Kekhalifahan telah menjadi isu panas yang selalu dibahas oleh umat. Dalam Islam sendiri, kita mengetahui bahwa isu ini menjadi latar belakang perpecahan umat pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Sebut saja Syi’ah dan Khawarij. Pada awalnya keduanya merupakan gerakan politik meskipun pada akhirnya membawa doktrin-doktrin keagamaan.
Pada saat Negara Indonesia dijajah, baik oleh Belanda maupun Jepang, terjadi perpecahan bangsa. Peristiwa itu terjadi disebabkan oleh isu politik. Karena mereka memainkan politik adu domba dan politik etis. Pada zaman sekarang isu politik di Indonesia sendiri sudah menjadi rahasia umum bahwa isu ini sangat sensitif. Apalagi menyongsong pemilihan pemimpin seperti Presiden, Gubernur maupun Kepala Daerah.
Pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang pemilihan Kepala Daerah segera dilaksanakan. Bagaimana cara kita menyikapi peristiwa ini? Nah, disini Kiai Hasyim Asy’ari memberikan tips agar masyarakat mampu memilih pemimpin yang ideal untuk kelangsungan kehidupan bermasyarakat.
Mengenal Sosok Kiai Hasyim Asy’ari
Orang menyebutnya dengan Hadhrat al-Syaikh yang artinya guru terhormat. Beliau adalah seorang tokoh Ilmu Kalam Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang pada hari Selasa Kliwon, 14 Februari 1871. Beliau adalah anak ketiga dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Uniknya, Kiai Hasyim Asy’ari ini dikandung oleh ibunya selama 14 bulan. Bukan hanya itu, ibu Nyai Halimah sewaktu hamil juga bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh dari langit dan menimpa tepat diatas perutnya (Ahmad Khoirul Fatah, 2014: 321).
Pendidikan Kiai Hasyim Asy’ari banyak diperoleh dari lingkungan pesantren. Kehidupan di lingkungan pesantren memberikan kontribusi yang banyak dalam pembentukan karakter beliau. Setelah memperoleh bekal yang cukup, Kiai Hasyim Asy’ari berangkat ke kota suci Makkah untuk melakukan ibadah haji dan melanjutkan pendidikannya disana.
Setelah pulang dari kota Makkah beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dan mendirikan Nahdlatul Ulama yang saat ini menjadi salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Kiai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai ulama besar sehingga banyak karya-karya beliau yang terkenal. Salah satunya yaitu Al-Muqoddimah Al-Qanun Al Asasi Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (Muchammad Coirun Nizar: 71). Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 karena tekanan darah tinggi (Muhammad Rijal Fadli, 2020: 112-113).
Politik Pesantren
Menghabiskan semasa hidupnya di lingkungan pesantren membuat hati Kiai Hasyim Asy’ari terpaku akan kehidupan pesantren. Ia ingin membuat negara yang adil dan makmur dengan jalan kehidupan yang berlandaskan pesantren. Karena menurutnya pesantren itu memiliki tradisi yang baik. Karena tradisi yang ada di dalam pesantren di nilai mampu menghidupkan kecerdasan bangsa. Bukan hanya ilmu yang didapat di dalam pesantren tetapi juga akhlak yang mumpuni.
Dalam memilih seorang pemimpin, menurut Kiai Hasyim Asy’ari harus beragama Islam, yang mumpuni ilmu agamanya, juga memiliki jiwa-jiwa pesantren. Selain itu pemimpin juga harus memberi persamaan bagi setiap muslim, melayani kepentingan rakyat dan menjaga keadilan (Latiful Khuluk, 2000: 84).
Dengan berlandaskan politik pesantren, seorang pemimpin diharapkan dapat mengajak kepada kebaikan dan memerangi kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar). Karena dalam tubuh pesantren terdapat aura positif yang dapat membangkitkan pemikiran positif yang berujung dengan dampak positif pula yakni akhlak yang bermoral.
Pada umumnya, lingkungan di sekitar pesantren akan ikut menjadi lebih relijius seperti di dalam pesantren. Praktik ini dilakukan oleh mbah Hasyim Asy’ari saat mendirikan pondok pesantren di dekat pabrik gula. Pabrik gula ini dulunya dijadikan tempat sebagai praktik kemaksiatan dan budaya tidak bermoral. Hal ini dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari semata-mata untuk mengubah pola hidup masyarakat. Jika kemaksiatannya hilang maka kebaikan akan cepat mengalir di tubuh masyarakat.
Meskipun pada awalnya Nahdlatul Ulama’ didirikan untuk melanggengkan tradisi-tradisi ajaran Islam yang sesuai dengan kultur Indonesia, namun pada tahun 1955, Nahdlatul Ulama’ berhasil mendapatkan 45 kursi DPR. Keberhasilan ini dinilai karena kemampuan Nahdlatul Ulama’ mampu menyatukan solidaritas dukungan para santri.
Selanjutnya kita juga dapat mengambil bekal dari Kiai Hasyim Asy’ari melalui pemikiran teologi beliau yang termaktub dalam karyanya yang berjudul Al-Risalah Al-Tauhidiyyah dan Al-Qaid Fi Bayan ma Yajib min Al-Qaid bahwa ada tiga apresiasi manusia tentang Allah. Pertama, penilaian tentang keesaan Allah. Kedua, pengetahuan dan teori kepastian bersumber dari Allah. Ketiga, menggambarkan perasaan yang paling dalam akan keagungan Allah (Abdul Hadi, 2018: 27).
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari membekali kita agar memilih pemimpin yang beragama Islam, mempunyai ilmu agama yang mumpuni, sifat keberanian, melayani kepentingan rakyat, dan memerangi kejahatan.
Editor: Yusuf