Perspektif

Prediksi Kuntowijoyo: Muhammadiyah 2020-2025 dan Teologi Kesejahteraan

3 Mins read

Nama Kuntowijoyo (selanjutnya ditulis Kunto) tidak asing di telinga kita. Dunia sejarah merupakan minatnya sejak kecil hingga ia menjadi guru besar di UGM. Teori fase kesadaran umat Islam Indonesia merupakan salah satu gagasan cemerlang yang sampai saat ini belum tergantikan. Umat Islam Indonesia menjadikan teori tersebut sebagai dasar pijakan dalam membangun gerakan.

Disadari atau tidak, fase kesadaran umat Islam Indonesia, mulai dari fase mitos, ideologi hingga fase ilmu, tampak nyata dan berjalan hingga saat ini. Ketepatan dan akurasi prediksi itulah yang sebenarnya mengukuhkan Kunto sebagai futurolog, yakni sosok intelektual yang dapat memprediksikan kejadian atau peristiwa di masa yang akan datang. Namun, sebagian besar orang tidak menyadari itu.

Prediksi Kuntowijoyo di Tahun 2020

Bagaimanakah prediksi Kuntowijoyo terhadap tahun 2020? Untuk mengetahui prediksi tersebut kita dapat menemukannya dalam artikel yang berjudul “Objektivikasi” yang ditulisnya tahun 1997. Artinya, prediksi terhadap tahun 2020 sudah ia pikirkan selama 23 tahun.

Dalam tulisan tersebut, Kunto memulai dengan melakukan kritik terhadap generasi muda, yang malas membaca sejarah umat Islam. Sehingga setiap terjadi regenerasi kepemimpinan, mereka selalu mengulanginya dari awal. Padahal transformasi umat Islam terus berjalan.

Kunto mengharapkan generasi Islam menyadari proses transformasi tersebut. Sehingga lebih siap menghadapi percaturan politik, ekonomi, dan budaya dengan kacamata yang uptodate.

Kuntowijoyo dalam artikelnya tersebut mendeskripsikan fase politik di Indonesia secara dialektis, seperti konsep Hegel terhadap transformasi sejarah, mulai dari tesis-anti tesis-sistesis. Fase politik kebangsaan umat Islam juga demikian, diawali dari Negara Islam-Negara Sekuler-Negara Objektif, atau dari Islamisasi-Sekularisasi-Objektifikasi.

Menurutnya, di tahun 2020 ini adalah fase “negara objektif” atau “objektifikasi”. Pokok permasalahannya terletak pada industrialisasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya konglomerasi, monopoli, dan kasus perpajakan. Bukti konkritnya pada resepsi politik 2019 kemarin, para pengusaha secara masif masuk dalam politik.

Baca Juga  Rasulullah dan Memuliakan Perempuan

Menurut Kunto, umat Islam saat ini harus meninggalkan pemahaman politik sebagai upaya perebutan kekuasaan (power politics). Dalam artikel tersebut ia mengatakan, “imajinasi sejarah kami mengatakan 2020 nanti tema pokok politik kita berubah. Mungkin tema pokok politik kita nanti ialah soal political economy dengan fokus masalah kesejahteraan. Isu substantifnya adalah jaminan kesejahteraan (social security), dan negara kesejahteraan (welfare state), sebab Indonesia sudah mendekati era post-industrial-society”.

Fase Sejarah Muhammadiyah 2020-2025

Muhammadiyah sebagai entitas umat Islam terbesar di Indonesia sudah semestinya memperhatikan fase sejarah dan politik umat Islam sebagaimana yang ditulis Kunto. Sudah selayaknya Muhammadiyah pada Muktamar ke-48 di Solo membicarakan tentang “kesejahteraan.”

Jika kita evaluasi perjalanan Muhammadiyah selama dua dekade ini, sebenarnya juga tidak terlepas dari apa yang diprediksikan Kunto. Periode pertama Din Syamsuddin (2005-2010), merupakan fase konsolidasi ideologi Muhammadiyah. Ditandai dengan kuatnya benturan antara kelompok konservatif dan progresif. Periode kedua Din Syamsuddin (2010-2015) bisa disebut fase konsolidasi politik Muhammadiyah. Ditandai banyaknya kader Muhammadiyah yang terlibat dalam politik kebangsaan. Adapun internasionalisasi Muhammadiyah pada periode ini lebih disebabkan faktor persona Din Syamsuddin, namun di akar rumput (grass root) bukan hal yang dominan.

Periode pertama Haedar Nashir (2015-2020) merupakan fase kenegarawanan dan keadaban. Fase ini ditandai dengan munculnya gagasan Darul Ahdi wa Syahadah yang menandakan sikap kenegarawanan dan keadaban berbangsa Muhammadiyah. Dalam perspektif Kunto, Muhammadiyah pada fase ini telah melewati fase politik kekuasaan (politics power).

Muktamar ke-48 (2020-2025), terlepas siapa pemimpinnya, semestinya masuk pada fase “konsolidasi kesejahteran.” Jadi pada periode ini, Muhammadiyah harus tuntas dengan gagasan kesejahteraan. Muhammadiyah perlu merumuskan “baldatun thayibatun wa rabbun ghafur” secara filosofis dan operasional.

Baca Juga  Pendidikan di Era New (Up) Normal

Rasionalisasi Teologi Kesejahteraan

Ide “teologi kesejahteraan” sebenarnya sudah lama direnungkan Muhammadiyah sejak Muktamar ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta. Pada Muktamar tersebut lahir dokumen resmi yang disebut Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM) yang memuat gagasan negara sejahtera, yakni “Baldatun Thayyibathun…”. Namun, gagasan tersebut sampai sekarang belum pernah diterjemahkan Muhammadiyah secara operasional.

Gagasan tersebut masih menjadi konsepsi ideologis yang transenden (melangit). Mestinya, gagasan tersebut diilmukan atau diobjektifikasi menjadi sebuah konsep yang lebih operasional sehingga benar-benar membumi. Sebab, sebagaimana yang dijelaskan Kunto, saat ini adalah fase ilmu.

Hubungan Muhammadiyah dengan negara sudah selesai, dan yang tersisa adalah komitmen dan konsistensi pelaksanaannya. Khittah Muhammadiyah yang membahas relasi Muhammadiyah dengan politik juga sangat banyak. Mulai dari Ponorogo hingga Semarang, semua menarasikan hal tersebut. Kini, saatnya Muhammadiyah melangkah lebih jauh, menyelamatkan bangsa ini dari kebrutalan ekonomi pasar bebas.

Sebenarnya, langkah-langkah Muhammadiyah ke arah pembangunan “negara sejahtera” yang diimpikan tersebut sudah tampak. Mulai dari program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan MPM, pengembangan gagasan filantropi Islam melalui Lazismu, dan konsolidasi saudagar Muhammadiyah melalui Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK). Namun, tiga pilar ini tidak pernah berjalan sinergis. Lazismu lebih dekat dengan Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) bersama MDMC-nya, MPM maju sendiri dengan agenda pemberdayaan, sementara MEK bersama Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) tidak jelas orientasinya. Mungkin ini disebabkan tidak adanya “Teologi Kesejahteraan” yang mengikat tiga pilar tersebut.

Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds