Moderasi

Moderasi Beragama Seharusnya Dinamis, Bukan Statis!

3 Mins read

Moderasi beragama, istilah itu selalu bergema di setiap lapisan masyarakat Indonesia yang multi-agama. Mereka membicarakan agar bagaimana umat antar-agama bisa bersama meskipun majemuk. Lebih-lebih, membicarakan moderasi malahan di ruang tertutup tanpa membuka kesempatan bagi masyarakat awam.

Di mana, yang hadir disitu adalah kaum-kaum terpelajar, intelektual, dan orang-orang yang banyak teori. Saya ingat, waktu menghadiri “Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif”. Acara yang merupakan rangkaian dari Muktamar Muhammadiyah dan Aisiyah ke-48 itu, dihelat di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ada pernyataan menarik di sesi terakhir acara tersebut. Yakni, seorang peserta yang berasal dari Ende, Nusa Tenggara Timur. Ia mengungkap kebingungannya, bahwa ia mengalami goncangan kebudayaan manakala sampai di Jawa, tepatnya Yogyakarta tempatnya kuliah.

Saat ingin menyewa kos, ia ditanya agamanya apa? Terlebih lagi menurutnya, baru di Jawa ini berbicara soal moderasi dan toleransi dijelaskan memakai teori yang itu. Sangat bertolak-belakang dengan apa yang terjadi kampung halamannya. “Di Ende, kita hampir setiap hari mempraktikkan moderasi dan toleransi secara langeng. Seperti saling memberi berkat atau bingkisan antar umat beragama (Islam dan Kristen)” ungkapnya.

Dari perbincangan itu, kita bisa membayangkan bagaimana orang-orang yang membicarakan moderasi beragama di hotel-hotel berbintang, yang dihadiri oleh para elit negara. Namun ironinya, tidak menghadirkan masyarakat yang berada di taraf akar rumput. Padahal, merekalah yang mengalami benturan antar-elemen sehingga kerukunan dan keharmonisan di masyarakat terpecah-belah.

Moderasi Beragama yang Statis

Kita selalu gembar-gembor untuk menyuarakan moderasi beragama. Namun, ibarat kita berenang tapi tidak basah kuyup. Artinya, kita sering membicarakan moderasi beragama hanya pada tataran teori yang miskin akan pengalaman dalam menjalankan moderisasi beragama tersebut.

Baca Juga  INFID: Mayoritas Anak Toleran, tapi Tolak Presiden dari Agama Minoritas

Misalnya, ada esai yang digubah oleh Ahmad Zuhdy Al khariri. Esai berjudul Mengapa Moderasi Penting untuk Umat Islam (Sejuk.ID, 6/21/2022) itu, beliau mengungkap bagaimana urgensi moderasi di dalam tubuh umat Islam Indonesia yang beraneka-warna.

Di tulisan itu, ia mengajak kita untuk menengok permasalahan usang umat Islam. Salah satunya adalah perkara lantunan shalawat sebelum menunaikan shalat berjamaah di masjid. Umat muslim dan muslimah di Indonesia terpecah menjadi beberapa kelompok atau jamaah sendiri. Juga, penulis masih menuliskan pemahaman umum tentang moderasi beragama, yaitu tidak ekstrim kiri, dan tidak pula ekstrim kanan.

Namun, Khariri tidak memberikan warna baru soal moderasi beragama atau moderasi dalam ber-Islam. Memang, ia mengutip argumen dari Prof. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa Islam itu adalah moderat dan kalua tidak moderat, maka bukan Islam. Tetapi ia tidak mengangkat aspek visioner dari moderasi dalam ber-Islam. Sebut saja, bagaimana moderasi Islam ini menuju agenda modernisasi umat Islam.

Moderasi Menuju Modernisasi

Agenda modernisasi umat Islam secara secara konvensional ditandai dengan gagasan Muhammad Abduh, seorang intelektual Islam kontemporer asal Mesir.

Menurut Abduh, bahwa salah satu alasan mengapa umat Islam mengalami kemandekan pemikiran visioner adalah keengganan membuka pintu ijtihad. Oleh karena itu, umat Islam harus menekankan pentingnya melakukan pendekatan rasionalitas terhadap penerapan ide-ide dan ajaran Islam ke dalam kehidupan modern.

Wacana Abduh ini, merujuk kepada teologi (kalam) dan yurisprudensi Islam (fikih) yang secara naluriah, mempengaruhi setiap cabang pencarian intelektual.

Abduh berargumentasi, bahwasannya, jika umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan Barat berserta pemikiran-pemikirannya sebagai suatu kesatuan dan memusatkan perhatian khusus kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan kedokteran, maka masyarakat akan mendapat kemajuan dengan cepat. (Greg Barton: 70, 2020)

Baca Juga  Hamka & Bung Karno: Potret Persahabatan Ulama dan Negarawan

Dari agenda Abduh yang lahir sejak abad ke-20 di Mesir itu, kita dapat mengejewantahkan bahwa watak moderasi tidak hanya konvensional pada umumnya, namun lebih dari itu, yaitu tentang keterbukaan pemikiran kita akan kebenaran-kebenaran yang datang dari luar umat Islam segenap ajaran-ajarannya yang bermata air dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Sebagai episentrum ajaran Islam, Al-Quran dan As-Sunnah sangatlah luas pemaknaannya dalam rangka membentangkan layar kehidupan sebagai umat Islam. Kita bisa membantah, untuk memahami kedua teks suci itu, harus adanya pemaknaan dan penafsiran secara menyeluruh dan secara radikal (radix). Sebab, kalau tidak demikian, agenda moderasi menuju modernisasi ini hanya sebatas angin lalu yang hampa.

Salah Kaprah Tentang Universalisme Islam

Mengingat bahwa pemahaman teks suci dengan asal-asalan dan hanya membaca artinya saja, akan berbuntut kepada pengamalan ayat-ayat yang ada di Al-Quran dan As-Sunnah yang salah kaprah dan cenderung merugikan orang banyak.

Sebut saja tragedi bom bunuh diri beberapa waktu lalu, bukankah itu salah satu akibat dari pemahaman teks suci yang salah bukan? Padahal untuk memahami pelbagai ayat-ayat suci, perlunya sebuah metodologi yang lumayan ketat dan penuh prasyarat.

Nah, umat Islam yang mempunyai pemahaman kacau akan nilai universalisme Islam. Inilah yang akan menghambat terjadinya modernisasi umat Islam. Disebabkan karena pemahamannya tidak moderat, yakni, tidak mau merujuk kebenaran selain dari ajaran dan kelompoknya. Dalam kata Abduh “tidak mau berijtihad” dengan pemikiran Barat yang berwatak rasionalistik dan dominan mengoptimalkan akal-budi.

Jadi, moderasi ber-Islam di Indonesia penting tidak penting, haruslah dipelajari. Terlebih, kita akan memasuki Hari Natal yang darinya muncul perdebatan usang dan purba: apakah umat Islam yang mengucapkan “selamat hari natal” kepada umat Kristiani itu kafir dan masuk neraka? Kita jenuh akan soal itu.

Baca Juga  Survei SETARA dan INFID: Gen Z Bersikap Positif Terhadap Toleransi Beragama

Makanya, perlu suatau upgrading tentang moderasi secara umum. Sehingga pemahaman kita soal moderasi tidak itu-itu saja dan konvensional.

Editor: Marjuki Al Mujakir

Fahrul Anam
6 posts

About author
Mahasiswa Manajemen Zakat Wakaf, Fakultas Syariah IAIN Surakarta
Articles
Related posts
Moderasi

Pengaruh Positif Dakwah Habib Husein

4 Mins read
Beragamnya suku, bahasa, kebudayaan, dan agama, menjadikan negara Indonesia patut dijuluki negara yang plural dan multikultural. Terlebih, dari banyaknya kepercayaan (agama) di…
Moderasi

Dari Muamar hingga Mukhlas: Seribu Wajah Muhammadiyah

5 Mins read
Muhammadiyah adalah sebuah teks hidup yg dinamis karena hidup di tengah realitas kehidupan masyarakat. Sehingga bebas dibaca (ditafsir) oleh siapa saja (si…
Moderasi

Hamka & Bung Karno: Potret Persahabatan Ulama dan Negarawan

3 Mins read
Hamka Bung Karno – Suatu sore, bulan Juni 1970. Ketika itu, ulama Muhammadiyah penulis Tafsir Al-Azhar tengah bercengkerama bersama keluarga di rumahnya,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *