Falsafah

Postmodernisme dan Kehidupan Masa Sekarang

5 Mins read

Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu pihak istilah ini kerap digunakan denga cara sinis dan penuh olok-olok. Baik di bidang seni maupun filsafat, postmodernisme dianggap sebagai sekadar metode intelektual yang dangkal dan kosong–sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung.

Di pihak lain, kenyataan bahwa istilah itu telah memikat minat masyarakat luas bahkan hingga ke luar dunia. Meskipun demikian, satu hal kiranya jelas, yaitu menganggap postmodernisme sekadar sebagai mode intelektual yang kosong dan reaksioner dengan buru-buru dan sembrono sebetulnya, adalah kenaifan dan kedangkalan tersendiri.

Postmodernisme dan Modernisme

Hakikatnya, munculnya postmodernisme tidak dapat lepas dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan dimana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi.

Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini. Meski demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan orientasi. Apa yang dikatakan Max Horkheimer, Adorno, dan Herbet Marcuse bahwa pencerahan akan melahirkan sebuah penindasan dan dominasi di samping juga melahirkan kemajuan.

Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme dapat kita ketahui dari pemikiran filsafat Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekontruksi-rekontruksi rasional dan masuk akal dan menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di dunia modern, yaitu rasional dan objektif. Namun, tidak dengan Kierkegaard, dia berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektif. Artinya, bahwa kebenaran  bersifat subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya relatif.

Postmodernisme ditandai dengan lahirnya beragam realitas baru, seni dan sastra marjinal, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietszche, Husserl, Heiddeger, hingga Mazhab Frankfrut. Postmodernisme membuka pintu keberagaman realitas, unsur permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai. Lebih dari itu, postmodernisme dikenal dengan sebagai antitesis dari modernisme.

Tak hanya itu, gejala postmodernisme merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan yang merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilai mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia.

Baca Juga  Apa itu Iman?

Syahdan, akhirnya para tokoh dan pemikir postmodernisme menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan “postmodernisme” dalam rangka melakukan “dekontruksi paradigma” terhadap berbagai bidang keilmuan. Hal ini menjadi sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan menemukan paradigma yang baru. Postmodernisme yang dikatakan oleh Derrida dan Lyotard, merupakan anti tesis dari modernisme. Hampir semua istilah yang diajukan postmodernisme adalah antonimasi  modernisme. Kelahiran postmodernisme membuat istilah baru dan mengakibatkan perbedaan dengan paham modernisme.

Postmodernisme dan Kehidupan Masa Sekarang

Jika diamati dengan seksama, banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh pasca-modernisme. Kenyataanya dia ada dan keberadaannya harus diakui. Soal membawa manfaat atau tidaknya, kita tak bisa menilai  dari satu sisi saja secara langsung, karena selalu ada dua sisi, yaitu apakah baik atau buruk. Kita bisa memeriksa dan mejelaskan apa yang telah diterangkan diatas. Tentunya, postmodernisme telah menambah perbendaharaan kita mengenai ilmu pengetahuan.

Pandangan postmodernisme yang kelanjutan dari modernisme muncul karena menentang pendapat dari modernisme yang mereka anggap memiliki kelemahan. Bukan berarti bahwa postmodernisme terlepas dari adanya kelemahan. Tampaknya aliran postmodernisme ini muak dan lelah akan metanarasi dari era modern.

Mereka beralasan bahwa, metanarasi itu bisa mengarahkan kita pada marginalisasi cerita kecil. Baik dari kehidupan kita yang nyata sehari-hari maupun secara tradisi (kepercayaan masyarakat akan komunitas setempat).

Cerita Kecil

Sebenarnya, paham postmodernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan ingin melihat cerita-cerita yang kecil. Cerita-cerita kecil seperti destralisasi, pertarungan etnis, dekonstruksi, sub-kultur, nihilisme, budaya rendah, anarki, pasca-industri, paradigma, kekuatan bersama, sekte-sekte, delegitimasi, dekonsensus, liberalisme, dan diskontinuitas yang merupakan kebalikan atau antitesis dari paham modernisme.

Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan karena kurang masuk akal. Sebab, untuk menilai atau menangkap suatu cerita dasar diperlukan suatu dasar pijakan. Karena itu, tanpa adanya kerangka atau dasar pijakan tersebut kita tak bisa bicara apa-apa. Kita juga tidak hanya berpegang pada cerita-cerita lokal atau keyakinan setempat. Sangat sulit tentunya untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat itulah yang akan menjadi pemenang.

Baca Juga  Hanya Allah yang Memiliki Kedaulatan

Dengan kata lain, hal itu sudah terbukti bahwa jika kita menengok proses peradilan hukum di Indonesia sering kali orang kecil menjadi korban karena hanya buta hukum. Ironisnya, hukum ditafsirkan sesuai dengan keinginan pihak tertentu yang mempunyai suatu kekuatan.

Pada titik ini juga dihawatirkanakan terjadi kontradiksi. Manusia yang tidak memiliki kekutan apapun atau istilah kata sebagai “rakyat jelata” dihadapan hukum akan mengalami kekalahan, dibandingkan dengan seseorang yang paham hukum dan memiliki kekuatan hukum.

Karena apabila pasca-modern menyangkal prinsip-prinsip (metanarasi), maka dengan sendirinya akan muncul prisip-prinsip baru (narasi-narasi kecil). Karena menyangkal prinsip berarti juga berprinsip dan itulah kontardiksinya. Jika hal ini terjadi mengenai tidak menyakini suatu pernyataan, maka kembali kepada kaum skeptif yang setiap pernyataannya tidak harus ditanggapi dengan benar.

Perkataan kaum skeptif bisa dibantahkan, bahkan mereka setiap pendapatnya tidak dipercaya. Lalu apa yang harus dilakukan? Maka yang dilakukan perlu adanya dekontruksi mengenai kebenaran. Tapi tidak semua dihilangkan bahkan dihapuskan. Tapi jika tidak ada kesalahan dan kurang tepat maka bisa diperbaiki.

Cerita Besar

Cerita-cerita besar itu sangat diperlukan. Cerita besar itu cenderung menjadi sebuah ideologi. Itulah sebenarnya yang harus diwaspadai. Karna banyak cerita besar atau paham-paham besar yang membawa penderitaan bagi umat manusia, misalnya paham komunisme.

Paham komunisme bisa membawa penderitaan kepada umat manusia yang mengikuti ketentuannya. Walaupin tujuannya segala sesuatu milik bersama, tidak memiliki secara individu. Tapi paham ini  dalam penerapannya menggunakan pemaksaan dan kekerasan kepada para pengikutnya agar para pengikutnya mengikuti dan mentaati paham ini.

 Tidak jarang ideologi-ideologi religius justru membawa kesengsaraan dan membelenggu umat manusia. Maka, di sinilah perlu adanya dekontruksi cerita besar sehingga diharapakan tidak menyeleweng dari misinya yang sejak lama dibawanya.

Pertanyaannya mengapa ideologi perlu didekonstruksi? Sebab ia menyangkal hal cerita kecil. Sementara ideologi itu bersifat mutlak. Benar berarti sesuai dengan ideologi. Yang sesuai disikat habis. Dengan kebenaran ideologi, seseorang tidak akan memusnahkannya. Padahal, sesuatu hal bagi postmodernisme tidak mutlak, mereka percaya bahwa kebenaran bersifat relatif. Artinya, harus disesuaikan dengan segala aspek pengliatan, bukan hanya terfokus pada sisi tertentu saja.

Karena itu, menurut penulis, dekonstruksi sangat dibutuhkan dan bahkan perlu, tetapi haruslah jeli dan butuh pemikiran  yang cerdas untuk mengawasi dan mengkritisi cerita narasi yang perlu didekonstruksi. Pasca-modernisme, kita akan menjadi kurang cerdas jika menganggap semua cerita besar itu perlu didekonstruksi.

Baca Juga  Memaknai Krisis Spiritual Manusia Modern

Sayang, pasca-modernisme tidak mampu melakukan hal seperti itu. Dekontruksi yang sebenarnya, kata Franz Magniz Suseno, adalah meganalisis dengan teliti. Di sini cerita atau narasi yang besar itu benar. Cerita tentang harkat martabat kemanusiaan. Cerita bahwa situasi apapun tak pernah boleh untuk di pakai semata-mata sebagai sebuah sarana. Cerita ini hak-hak asasi manusia.

Apakah Postmodernisme Harus Dibuang?

Dengan melihat sisi negatif dari paham postmodernisme itu, apakah postmodernisme harus dihapus atau dibuang? Tentunya yang jelas sisi positifnya tetap ada. Ia telah mengingatkan kepada kita  bahwasanya dalam diri kita harus waspada terhadap teori atau cerita atau narasi besar.

Jangan sampai mereka berkembang menjadi sebuah ideologi. Jangan sampai ideologi tersebut berlindung dibalik teori besar tersebut. Tapi kenyataannya, di balik itu semua ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan pribadi. Paham postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dapat dipercayai, asal ia tidak memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip orang lain. Karena segala sesuatu itu perlu diteliti atau bahkan koreksi dan dipertanyakan apakah ia benar berjuang demi menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar.

Tak hanya itu, yang perlu kita kembangkan dan kita tegakkan dari paham postmodernisme, adalah sikap kita yang saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala keunikan dan keberagamannya yang meliputi kelemahan dan kelebihan. Bukan mempermasalahkan keberagaman. Tetapi, bagaimana hal itu menjadi suatu kegembiraan dan ciri khas terhadap apa yang dimiliki.

Dengan menyadari hal tersebut, postmodernisme memberikan suatu hak untuk menyuarakan pendapatnya dan ia terus menjalankan sifat emansipatorisnya. Dengan demikan, kita harus memegang keduanya, biak yang universal dan yang lokal.

Tentu yang tak kalah penting adalah sikap menghargai cerita atau teori dan narasi besar yang memang memperjuangkan martabat manusia tak terkecuali juga menghargai cerita-cerita kecil, seperti pluralisme dalam keanekaragaman itu sebagai tanda penghargaan manusia-manusia individu tersebut. Maka dengan demikian kehidupan kita akan lebih menjadi tercerahkan dan damai.

Editor: Nabhan

Salman Akif Faylasuf
51 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *