalam penerapan fiqh ini bisa membuat hukum poligami bergeser dari mubah ke sunnah, atau bergeser dari mubah ke makruh dan haram.
Jika ada seorang pria berpenghasilan pas-pasan, untuk menghidupi seorang istri saja masih kewalahan, maka jelas poligami melahirkan mudharat. Maka bagi orang ini poligami terlarang, bisa dosa jika dilakukan. Namun jika ada orang kelebihan uang, pengusaha besar, tujuh turunan hartanya tidak habis. Poligami dibolehkan bahkan mungkin disunnahkan bagi orang ini. Karena uang yang dia punya bisa membuat dia berlaku adil secara materi.
Selain variabel ekonomi, yang perlu juga diperhatikan adalah variabel emosional. Mungkin ada laki-laki yang sangat mapan, namun istrinya sangat cinta dengannya dan tak mau dimadu. Bagi penulis aspirasi sang istri ini mesti didengar, karena dia yang menemani suaminya sejak masih susah. Saat sudah mapan jika suaminya malah mencari bini muda yang lebih cantik, kasihan istri pertamanya.
Tentu beda kasus jika malah sang istri yang mencarikan madu untuk suaminya. Kalau kasusnya begini, maka persoalan emosional sepertinya tak akan jadi halangan.
Yang jelas, bagi Muhammadiyah tujuan utama berumah tangga adalah meraih sakinah. Hal tersebut lebih bisa diraih jika monogami. Tentu ini tak berarti menentang syariat, karena menurut hukum fikih poligami itu mubah. Poligami dibolehkan sebagai pintu darurat sosial. Bagaimana contoh poligami sebagai pintu darurat sosial? Silahkan tonton film Surga yang Tak Dirindukan.