Oleh: Siti Aisyah*
Keputusan Munas Tarjih ke XXVIII di Palembang pada tahun 2014 merumuskan bahwa salah satu prinsip perkawinan adalah monogami. Prinsip ini merupakan jawaban terhadap tradisi Arab sebelum Islam yang berpaham pernikahan dengan banyak isteri tanpa batas. Perlakukan suami dan keluarga terhadap para isteri cenderung kurang manusiawi. Banyak perlakukan kekerasan terhadap para istri, baik kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial.
Islam hadir dengan membatasi poligami bagi yang mampu berbuat adil dan hasanah terhadap para istri. Meskipun demikian, Alquran memberi isyarat bahwa manusia tidak mampu berbuat adil. Karena adil bukan semata-mata masalah materi yang bersifat kongkrit, tetapi mencakup juga keadilan yang bersifat abstrak.
Dari ayat-ayat Alquran maupun Hadis, pada dasarnya dipahami bahwa pernikahan dalam Islam prinsipnya monogami. Bila dihadapkan pada permasalahan dan kondisi tertentu dimungkinkan poligami, tentu dengan pertimbangan mampu berlaku adil. Serta mendapat izin dari istri dan mempertimbangkan pendapat anak-anak. Kemampuan berlaku adil dan hasanah ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama. Apabila ada kekhawatiran tidak mampu berbuat adil ketika poligami, maka monogami lebih baik. Karena pada dasarnya bersikap adil dan menjauhi kemadaratan bagi keluarga adalah lebih utama untuk menjaga ketakwaan.
***
Dalam hal ini, dipahami bahwa paling tidak ada empat ayat yang dijadikan dasar prinsip dimaksud. Yaitu, Q.S. an-Nisâ’ (4): 2-3, 20, dan 129. Ayat 2 dan 3 berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan poligami. Juga syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat isteri. Ayat 129 tentang ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam poligami. Surat an-Nisa’(4): 3 menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim.
Pemahaman terhadap persoalan ini dapat dilakukan dengan merekonstruksi sejarah ketika ayat itu diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu, Islam baru saja mengalami kekalahan besar dalam Perang Uhud. Akibat perang itu, banyak perempuan menjadi janda dan banyak anak menjadi yatim dalam keluarga-keluarga yang kehilangan penopang ekonominya.
Dengan kata lain, di Madinah, sebagai pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh ketika itu, terjadi booming janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar. Pada masa ketika tribalisme masih menjadi struktur sosial masyarakat Arab, hal itu tidak menjadi persoalan karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial kepada warganya untuk memberi santunan kepada mereka.
Namun, keadaannya kemudian berubah seiring dengan perkembangan Hijaz menjadi rute perdagangan dari Yaman ke Syiria. Yang mendorong masyarakat Arab perkotaan berubah menjadi masyarakat perdagangan dengan segala konsekuensinya. Seperti individualisme dan eksploitasi terhadap yang lemah dan persaingan.
***
Islam berusaha memperbaiki keadaan yang ada dengan menekankan persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Karena itu, ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang, Nabi berperan sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara terbatas atau bahkan tidak ada, maka warganya yang memiliki kemampuan secara mental dan materiil diimbau untuk menanggulangi krisis itu. Yaitu dengan cara melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.
Dari paparan sekilas ini, bisa diketahui bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan yang berlaku ketika terjadi darurat sosial, tidak dalam situasi normal dan “darurat” individual. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa meskipun menjadi aturan darurat, poligami ketika itu tetap diberi persyaratan ketat, seperti yang disinggung di atas. Karena itu, pengaturan dan pelaksanaan poligami di kalangan umat seharusnya mengacu pada idealisme Alquran itu.
Selain ayat-ayat Alquran, beberapa hadis Nabi juga mengisyaratkan adanya prinsip monogami. Hadis-hadis dimaksud antara lain,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَسْلَمَ غَيْلاَنُ بْنُ سَلَمَةَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا (رواه الدارقطنى)
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam beserta sepuluh orang istrinya yang ia nikahi pada masa jahiliyyah. Lalu nabi saw memerintahkan kepadanya untuk memilih 4 orang dari mereka [HR Daruqutni].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قاَلَ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كاَنَتْ لَهُ اِمْرَأَتاَنِ يَمِيْلُ مَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرٰى جَاءَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ وَأَحَدُ شَقَّيْهِ سَاقِطٌ
Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda, ”Barangsiapa yang memiliki dua isteri dan ia lebih condong kepada salah satunya maka pada hari kiamat ia muncul dengan bahu miring sebelah [HR Ibnu Majah].
Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa poligami bukan merupakan anjuran, tetapi pembatasan terhadap poligami yang tidak terbatas dan peringatan terhadap orang yang berpoligami tanpa mampu berbuat adil. Hadis tersebut menjelaskan bahwa poligami dipraktikkan oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dengan bilangan istri yang tidak terbatas.
Karena itu, dengan hadis di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak menganjurkan poligami, tetapi membatasi poligami yang tidak terbatas. Islam memberikan batas maksimal poligami hanya dengan empat (4) istri. Hadis Ibnu Majah dari Abu Hurairah bukan anjuran tetapi peringatan terhadap laki-laki yang melakukan poligami harus mampu berbuat adil. Rasul menyampaikan sindiran pada suami yang tidak mampu berbuat adil dengan mengatakan bahwa kelak di akhirat bahunya nampak miring.
Walaupun poligami diizinkan, tapi realitasnya ternyata menyisakan penderitaan bagi istri, orangtua, dan anak. Hal ini terungkap dalam hadis Nabi riwayat Imam Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Miswar bin Makhramah yang mengangkat peristiwa yang dialami keluarga putri Nabi (Fatimah) ketika Ali akan melakukan poligami.
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ: إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلاَ آذَنُ ثُمَّ لاَ آذَنُ ثُمَّ لاَ آذَنُ إِلاَّ أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا (رواه البخارى و مسلم والترمذى وابن ماحه)
Miswar bin Makhramah berceritera bahwa ia mendengar Rasulullah saw berdiri di atas mimbar seraya berkata, “Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bin Abi Thalib lebih memilih menceraikan putriku dan menikah dengan putrinya (Keluarga Hisyam). Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku” [HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Hadis dimaksud mempertegas prinsip monogami dalam pernikahan. Nabi saw melarang Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sahabat terdekatnya untuk melakukan poligami, bahkan beliau meminta Ali memilih menceraikan Fatimah putri Nabi jika tetap menikahi gadis tersebut. Alasan yang diajukan Rasulullah adalah beliau tidak rela andaikan poligami itu akan menyusahkan dan menyakiti putri tercintanya Fatimah, yang berarti menyakiti perasaan Rasulullah saw sebagai ayahnya.
Jika kedua kelompok hadis di atas digabungkan, dapat dipahami bahwa hadis-hadis tentang poligami tidak menyebutkan bahwa poligami itu perbuatan sunnah atau yang dianjurkan. Poligami dalam Islam merupakan ketentuan pembatasan yang pernah terjadi sebelumnya (yang tidak terbatas).
Poligami dilakukan dengan memenuhi ketentuan adil. Dalam pelaksanaannya ketetapan terwujudnya keadilan diputuskan oleh Pengadilan Agama. Allah juga menyatakan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil. Namun demikian poligami dapat dicegah oleh semua pihak, baik keluarga istri maupun suami, manakala diduga kuat pernikakahan itu dapat menyusahkan istri pertama dan keluarganya.
Untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaklah berusaha menjauhkan peluang yang dapat mengantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya.
*Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah