Islam memberikan serangkaian makna kebebasan untuk umat dalam pengembangan diri. Ada sebuah dimensi-dimensi kebebasan dalam Islam. Zuhairi melaporkan bahwa ada sebuah dimensi dalam makna kebebasan dalam Islam. Antara lain, kebebasan dalam beragama, kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, kebebasan bekerja, kebebasan masyarakat sipil, dan kebebasan hidup (Misrawi, 2004, hal. 89).
Makna membawa sebuah rajutan untuk terus bisa ada dalam sebuah koridor Islam yang progresif. Terutama bawaannya Islam dalam arus politik memang ada sebuah konsensus dalam memberikan sejumlah kiprah yang arif dan berbudi.
Karena, membicarakan Islam bukan hanya sebuah wilayah fikih, akidah, atau tasawuf, akan tetapi ada sebuah jangkauan yang merupakan sebuah representasi dari makna ketiga konsepsi dalam Islam tersebut.
Ini menandakan bahwa sebuah perkembangbiakan dalam posisi Islamis-sosial maupun Islamis-humanis termanifestasikan.
Islam bukan hanya sekadar sistem teologis. Melainkan juga sebuah jalan hidup (way of life) yang memiliki standar etika dan moral serta prinsip-prinsip dan norma-norma dasar dalam kehidupan masyarakat maupun negara.
Ajaran Islam yang sebenarnya bukan hanya sebuah keilmuwan, tapi juga sebuah amalan. Rasulullah Saw mempraktikan ajaran Islam dalam keseharian, baik Islam dalam sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Ini yang kemudian menjadi sebuah bangunan besar dalam kubu umat Islam untuk bisa merepresentasikan ajaran Islam dalam keseharian. Terutama praktikum dalam politik, bahwa dalam Islam pun politik menjadi sebuah garapan yang bisa mengantarkan dalam kehidupan maslahat umat Islam. Dengan memberlakukan politik dengan benar dan bijak, salah satunya dalam partisipasi menjadi bagian dari pelaku politikus (Abdillah, 2011, hal. 101).
Kontribusi Islam pada Teori Poilitik
Islam pun dalam politik memberikan serangkaian teori dan pandangan beberapa intelektual Islam yang mempunyai latar belakang pemikiran Islam politik.
Hubungan keduanya sebenarnya ada sebuah ikat keterkaitan, antara politik dan Islam. Hubungan ini bukan kemudian menjadikan Islam sebagai kuda untuk berpolitik. Akan tetapi, dengan nilai dan ruh Islam sebagai pelaku politik, maka bingkailah transportasi politik dengan Islam.
Tujuan utama daripada memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaga terhadap kemajuan negara dan umat jangan kemudian menggunakan politik dan tanpa memperhatikan kemaslahatan umat. Sebagai arus utama, ciptakan sebuah iklim yang damai dengan seruan untuk membangkitkan proteksi diri agar tidak mudah untuk lupa dengan janji.
Pada dasarnya, Islam memberikan sebuah kebebasan dalam berpolitik. Yaitu sebagai salah satu jalan untuk menuju pemikiran yang bebas dan sebuah jalan membangun kemaslahatan umat dengan merepresentasikan nilai-nilai keislaman dalam praktikumnya di dalam kehidupan berpolitik.
Islam dan Politik Tak Bisa Dipisahkan
Ridwan melaporkan bahwa, politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan prilaku politik (politicial behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.
Islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri’ayah syu-un al-ummah). Zaki dalam Ridwan menegasikan bahwa Islam & politik tidak boleh dipisahkan. Karena, Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya kaum Muslimin yang tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syariat Islam.
Begitu pula politik tanpa Islam, akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan jabatan, bahan, dan duniawi saja. Kosong dari aspek moral dan spiritual.
Jadi, makna sebuah prinsip berpolitik dengan berlandasakan Islam akan melahirkan sebuah dampak pahala. Bukan hanya dirasakan sebagai tujuan yang merauk keuntungan sesaat, akan tetapi memanfaatkan politik sebagai jalan membangun kemaslahatan umat dan bangsa. Dengan catatan, makna takut kepada Tuhan harus di interpretasikan di dalam politik agar sebuah dana dan kegiatan dalam berpolitik menghasilkan pahala dunia dan pahala akhirat. Oleh karena itu, politik dalam Islam sangat penting untuk mengingatkan kemerdekaan dan kebebasan dalam melaksanakan syariat Islam boleh diwadahi oleh politik. (Ridwan, 2017, hal. 234).
Segregasi Politik dan Islam
Ketika dibawa ke Indonesia, bahwa nampak begitu ada sebuah nuansa bingkai yang membuat politik dan Islam ada sebuah segregasi. Dinamika perpolitikan negeri dengan rasa Islam sering diperdebatkan dengan dalil yang sama-sama tidak afdol.
Bahwasannya, Islam jangan ikut campur dalam dunia politik. Karena politik itu kotor. Makna yang salah harus kita semua luruskan senyampang prosesi pembenaran itu memberikan bukti bahwa politik menjadi salah satu jalan yang bisa memberikan keadilan dan jalan bersama membangun kemasalahatan umat.
Indonesia disuguhkan dengan elemen dan kelompok Islam yang juga mayoritas. Ini penandaan bahwa peradaban Islam di Indonesia sudah pada tahap yang lebih maju.
Terutama, ketika peran-peran bersama bisa berjalan bersama dalam membangun kedaulatan dan persatuan yang harmoni. Indonesia sudah tidak lagi harusnya dalam pengomporan untuk mendirikan negara Islam direspon dengan bijak, biarkan saja.
Sebenarnya, Indonesia sendiri sudah menjadi sebuah implementasi dan representasi makna sebagai negara Islam (Muslim) dengan haluan yang demokratik-humanis.
Qomaruddin Khan dalam Asghar melaporkan bahwa tujuan Al-Qur’an bukanlah menciptakan negara, melainkan sebuah masyarakat. Tidak ada bentuk negara yang baku dalam Islam membawa hikmah tersendiri. Karena itu, apapun bentuk serta wujud suatu negara, jika di dalamnya terbentuk masyarakat Qurani, maka itu pun sudah menjadi tanda-tanda negara Islam (Engineer, 2000, hal. 59).
***
Legalisir yang resmi bukan sistem politik bermain untuk menumpaskan hak dan kewajiban umat lain yang juga ada di negeri ini, bukan. Namun, sebuah politik yang membangun dan mengerti akan sebuah realitas dan mengejawantahkan bersama membangun prioritas maslahat untuk seluruh umat dan bangsa di negeri ini, termasuk Islam, harus bisa menjadi mengayom yang rindang dan sejuk.
Namun, ironisya bahwa dengan munculnya kelompok-kelompok Islam yang ada di Indonesia, mereka mempunyai sebuah tujuan yang berbeda dengan nawacita bersama bangsa ini.
Sehingga, sebuah gerakan yang ditunjukkan ialah gerakan yang radikalisasi dan bercirikan teroris. Bahkan, makna paksaan ialah masih saja membingkai dan membebek untuk bisa sama atau seragam. Terutama makna akidah atau sisi teologis di bumi Nusantara ini untuk sama seperti mereka.
Gerakan Islam mereka bertemakan Islam, tapi membawa sebuah makna politik yang terselubung dengan mencipta sebuah gebrakan yang modernitas, ternyata mereka ada maksud yang keras dan kaku dengan menghadapi realitas di bumi pertiwi ini.
Sumber Bacaan:
Abdillah, M. (2011). Islam dan Dinamika Sosial Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Engineer, A. A. (2000). Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Misrawi, Z. (2004). Doktrin Islam Progresif. Jakarta : LSIP.
Ridwan. (2017). Hubungan Islam & Politik di Indonesia Perspektif Pemikiran Hasan Al-Banna. Jurnal Hukum Samudra Keadilan.
Editor: Yahya FR