Teknologi informasi yang terus berkembang menjadi anugrah, namun kita harus selalu bertabayun dalam menerima setiap informasi yang kita peroleh. Mana kala informasi tersebut tidak benar sehingga menjadikan kita keliru memahami seuatu hingga akan berakibat fatal yang sangat merugikan.
Informasi yang begitu banyak memenuhi handphone kita mulai dari SMS, facebook, twitter, WhatsApps, line, intagram, marketplace, dan lain sebagainya. Informasi tersebut banjir memenuhi handphone kita, malah terkadang memori handphone samapai penuh karena informasi begitu cepat dan banyak masuk.
Menurut Syuhada (2018) menjelaskan bahwa kemajuan teknologi informasi yang begitu masif meluas ke semua bidang, juga memiliki efek negatif. Banjir informasi (information flood) di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial.
Selanjutnya, beliau menyatakan problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar. Kredibilitas media arus utama yang selalu digerogoti kepentingan elit dan pemilik. Memaksa masyarakat mencari informasi alternative.
Istilah post-truth jika dicermati dari sisi etimologi, berasal dari kosakata Bahasa Inggris. Dalam Oxford Dictionary, disebutkan post artinya after (setelah) dan truth artinya quality or state of being true (kualitas atau dalam keadaan benar atau kebenaran) (Manser, 1996).
Seiring berkembangnya teknologi informasi yang semakin canggih munculnya narasi yang menyatakan atas dasar prinsip subjektif alias lari dari objektifitas. Terkaburnya informasi fakta menjadi sesuatu yang abu-abu sehingga ternarasikan salah sedangkan subjektif menjadi benar, inilah yang disebut post-truth.
Mengenai potensi ancaman post-truth menurut Suharyanto (2019) menjelaskan bahwa Negara yang maju seperti Amerika dan Inggis bisa porak poranda oleh badai post-truth, hal ini menjadi “alarm” bagi Bangsa Indonesia.
Selanjutnya beliau menambahkan, terkait potensi ancaman tentu saja berbeda dan justru dilihat dari situasi sosial masyarakat Indonesia yang amat beragam (suku, agama, kebudayaan, bahasa, dll) potensi ancaman akan lebih berbahaya jika tidak ada mitigasi yang baik.
Hubungan Post-truth dengan Hoax
Banyak yang menyebutkan bahwa hoax adalah anak kandung dari post-truth. Post-truth dianggap sebagai kisaran waktu yang lebih mengarah pada pengabaian fakta dan kebenaran. Sedangkan, hoax cenderung diartikan dengan informasi yang tidak benar atau keliru maupun bohong alias menyesatkan.
Munculnya istilah post-truth oleh penulis Steve yang pertama kali muncul dari tulisan artikel Tesich yang berjudul “The Gorvernment of Lies” di majalah The Nation yang terbit pada tanggal 6 Januari 1992. Stave terispirasi dari fenomena yang terjadi pada Perang Teluk Persia untuk menunjukkan situasi masyarakat yang lebih nyaman hidup dalam dunia yang penuh kebohongan.
Munculnya hoax yang menghebohkan dunia muncul pada momen penting tahun 2016 yakni, riuhnya pilpres di Amerika melalui kemenangan Donald Trump, dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit). Pada kedua momen tersebut, hoax sangat mudah disebarkan kepada masyarakat luas yang sangat mempengaruhi opini publik.
Hubungan Post-truth dengan Pesta Demokrasi
Bayak media memberitakan pada tahun 2016 lalu post-truth sebagai “Word of the Year” karena kedepannya diprediksikan menjadi iklim pasca kebenaran pada politik dan sosial yang cenderung mengucilkan objektivitas dan rasionalitas menjadi terrperangkap pada situasi yang berlainan pada fakta sebenarnya.
Menurut Suharyanto (2019) menjelaskan bahwa post-truth tumbuh subur di lingkungan yang sangat terpolarisasi atau partisan, di mana gagasan kebenaran sudah dibagi menjadi gagasan “kebenaran saya vs kebenaran Anda”. Berita hoaks kemudian memperkuat polarisasi politik dan sosial yang ada, yang mengarah lebih banyak perpecahan dan ketidakpastian.
Tidak bisa dipungkiri gejolak politik membawa media sebagai alat yang ampuh dalam mendulang elektabilitas. Para kontestan politik biasanya membonceng media ternama dalam menaikan pamor maupun kampaye pencitraan demi mendapatkan kursi jabatan politik.
Sudah menjadi rahasia umum apabila calon tertentu mengkapitalisasi media tertentu dalam membuat citra dengan membangun opini publik sehingga narasi yang digaungkan terencana, terarah, tepat sasaran sesuai dengan kehendak pemilik modal atau borjuis. Kita bisa melihat secara skeptis maupun secara gamblang.
Melaui penelusuran media-media melaui kontennya kita dapat melihat secara gamblang apakah mengarah secara mencolok subjektif atau secara objektif konten yang dipaparkan. Apabila mencolok subjektif maka, bisa kemungkinan media tersebut sudah di booking, begitu sebaliknya untuk menentukan mendia tersebut ter-kapitalisasi atau tidak.
Jikalau anda menonton film yang dirilis pada 16 Februari 2012 lalu yang disutradarai oleh Kuntz Agus. Film tersebut berjudul “Republik Twitter” tentu anda dapat melihat tayangan yang menyuguhkan gambaran agen yang menyediakan jasa pencitraan politik dengan segala alur ceritanya.
Meski itu hanya sebuah film yang anggapan orang hanya khayalan tetapi penulis yakin itu ada dalam realitas kehidupan, dan kita bisa membuktikan secara seksama fakta tersebut. Politik pencitraan sebagai upaya penggiringan opini, dengan menjatuhkan nama orang lain dengan pemelintiran informasi menjadi rekaan menjadi seolah-olah fakta.
Upaya Antisipasi Hoax hingga Post-truth
Upaya pemerintah dalam menanggulangi penyebaran hoax maupun post-truth sebagai wujud antisipasi situasi yang dapat mengacam keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah merilis UU ITE dalam menyikapi hoax maupun post-truth secara serius.
Undang-undang ITE Pasal 40 ayat 2a revisi Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang ITE dikatakan, “Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai ketentuan Peraturan perundang-undangan”.
Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2a, yakni: “Pemerintah Berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”.
Upaya pemerintah tersebut harus di sokong oleh masyarakat agar hoax maupun post-truth bisa ditangkal sehingga tidak merugikan. Tips ampuh menangkal hoax secara sederhana dengan menerapkan C S2 yaitu cek, saring, dan share sehingga terhidar dari informasi yang menyesatkan.
Misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya. Wujud hati-hati sangat dibutuhkan sebelum kita menjadi korban hoax maupun post-truth.
Apabila kita menggunakan media sosial kita harus paham dan patuh terkait keentuan akun sosial media. Menurur Suharyanto (2019) menjelaskan bila kita cermati ketika kita membuat akun media sosial (facebook, instagram, whatsapp, dll) selalu ada “kebijakan” atau policy yang harus kita pahami. Umumnya kebijakan penyedia layanan terkait umur, konten, identitas, dan kebijakan pelanggaran.
Hal tersebut, untuk mencegah informasi yang unfaedah, tidak bermanfaat ataupun menyesatkan. Biasanya akun sosial media menyediakan filter terhadap informasi yang sudah terdeteksi menyesatkan sehingga secara tidak langsung kita dapat terhindar dari informasi yang unfaedah.
Selain itu, gerakan literasi perlu juga dihelatkan karena demi mencegah pembodohan-pembodohan pada jejaring sosial yang meresahkan sehingga dengan adanya literasi-literasi diharapkan dapat menepis informasi hoax maupun post-truth.
Dengan adanya gerakan literasi memungkinkan terbangunya paradigma intelektual sehingga kita dapat menghadapi fenomena hoax maupun post-truth. Minimnya literasi harus diminimalisir jangan sampai matinya kepakaran hingga dangkalnya ilmu pengetahuan sehingga mudah dalam terjebak kubangan post-truth yang menyesatkan.
Penulis: Preli Yulianto (Aktivis Universitas Muhammadiyah Palembang)
Editor: Wulan