Ibnu Rusyd dikenal sebagai orang yang ahli dalam filsafat Islam. Karena kepintarannya, dia mampu menemukan satu metode agar memahami beberapa ayat Al-Qur’an secara rasional tanpa menghilangkan hakikat makna dari ayat tersebut dengan sebutan metode Ta’wiliyah atau dengan kata lain upaya konkrit untuk mengharmonisasikan antara rasionalitas akal dan wahyu-wahyu dari ayat-ayat Al-Qur’an ataupun sunah.
Definisi Ta’wil dan Contohnya
Ta’wil dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw adalah hakikat perkataan kembali kepadanya. Seperti halnya maksud untuk Ta’wil berita adalah terwujudnya apa yang diberitakan. Kemudian lagi, Ta’wil perintah adalah pelaksanaan terhadap apa yang diperintahkan.
Sebagaimana dalam hadis dari Aisyah Ra berkata: Rasulullah Saw mengucapkan saat rukuk, ‘Subhanaka Allahumma Rabbana wa Bihamdika, Allahummaghfirli’.
Beliau menakwilkan Al-Qur’an. Allah berfirman, “Tidaklah mereka menunggu kecuali bukti kebenaran (Al-Qur’an) itu. Pada hari datangnya bukti kebenaran itu, orang-orang yang sebelum itu mengabaikannya berkata, ‘Sungguh, rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.” (Surah Al-A’raf: 53).
Adapun untuk sesuatu yang merupakan berita, seperti pemberitaan tentang Allah Jalla Jalaluh dan Hari Akhir, maka Ta’wil berupa hakikatnya mungkin tidak diketahui. Karena ia sebatas berita saja. Karena, pihak yang dikabari, belum membayangkan apa yang akan dikabarkan kepadanya atau tidak mengetahuinya sebelumnya.
Maka, dia tidak mengetahui hakikatnya yang merupakan ta’wilnya hanya dengan sekedar pemberitaan. Inilah takwil yang tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah.
Nash-nash yang ada dalam Al-Qur’an ada beragam yaitu ada ayat-ayat mutasyabihat dan ada ayat-ayat muhkamat. Adanya pembedaan ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat dimaksudkan Allah untuk “mengakomodasi” keanekaragaman kemampuan manusia dalam memahami Al-Qur’an dan menerima kebenaran.
Di antara pembaca Al-Qur’an tersebut ada yang memiliki kemampuan dan cara berpikir yang sederhana. Namun, ada pula yang mempunyai pemikiran kritis dan daya nalar yang tajam.
Orang awam yang kemampuannya kurang dan masih sederhana tidak perlu mendalami ayat-ayat mutasyabihat tersebut, karena mereka tidak memiliki alat untuk itu.
Sebaliknya, bagi orang yang memiliiki kemampuan untuk berpikir kontemplatif dan mendalam, melakukan Ta’wil dengan menggabungkan makna-makna tekstual yang kelihatan bertentangan adalah suatu keniscayaan (Iqbal, 2004, hal. 43).
Ta’wil Menurut Ibnu Rusyd
Menurut Ibnu Rusyd, Ta’wil adalah memalingkan makna suatu lafaz dari makna yang sebenarnya (haqiqi) ke makna metaforik (majazi), dengan tetap berpijak pada kebiasaan orang Arab dalam membuat metafor.
Misalnya, menyebut sesuatu dengan nama lain, baik karena adanya keserupaan, menjadi sebab atau akibat, sebagai bentuk perbandingan, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang sudah tercantum dalam pembahasan tentang pelbagai ungkapan yang bersifat metaforis (Rusyd, 2015, hal. 48).
Ibnu Rusyd membagi nash-nash syariat kepada tiga bagian, yaitu:
- Nash-nash syariat yang mengandung makna lahiriyah dan tidak boleh di-Ta’wil. Bila terhadap makna ini dilakukan Ta’wil, maka akan menimbulkan bid’ah atau kekafiran. Yang termasuk dalam hal ini adalah prinsip dasar keagamaan, seperti shalat dan puasa.
- Nash tersebut diartikan secara lahiriyah saja justru bisa menimbulkan kekafiran bagi mereka. Sebaliknya, orang-orang awam yang sederhana cara berpikirnya tidak perlu melakukan Ta’wil dan mengeluarkan dari makna lahirnya, karena hal ini dapat menimbulkan kekafiran atau bid’ah bagi mereka. Semisal ayat tentang Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan tangan Allah berada di atas tangan manusia.
- Makna ayat yang belum jelas antara bagian muhkamat atau mutasyabihat ini. Kelompok nash tersebut tergolong pelik dan menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagian mereka memandang nash tersebut termasuk ke dalam kategori muhkamat yang tidak boleh di-Ta’wil. Sedangkan sebagian yang lain memasukkannya ke dalam kategori nash mutasyabihat dan harus di-Ta’wil, semisal ayat tentang hari kiamat (Iqbal, 2004, hal. 44).
Ibnu Rusyd juga menegaskan dalam bukunya berjudul Fashl al-Maqal, dengan menyatakan bahwa berfilsafat tidak lain adalah mempelajari segala yang tampak. Dari sini diambil pelajaran, sehingga sampai kepada bukti keberadaan Tuhan sebagai pencipta.
Dengan demikian, kerja filsafat pada hakikatnya adalah mengenal Tuhan sebagai pencipta alam. Di sisi lain, syariat sendiri mendorong manuisia untuk mengadakan penalaran dan perenungan terhadap semua wujud ini (Iqbal, 2004, hal. 39).
Posisi Akal dan Wahyu dalam Ta’wil
Dari uraiannya tentang Ta’wil ini sangat jelas bahwa Ibnu Rusyd menempatkan akal pada posisi yang tinggi, namun tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
Kedua-duanya yakni akal dan wahyu memiliki persamaan untuk kebutuhan manusia agar memperoleh kebenaran. Dengan akal, kebenaran wahyu akan semakin diperkukuh. Sebaliknya dengan wahyu, akal tidak liar tanpa kendali.
Karena itu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa akal adalah bukan segala-galanya, karena ada beberapa hal di dunia ini yang tidak sanggup dipenuhi oleh akal manusia. Oleh karena itu, wahyu diperlukan sebagai penyempurna akal tersebut.
Semua yang tidak disanggupi oleh akal, maka Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wahyu-Nya. Di antaranya adalah soal-soal tentang mengenai Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat, mengetahui jalan untuk mencapai kebahagiaan, dan menjauhi kesengsaraan tersebut.
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa perhatian filsafat ditujukan untuk mengenal apa yang dibawa syariat. Kalau maksud ini dapat dicapai, maka filsafat harus mengakui kelemahan akal manusia terhadap hal-hal yang dibawa syariat.
Dengan demikian, Ibnu Rusyd telah berusaha melakukan harmonisasi antara akal dan wahyu dan menempatkan kedua-duanya pada posisinya masing-masing secara tepat (Iqbal, 2004, hal. 45).
Editor: Yahya FR