Tasawuf

Pribadi Sehat dari Kaca Mata Tasawuf dan Kawruh Jiwa

3 Mins read

Masyarakat modern memiliki cara hidup yang materialistik, hedonistik, dan positivistik yang cenderung mengabaikan sisi spiritual dalam dirinya. Sehingga,  mengakibatkan seseorang semakin jauh dan tak mengenal dirinya.

Akibat yang ditimbulkan, banyak masyarakat modern yang mengalami kecemasan, kegelisahan, dan kebingungan sehingga kebahagiaan dalam hidup tidak dirasakan. Hal ini mengakibatkan pribadi yang tidak sehat terhadap seseorang karena cara hidup yang mengesampingkan spiritual dan persaingan antar manusia.

Pribadi, menurut Hamka (2016), adalah kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita, dan bentuk tubuh. Pribadi inilah yang menyebabkan harga kemausiaan seseorang berbeda dari yang lain. Kaum Sufi, dalam membentuk pribadi sehat dan menghadapi problematika kebahagiaan masyarakat modern akibat modernisasi, mempunyai metode sendiri. Yaitu, dengan  takhalli (pengosongan jiwa dari segala sifat yang tercela), tahalli (pengisian jiwa dengan sifat yag terpuji), tajalli (menghadirkan Tuhan dalam setiap aktivitas).

Amin Syukur (2014) menjelaskan, jika seseorang sudah sampai tahap tajalli, akan tertuju pada tujuan tasawuf yaitu upaya membentuk watak manusia yang memiliki sikap mental dan perilaku yang baik (akhlaqul karimah), manusia yang bermoral, dan memiliki etika serta sopan santun, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, lingkungan dan Tuhan.

Menurut orang Jawa dalam Kawruh Jiwa, jika seseorang sampai pada tahap ini yang melakukan segala sesuatu perbuatan dan tindakanya ialah Aku sejati atau si pengawas karep (keinginan). Raja keinginan yang perlu diawasi dalam Kawruh Jiwa yaitu semat (harta benda), drajat (jabatan), dan kramat (kekuasaan)(sifat tercela) yang ditimbulkanyauntuk sampai kepada mandheg pribadi (pribadi sehat).

Metode yang digunakan kaum Sufi dalam mencapai pribadi yang sehat sama seperti konsep mandheg pribadi (pribadi sehat) dalam Kawruh Jiwa. Tulisan ini akan mencoba mengkomparasaikan antara metode Sufi dan Kawruh Jiwa Suryomentaram dalam melihat pribadi yang sehat.

Baca Juga  Abu Yazid al-Busthami: Sufi yang Mabuk Kepayang
***

Dalam ajaran tasawuf dan Kawruh Jiwa Suryomentaram, sama-sama untuk membersihkan dan menghindari sifat-sifat negatif dan menggantinya dengan sifat-sifat positif.

Maka dalam tasawuf, prosesnya ialah takhalli yaitu sifat negatif yang perlu dibersihkan di dalam antara lain su’u al-dzan, hasad, kizb, riya, ujub, kibr, hub al-maal, ghadza, ghibah , namimah, khianat, bukhul , suma’, dan lainnya.

Lebih dalam lagi, takhalli juga perlu dilakukan dalam membersihkan diri dari kecenderungan jiwa untuk melakukan perbuatan yang sifatnya syubhat (Bakri, 2020). Jika dalam Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaran perlu adanya kita mengawasi catatan ada sebelas catatan yang kita catat selama hidup yaitu harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, golongan, kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, rasa hidup (Suryomentaram, 2003).

Catatan itu tidak sama rata nilainya. Maksudnya ada yang diunggulkan dan memiliki nilai tinggi catatan itu ialah harta benda, kehormatan, dan kekuasaan (semat, drajat, kramat).

Catatan yang dianggap terpenting ini yang harus diperhatikan karena makin lama makin mencengkram kuat (Sugiarto, 2015). Catatan ini tak perlu dihindari ataupun dibuang karena kita akan kesusahan untuk itu cukup tidak di perhatikan ibarat tanaman akan layu, catatan ini tidak hilang tapi akibat jarang diperhatikan tidak muncul.

Catatan ini nantinya membawa rasa dalam setiap tindakanya, rasa yang perlu disadari dalam diri kita dan tak perlu dituruti ialah rasa iri, sombong, sesal, khawatir, senang selamanya, dan merasa paling benar. Jadi dapat diambil kesimpulan salah satu cara untuk menghilangkan sifat–sifat negatif di dalam diri kita ialah dengan tidak memberinya perhatian.

***

Kedua, tahalli atau tahliyah, artinya menghias diri dengan al shifat al-mahmudah (sifat terpuji). Tahalli Setelah jiwa itu kosong dari keburukan, maka langkah selanjutnya adalah menghias diri dengan kebajikan, yaitu dengan berperilaku terpuji (al-akhlaq al-karimah) sesuai tuntunan Al-Qur’an dan sunah Nabi Menurut Ibnu Miskawaih, sifat terpuji paling mendasar yang harus menghiasi diri adalah alhikmah, al-‘Iffah, al-syaja’ah, dan al-‘adalah.

Sifat al-hikmah mencakup al-dzaka (cerdas atau memiliki kecakapan berfikir), al-dzikru (memiliki daya ingat tinggi), al-ta’aqul (berfikir benar), shafa al-dzihni (kejernihan berfikir), jaudat al-dzihni (ketajaman otak), dan suhulat al-ta’allum (kemudahan dalam belajar) (Bakri, 2020).

Baca Juga  Tasawuf Bukanlah Hal Baru dalam Dunia Islam

Dalam Kawruh Jiwa, pada tahap ini, kita harus mengetahui cara kerja karep (keinginan). Keinginan di dalam diri itu sebenarnya hanya menimbulkan dua rasa yaitu rasa senang dan susah. Senang atau susah hadirnya silih berganti. Maka dari itu,  mempunyai sifat mulu-mungkret (mengembang dan menyusut).

Jika keinginan itu tercapai, akan senang lalu mengembang (muncul keinginan baru). Jika keinginan tidak tercapai, akan sedih lalu menyusut (menerima keadaan sekarang). Jika seseorang sudah memahami cara kerja keinginan, akan mempunyai prinsip di dalam diri bahwa  rasa semua orang sama dan keinginan itu abadi.  Maka nantinya  orang itu akan lahirlah rasa tatag, tentram, cinta kasih, damai, dan terbebas dari penilaian orang lain.

***

Ketiga tajalli, yang secara bahasa berarti manifestasi, pengejawantahan, atau penampakan, yaitu manifestasi ketuhanan dalam diri manusia. Martin Van Bruinessen menyebutnya theophany atau “perwujudan” dari Tuhan. Artinya orang yang sudah sampai tahap tajalli maka ia mampu memanifestasikan nilai dan sifat Ketuhanan dalam kehidupannya.

Tajalli juga dapat disebut sebagai pencerahan (illumination), yakni bahwa seseorang yang sudah dengan sangat jelas dapat menyaksikan kehadiran dan kebesaran-Nya karena adanya cahaya-Nya yang telah mencerahkan diri manusia tersebut (Bakri, 2020). Dalam tahap ini, Ki Ageng Suryomentaram orang sudah menemukan Aku di dalam dirinya sebagai pengawas keinginan, maka orang pada tahap ini akan merasa “Aku mengawasi keinginan, Aku senang, Aku bahagia” maka dalam mengawasi keinginan sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri.

Ia merasa, “Itu bukanlah Aku tetapi keinginan” begitu juga dalam menanggapi dunia, dan segenap isinya, dan semua kejadian-kejadian, orang pun merasa“ itu bukanlah Aku” Demikianlah rasa Aku, bahagia dan abadi. Tidak tergantung tempat, kondisi, waktu apapun bahagia orang itu dan menjadi pribadi yang sehat.

Baca Juga  Ketika Seorang Sufi Mengancam Tuhan

Editor: Yahya FR

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Surakarta
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds