IBTimes.ID — Media sosial saat ini telah berkembang begitu besar. Perkembangan media baru dalam revolusi digital ini pun berdampak kepada banyak bidang. Termasuk memicu lahirnya otoritas keagamaan baru, serta merubah proses produksi dan konsumsi informasi agama. Media sosial juga berperan dalam perubahan pola persebaran paham keagamaan, yang mengakibatkan perubahan otoritas paham keagamaan.
Hal inilah yang mendorong PPIM UIN Jakarta untuk melangsungkan suatu penelitian yang meriset perubahan paham keagamaan yang berkembang di media sosial. Hasil penelitian ini disampaikan dalam peresmian yang dilaksanakan oleh PPIM UIN Jakarta, bertajuk “Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia”, melalui program Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT) pada hari Senin secara daring (16/11).
Penelitian ini menghadirkan Iim Halimatusa’diyah, Ph.D. sebagai koordinator riset, dan Taufik Edy Sutanto, M.Sc.Tech.,Ph.D. yang berperan sebagai data scientist dalam penelitian. Acara peresmian ini menghadirkan pula nama-nama seperti Prof. M. Adlin Sila (Kepala Pusat Litban Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan – Kementerian Agama RI), Dr. Pribadi Sutiono, S.S., M.A (Ass. Dep. Koordinasi Kerjasama Asia, Pasifik, dan Afrika – Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI), Prof. Merlyna Lim (Canada Research Chair), dan Aila Pramiyanti, Ph.D (Dosen Fakultas Telekomunikasi dan Bisnis Telkom University, Bandung), untuk turut hadir membahas penelitian ini.
4 Penemuan Utama Hasil Penelitian Launching PPIM UIN Jakarta
Hasil penelitian ini menunjukkan setidaknya terdapat 4 hal penemuan utama yang ditemukan. Yakni dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial, politisasi narasi keagamaan, arena kontestasi paham keagamaan yang terjadi di Pulau Jawa, dan kenyataan bahwasanya kelompok paham konservatif dan Islamis lebih mendominasi konstruksi narasi keagamaan di jagat maya, kendatipun kelompok paham moderat lebih banyak jumlahnya.
Paham keagamaan yang dikaji dalam penelitian ini sendiri meliputi paham liberal, moderat, konservatif, islamis, dan radikal (ekstremis). Dalam analisis ensemble (machine learning) paham keagamaan di platform twitter yang dilakukan oleh tim riset, ditemukan bahwa paham konservatisme lebih banyak memimpin perbincangan di media sosial dengan persentase (67.2%), disusul dengan moderat (22.2%), liberal (6.1%), dan Islamis (4.5%).
Politisasi narasi keagamaan juga menjadi suatu topik yang menonjol dalam penelitian ini. Karena paham konservatisme yang semakin merebak di media sosial, ia menjadikan kemungkinan intoleransi meningkat di Indonesia semakin besar.
Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh manipulasi isu agama dan identitas keagamaan untuk kepentingan politik praktis, yang mana dapat berpotensi merusak tatanan sosial di negara berpenduduk mayoritas Muslim ini apabila tidak segera diseimbangkan oleh paham moderat.
Biasanya, terdapat anggapan bahwa agamalah yang memengaruhi politik. Namun dari penemuan ini, ternyata anggapan tersebut tidak selalu benar. Di media sosial, faktor politik dan sosial juga bisa memengaruhi pergerakan paham keagamaan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan otoritas keagamaan di Indonesia menjadi suatu entitas yang lebih cair di media sosial.
Dengan adanya media sosial, pemegang otoritas keagamaan tidak lagi hanya kiai, ustaz, maupun tokoh agama pada umumnya yang biasa ditemui dalam institusi-institusi tradisional. Di pulau Jawa sendiri, kontestasi sengit narasi keagamaan antar paham yang berbeda terkonsentrasi di wilayah Jakarta. Sedangkan, di Jawa Timur, paham liberal cenderung mendominasi.
Silent Majority vs Noisy Minority di Dunia Maya
Di dunia maya, kelompok moderat cenderung bersikap sebagai silent majority dan presensinya tidak semenonjol narasi keagamaan yang diungkapkan oleh kelompok konservatif dan Islamis.
Oleh karena itu, kelompok Islamis sendiri disebut sebagai noisy minority, kelompok dengan jumlah yang lebih sedikit namun gaungnya lebih besar di media sosial. Meskipun sebenarnya, jumlah kelompok berpemahaman moderat di jagat maya tergolong lebih besar.
“Meskipun paham moderat memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan Islamis, namun sifat partisipasinya yang cenderung diam jauh terkalahkan oleh gerakan Islamis yang lebih aktif bersuara,” ungkap Iim.
Narasi lingkungan dan gender dalam kerangka narasi keagamaan pun masih didominasi oleh narasi paham konservatif. Pembahasan tematik di media sosial, menurut Iim, juga didominasi oleh narasi konservatif. Terkait perempuan, narasi yang ada cenderung masih menolak ide kesetaraan gender. Bahasan mengenainya hanya terbatas pada peran perempuan sebagai anak, ibu, dan istri.
“Narasi konservatif yang banyak muncul di media sosial umumnya terkait isu perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, serta terkait amalan-amalan baik dan buruk,” jelas Iim.
Sementara terkait lingkungan, narasi yang ada lebih banyak memberikan justifikasi bahwa bencana alam adalah bagian dari azab dan ujian Allah sebagai akibat perbuatan dosa yang manusia lakukan di dunia, dan tidak membahas pokok masalah lingkungan tersebut.
Dosen FISIP UIN Jakarta ini menyimpulkan, penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih rentan terhadap paparan fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki.
Maka dari itu, lanjutnya, narasi konservatif di isu gender yang dominan dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan, bisa melahirkan transmisi paham konservatisme antar generasi. []
Penulis: Zahra