Perspektif

Membumikan Islam Pribumi (3): Pribumisasi Islam

2 Mins read

Bukankah Islam Itu seperti air; laiknya hujan sebagai rahmat? Jika seperti air, kenapa penganutnya ketika menempati suatu wadah tidak dapat membentuk seperti wadahnya. Apakah Islamnya mengalami pembekuan; pengkristalan? Sehingga sulit untuk menempati wadahnya, yakni Indonesia.

Pribumisasi Islam

Jika wadahnya adalah Indonesia, kenapa Islamnya harus seperti Arab, yang jelas-jelas sudah berbeda dari segi kulturnya. Maka tidaklah mengherankan apabila Gus Dur sering menggaungkan Islam Pribumi, yang merupakan hakikat dari Islam itu sendiri.

Gagasan Gus Dur yang demikian, tidaklah lahir dari ruang kosong. Akan tetapi beliau melanjutkan estafet dakwah yang dialirkan oleh Walisongo melalui kekayaan budaya Indonesia. Lantas seperti apakah Islam pribumi atau pribumisasi Islam itu, sehingga begitu penting untuk negeri ini?

Secara genealogis, gagasan Islam pribumi pertama kali dilontarkan Gus Dur pada tahun 1980-an. Dalam pribumisasi Islam, Gus Dur menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa menghilangkan identitasnya.

Pribumisasi yang di agendakan Gus Dur, tidaklah seperti proyek arabisme dalam praktik keagamaannya. Melainkan merupakan pemeliharaan budaya dan sekaligus menanamkan ajaran agama. Bukan berarti juga harus membikin atau membenarkan al-Qur’an Madura atau hadist Jawa. Tetapi yang perlu ditegaskan disini ialah Islam tetap Islam, dimanapun keberadaannya.

Pada intinya, pribumisasi Islam adalah kebutuhan itu sendiri, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab bagaimanapun juga polarisasi tetaplah tidak dapat dihindarkan (Abdurrahman Wahid, 2001: 111). Dengan begitu berati pribumisasi adalah agenda Gusdur yang berpikir tentang bagaimana melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepentingan bangsa.

Universalisme Islam

Dalam konteks Islam pribumi, aspek universalisme Islam terkait dengan kenyataan tentang kosmopolitanisme Islam. kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam jumlah unsur dominan yang menakjubkan yaitu seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik (Ainul Fitriah, 2013: 50).

Baca Juga  Cara Menangkal Radikalisme Lewat Pendidikan

Titik tolak pemikiran Gus Dur tidaklah berbanding lurus dengan mengagungkan modernisme. Tetapi justru mengkritik modernisme yang di universalkan dengan menggunakan pisau analisis tradisionalisme Islam. Model pemikiran seperti ini, tampak ketika Gus Dur menjelaskan soal universalisme Islam dan kosmopolitanisme budaya Islam.

Dalam persoalan universalisme Islam misalnya, Gus Dur tidak merujuk langsung pada al-Qur’an dan hadist, sebagaimana kalangan Islam modernis, melainkan hanya merujuk pada teori ushul fiqh yang disebut al-daruriyat al-khamsah (lima hal dasar agama).

Adapun lima hal dasar itu, yang  pertama, hifz al-din yang dimaknai Gus Dur sebagai keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama. Kedua, hifz al-nafs, yang dimaknai sebagai keharusan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.

Ketiga, hifz al-‘aql, pemeliharaan atas kecerdasan akal. Keempat, hifz al-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan. Dan kelima, hifz al-mal, keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum (Syaiful Anri, 2009: 4-5).

Dari penjelasan ini, sebenarnya Gus Dur sudah menggunakan teori Islam klasik, yang kemudian diberi makna kontekstualnya. Teori hifz al-din, misalnya, semula sekadar diberi makna memelihara agama, dalam arti orang Islam tidak boleh keluar dari Islam dan memeluk agama lain. Akan tetapi, di tangan Gus Dur, teori ini menjadi spirit untuk melakukan pembelaan kebebasan beragama dan keyakinan.

Demikian juga dengan teori hifz al-‘aqli, yang dalam fikih klasik selalu dicontohkan dengan larangan meminum minuman keras, tetapi di tangan Gus Dur hifz al-‘aqli dikaitkan dengan keharusan untuk memelihara dan mengasah kecerdasan (Ainul Fitriah, 2013: 50-56).

***

Sampai sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa makna penting dari “Pribumisasi Islam” ala Gus Dur dan “Sekulerisasi” ala Cak Nur adalah sebuah terobosan sekaligus pemikiran yang sarat makna untuk Indonesia yang beraneka ragam budaya dan agama. Oleh karenanya, ini menjadi penting seperti pentingnya obat bagi orang yang sedang sakit.

Baca Juga  Dilema Perda Syariat: Kasus Poligami di Aceh

Maka tidaklah berlebihan jika membumikan Islam pribumi dengan menelan pil sekulerisasi dapat menumbuhkan Islam yang sehat dan ramah lingkungan. Karena bagaimanapun juga Islam tetaplah Islam, sebagai rahmat seluruh alam. Hanya saja, cara mengekspresikannya yang berbeda-beda sesuai kondisi kulturalnya masing-masing.

Tamat.

Wallahu a’lam bishawab.

Editor: Yahya FR

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds