Pada Kamis lalu, 1 Juni 2023, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Peringatan ini didasarkan pada pidato Bung Karno (Ir. Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia) yang disampaikan dalam Sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945. Isi pidato tersebut pula menjadi cikal bakal Pancasila, sebab dalam pidato itulah Bung Karno mencetuskan istilah “Pancasila” sebagai philosophische grondslag (falsafah negara). Peristiwa bersejarah itu dikenang setiap tahunnya sebagai peristiwa penting yang mendasari penggalian nilai-nilai luhur Pancasila. Meskipun, kita sering kali abai terhadap pelaksanaan nilai-nilai itu dalam laku keseharian.
Pancasila sebagai Darul Ahdi wa asy-Syahadah
Berbicara tentang Pancasila, kita dapat menyelami pokok pikiran kebangsaan Muhammadiyah tentang penetapan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa asy-Syahadah (negara kesepakatan dan persaksian). Konsep ini tercetus sebagai penegasan komitmen kebangsaan Muhammadiyah terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Muhammadiyah juga kerap mengkritik dengan keras perilaku para pejabat dan politikus yang gemar mendaku “Aku Pancasila”, tetapi pada saat yang sama menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik.
Dalam ungkapan Buya Hamka, politikus semacam itu disebut sebagai “Pancasilais munafik” atau dalam bahasa Buya Syafii Maarif disebut sebagai “politikus tunaadab dan tunamoral” yang enggan naik kelas menjadi negarawan. Para politikus tunaadab inilah yang terus menumbuhsuburkan budaya koruptif serta mementingkan kepentingan pribadi dan golongan, sehingga posisi negara kian rapuh dan ringkih. Bila demikian, tinggallah Pancasila sebagai pemanis bibir belaka. Padahal sejatinya, mengawal pelaksanaan Pancasila merupakan tugas kita bersama. Kunci dari pelaksanaan itu ialah ketulusan dan kesungguhan yang dalam kacamata Buya Syafii kian redup oleh godaan kepentingan pragmatis.
Ketulusan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi yang dinamis (dynamic organization). Organisasi yang didirikan K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 ini bisa bertahan melampaui satu abad karena memiliki pemikiran, sikap, dan tindakan yang “maju” dan relevan dengan zaman. Ketua Umum PP Muhammadiyah K.H Haedar Nashir mengungkapkan, dengan ideologi reformisme yang moderat, Muhammadiyah memiliki peluang besar di abad keduanya ini untuk berperan dalam kehidupan umat, bangsa, dan peradaban dunia (2016: 164).
Dalam catatan sejarah, Pramono Ubaid Tanthowi dalam Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi menceritakan satu fase peneguhan jati diri kebangsaan Muhammadiyah yang memilih undur diri dari ranah politik praktis. Muhammadiyah, kata Pramno, pernah terdaftar sebagai “anggota istimewa” Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk pada 7 November 1945 di Yogyakarta. Kemudian Muhammadiyah melepaskan status sebagai “anggota istimewa” dari Masyumi pada 1959.
Pada masa pemerintahan Soeharto, Masyumi muncul kembali dengan nama Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Pada masa itu, Parmusi dipimpin oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, yakni Djarnawi Hadikusumo sebagai ketua dan Lukman Harun sebagai sekretarisnya, serta pengurus partai banyak dari tokoh Muhammadiyah (Tanthowi, 2021: 36). Proses “undur diri” dari panggung politik praktis itu bukan tanpa dasar. Rezim Orba yang dikenal “tangan besi” membuat gerak umat Muslim dan ormas tidak leluasa. Begitu pun dengan “corong politik” umat Islam pada masa itu, yang membuat keberadaan Parmusi kerap terbentur jalan buntu.
***
Sampai akhirnya, pada 1971, Muhammadiyah dengan Khittah Ujung Pandang menegaskan untuk kembali memusatkan energi mereka pada program dakwah, pendidikan, dan kesejahteraan sosial (Tanthowi, 2021: 43). Dengan demikian, Muhammadiyah menegaskan perannya pada upaya penyemaian kehidupan kebangsaan yang maju yang mencita-citakan kesejahteraan, keadilan sosial, dan kepentingan yang bersifat jangka panjang.
Sebagaimana sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah melakukan kerja-kerja nyata melalui bidang pendidikan, kesehatan, pertolongan kemanusiaan, dan pemberdayaan masyarakat. Apa yang kemudian kita kenal sebagai teologi al-Maun itu telah begitu melekat sebagai jati diri gerakan Muhammadiyah. Bisa dikatakan, identitas gerakan pada dasarnya Muhammadiyah adalah gerakan berbasis keagamaan dan kemasyarakatan.
Gerakan seperti yang dilakukan Muhammadiyah merupakan salah satu wujud konkret dari ketulusan dan kesungguhan dalam berbangsa dan bernegara. Klaim ini bukanlah sesuatu yang hiperbolis. Sebab, kehadiran organisasi yang sudah berusia seabad lebih, dengan amal usaha berupa sekolah, kampus, panti asuhan, dan rumah sakit, ini menjadi bukti bahwa Muhammadiyah telah turut serta menjadi pelopor dalam mewujudkan kehidupan yang maju, berkebudayaan, dan beradab. Selain itu, dari rahim Muhammadiyah pulalah tokoh bangsa seperti Ir. Sukarno, Jend. Soedirman, Kasman Singodimejo, dan Ki Bagus Hadikusumo lahir.
Agama Sebagai Substansi
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan (Islam) yang pasti akan bersinggungan dengan politik praktis dalam kesehariannya. Namun, sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah bisa bersikap netral dan independen. Kendati tak melarang kadernya untuk terjun langsung ke dalam politik praktis, Muhammadiyah tidak terikat dengan partai politik manapun, sehingga dalam hal pengambilan keputusan organisasi tidak bisa didikte oleh kepentingan parpol ataupun penguasa. Dalam menghadapi Pemilu, misalnya, Muhammadiyah tidak memaksa warganya memilih calon tertentu, artinya setiap warga bebas memilih berdasarkan pertimbangan logis dan keyakinannya.
Sudarnoto Abdul Hakim dalam buku Indonesia Raya (2022: 17) menyebutkan bahwa agama dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Justru, agama semestinya menjiwai kehidupan bangsa, termasuk dalam mengelola pemerintahan dan menyelenggarakan negara. Sebagaimana tecermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang juga dijiwai oleh nilai-nilai agama. Maka, agama seyogianya menjadi substansi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip kebangsaan seperti yang ditunjukkan Muhammadiyah adalah menjadikan agama sebagai substansi.
Di tengah semaraknya politisasi agama atau politik identitas, Muhammadiyah juga tampak tak terpancing untuk turut serta melakukan suksesi, meskipun di sejumlah daerah ada yang mencatut label “Muhammadiyah”, “Mentari”, “Berkemajuan”, dan sebagainya dalam pembentukan dan deklarasi dukungan politik. Meskipun perilaku mencatut nama organisasi, yang artinya menyalahi keputusan organisasi perihal dukung-mendukung dalam hal politik praktis, mereka tak diberi sanksi apa pun. Hal yang semestinya bisa diregulasi oleh PP Muhammadiyah.
Menjaga marwah organisasi menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi ini kala menghadapi tahun politik. Berulang kali juga Ketum PP Muhammadiyah K.H Haedar Nashir mengungkapkan bahwa sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah tidak akan masuk ke arena politik praktis. Artinya, Muhammadiyah senantiasa berpedoman kepada Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah Denpasar tahun 2002, yang pada intinya menegaskan Muhammadiyah mengambil peran sebagai gerakan dakwah Islam yang bergerak di segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Bukan pada ranah politik praktis, seperti dukung-mendukung dan mobilisasi massa.
Berkhidmat untuk Bangsa
Dalam Muktamar ke-48 yang digelar di Solo, Muhammadiyah merilis Risalah Islam Berkemajuan yang intinya berisi penegasan corak gerakan. Disebutkan, Risalah Islam Berkemajuan dapat menjadi pemandu wacana, isu, dan gerakan Muhammadiyah pada masa kekinian. Sejumlah penegasan mengenai konsepsi, karakteristik, manhaj, dan strategi pengkhidmatan aktual dari tagline “Islam Berkemajuan” dikupas dalam dokumen penting yang melengkapi alam pikiran gerakan Muhammadiyah ini. Tak kecuali juga soal kebangsaan.
Pengkhidmatan Muhammadiyah di ranah kebangsaan berlandaskan pada upaya penegasan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa al-Syahadah (negara perjanjian dan persaksian) yang merupakan fikih politik (fiqh siyasah). Nilai-nilai yang dibawa ajaran agama Islam dan Pancasila menjadi landasan dalam berbagai upaya mewujudkan kehidupan kebangsaan yang berkemajuan. Wujud nyata dari pengkhidmatan Muhammadiyah dalam persoalan kebangsaan ialah melalui empat hal, di antaranya: (1) pemajuan demokrasi, (2) peningkatan ekonomi, (3) pengembangan hukum, dan (4) pembangunan kebudayaan.
Maka, bila kita melihat empat hal di atas dengan mata yang jernih, tanggung jawab besar ini tidak bisa ditanggung sendiri oleh ormas keagamaan sebesar Muhammadiyah sekalipun. Melainkan, dibutuhkan juga dukungan dari segenap elemen bangsa, mulai dari masyarakat, pengusaha, akademisi, politikus, budayawan, dan tentu saja para pemangku kebijakan dan elite penguasa di negeri kita tercinta ini. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh