Perspektif

Problem Penghinaan Nabi Muhammad di Prancis

7 Mins read

Kontroversi kasus penghinaan Nabi Muhammad di Prancis masih terus berlangsung dan menjadi topik hangat baik di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, maupun di forum-forum diskusi akademik online. Kontroversi ini tidak kunjung berhenti karena ada beberapa peristiwa lanjutan yang mengiringi peristiwa awal, seperti rencana Pemerintah Perancis untuk mengeluarkan UU Separatisme dan ketegangan yang terus meningkat antara Macron dan Erdogan.

Harus diakui bahwa sejak awal dalam kasus ini ada kompleksitas permasalahan yang terkait satu sama lain. Diantara permasalahan itu adalah: a) kultur mengolok-olok agama, khususnya Islam, di Perancis; b) tindakan teror yang dilakukan beberapa individu Muslim, c) penggunaan retorika “pertarungan melawan ekstrimisme dan radikalisme Islam” oleh Macron, d) problem sosial, ekonomi, dan politik para imigran di Perancis, termasuk isu integrasi dan asimilasi, dan f) kebijakan intervensionis Macron yang ingin menciptakan Islam Pencerahan sebagai anti tesis dari apa yang ia sebut Islam Radikal.

Beberapa hal di atas adalah isu yang berbeda tapi sebenarnya terkait satu sama lain. Hemat saya baik pemerintah Perancis ataupun dunia Islam perlu melihat semuanya secara utuh dan mengambil sikap yang integratif dalam rangka menyelesaikan problem ini. Hal yang juga perlu dicatat adalah setiap pihak memiliki peran dan tanggung jawab pada ruang lingkup masing-masing.

Dalam tulisan ini saya tidak berpretensi untuk menguraikan semua isu di atas. Saya hanya ingin fokus pada isu mengenai posisi blasphemy atau penghinaan terhadap agama di tengah publik Perancis. Pertanyaan spesifik yang ingin dijawab adalah: apa yang menyebabkan blasphemy terhadap simbol suci Islam dapat terjadi dan kemudian terulang berkali-kali di Perancis? Tulisan ini ingin menyoroti secara kritis logika, asumsi dasar, termasuk legal ground yang melandasi sikap Perancis mengenai blasphemy.

Tulisan ini akan menjawab pertanyaan di atas dari tinjauan disiplin “studi sekulerisme kritis” (critical secularism studies). Disiplin ini dicetuskan pertama kali oleh seorang antropolog muslim bernama Talal Asad. Karena lahir dari disiplin antropologi, tidak heran ada juga yang menyebutnya sebagai disiplin “antropologi sekulerisme”. Konsen dari bidang ini adalah melihat secara kritis paradoks pada paham sekulerisme, termasuk memproblematisasi klaim universalitas dan keniscayaan (inevitability) sistem politiknya.    

Batasan dalam Kebebasan Berekspresi

Publik di Prancis berpendapat bahwa mengolok-olok ajaran atau tokoh agama adalah bagian dari ekspresi kebebasan berpendapat yang bersifat mutlak dan menjadi nilai sentral dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat ini lahir dari filsafat pencerahan (the Enlightenment) yang sudah dipegang Barat selama beberapa abad setelah mereka masuk ke zaman modern.

Masyarakat liberal Perancis yakin bahwa tidak ada figur dan objek yang tidak bisa digambarkan, dikritik, dan disatirisasi. Agama apapun dan tokoh agama manapun tidak dapat dikecualikan dari nilai-nilai ini. Sebagai agama pendatang yang dibawa imigran, Islam juga tidak bisa mendapatkan pengecualian. Oleh karena itu, jika ada muslim yang menolak, mereka harus didisiplinkan dan dimasukkan ke dalam protokol yang berlaku.

Baca Juga  Misteri Wajah Muhammad Saw: Teologi dan Mazhab Kritis Frankfurt

Keyakinan bahwa kebebasan berekspresi bersifat mutlak sebenarnya perlu ditinjau ulang. Tidak ada masyarakat manapun yang secara praktikal menganut kebebasan tanpa batas. Masyarakat modern dan liberal Barat sendiri sebenarnya memiliki pembatasan dalam berekspresi dan berkomunikasi. Talal Asad dalam tulisannya Free Speech, Blasphemy, and Secular Criticism menyebut beberapa contoh tentang pembatasan tersebut. Misalnya keberadaan undang-undang hak cipta dan merek dagang, dan undang-undang yang melindungi rahasia komersial di masyarakat Barat. Undang-undang ini melarang sirkulasi bebas ide dan pikiran manusia karena dianggap merugikan pihak-pihak tertentu.

Contoh lainnya yang ia sebut adalah peraturan tentang indecency (ketidaksenonohan). Dalam masyarakat liberal Barat sekalipun, materi pornografi yang melibatkan anak kecil adalah tindakan kriminal. Hemat saya, undang-undang pornografi ini juga menunjukkan bahwa Barat mengakui pembagian dan relativitas etika: apa yang berlaku bagi anak kecil berbeda dengan yang berlaku untuk orang dewasa.

Masih banyak contoh lainnya tentang pembatasan kebebasan berekspresi. Di dunia Barat, khususnya Eropa, ada undang-undang yang mengatur rasisme. Dari undang-undang ini lahir peraturan kriminalisasi bagi penolak Holocaust di empat belas negara di benua biru ini. Dunia Barat juga mengatur ekspresi ide tentang gender. Terkait hal ini, belum lama JK Rowling, penulis terkenal dan pengarang novel Harry Potter, harus rela menerima sangsi pencambutan penghargaan yang diterima nya karena cuitan di Twitter nya yang meniadakan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan.

Di Perancis sendiri, juga seringkali terjadi sensor ide untuk media. Belum lama tulisan profesor sosiologi yang mengkritik pendekatan Macron dalam penanganan esktrimisme ditolak oleh Politico.eu, sebuah kantor berita online. Peristiwa sensor ini juga ramai menjadi diskusi di Twitter beberapa aktivis muslim.

Poin yang ingin saya sampaikan dari contoh-contoh di atas adalah bahwa di masyarakat manapun di dunia ini pada kenyataannya tidak ada kebebasan berekspresi yang absolut, termasuk di masyarakat liberal Barat. Oleh karena itu, Perancis sebaiknya berhenti berpura-berpura dan mengklaim bahwa nilai kebebasan berekepresi yang absolut benar-benar ada. Bersikukuh dengan nilai ini untuk melegalkan blasphemy terhadap Islam selain menciderai perasaan milyaran kaum muslimin sedunia yang semestinya menjadi partner strategis bagi Perancis, juga hanya menunjukkan adanya double standard yang mereka terapkan.

Hubungan antara Simbol dan Makna

Faktor selanjutnya yang memungkinkan terjadinya blasphemy adalah perbedaan dalam melihat simbol agama (Web Keane, seorang antropolog, menyebutnya sebagai ideologi semiotik). Publik Perancis secara khusus atau dunia Barat modern secara umum memiliki persepsi yang berbeda dengan dunia Islam dalam melihat hubungan antara simbol (gambar, karikatur, lukisan, dan lain sebagainya) dengan tokoh yang disimbolkan.

Web Keane dalam bukunya Christian Modern yang mengkaji perjumpaan kaum misionaris dengan masyarakat Sumbawa di zaman penjajahan Indonesia menemukan adanya perbedaan ini. Menurutnya, bagi orang-orang Eropa modern secara umum (dalam konteks penelitiannya adalah para misionaris Protestan Calvinis), benda materil yang menjadi simbol agama berbeda dengan hal suci yang disimbolkannya. Bagi mereka, ada perbedaan dan keterpisahan antara obyek dan subyek, penanda dan tinanda (yang ditandakan), dan antara bentuk dan esensi. Bagi mereka, tidak ada hubungan antara dunia konsep yang abstrak dan dunia material yang menjadi simbol dari konsep itu.

Baca Juga  Isra' Mi'raj: Peristiwa Dahsyat di Luar Nalar Manusia

Berangkat dari ideologi seperti inilah orang-orang Perancis menggunakan kartun untuk menggambar Nabi Muhammad. Bagi mereka, kartun berbeda dengan Nabi Muhammad itu sendiri. Bagi orang-orang Perancis umat Islam sebenarnya menderita kebingungan yang serius (fundamental confusion) mengenai hubungan antara benda atau gambar dengan keyakinan agama. Menurut mereka semestinya karikatur Nabi Muhammad tidak melahirkan perasaan marah karena itu bukanlah Nabi itu sendiri. 

Ini tentu saja adalah suatu cara pandang yang koersif (memaksa). Sebab, apa yang diyakini oleh publik Prancis bersifat distingtif dan tipikal masyarakat modern Barat. Orang-orang non-Barat melihat ikon atau simbol dengan cara yang berbeda. Bagi mereka obyek material adalah kepanjangan ontologis (ontological extension) dari tokoh suci yang sebenarnya (ini istilah dari Mahmood). Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa ada hubungan antara gambar dan tokoh yang digambarkan. Muslim, menurut Saba Mahmood, menggunakan perspektif melihat simbol dengan cara yang sama dengan masyarakat tradisional Sumbawa yang diteliti oleh Keane.

Orang-orang Prancis enggan untuk mengakui adanya perbedaan ideologi semiotik ini. Ini tentu saja didukung oleh keyakinan narsistik bahwa cara berfikir mereka adalah yang paling maju, beradab, bersifat universal, dan harus menjadi yard stick (ukuran) dari segala-galanya. Andaikan ada pengakuan terhadap relativitas perspektif dan penghormatan terhadap keberagaman, maka benturan sudut pandang yang melahirkan korban nyawa tidak akan terjadi lagi.  

Problem Hukum Penghinaan Nabi Muhammad

Sebagian pengamat berkomentar bahwa umat Islam harus menerima fakta bahwa menggambar karikatur Nabi adalah suatu hal yang diterima dalam kultur sosial masyarakat Perancis. Kultur ini ini berdiri di atas pijakan hukum, yaitu konstitusi dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jika umat Islam keberatan, maka sebaiknya mereka pergi ke pengadilan untuk melakukan gugatan. Nanti pengadilan lah yang akan menentukan bahwa tindakan ini legal atau tidak. 

Statemen di atas terdengar logis, tapi sebenarnya agak ahistoris. Peristiwa blasphemy terhadap Nabi Muhammad terjadi bukan sekali. Upaya umat Islam membawanya ke jalur hukum juga bukan tidak pernah dilakukan. Sebaliknya gugatan sudah berapa kali diajukan, baik di tingkat pengadilan negara, maupun ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (The European Court of Human Rights). Tetapi upaya-upaya tersebut selalu berakhir dengan kegagalan. Ini disebabkan karena ada suatu instrumen yang diterapkan secara hipokrit kepada umat Islam.

Dalam proses gugatan, ada dua dasar hukum yang digunakan umat Islam untuk melawan praktek blasphemy terhadap Nabi Muhammad.

Pertama, klausul dalam The European Convention for the Protection of Human Rights (ECHR) pasal 10 ayat (1) yang menyebut bahwa “freedom of expression” adalah hak setiap orang. Ayat kedua dari pasal ini menyebutkan:

Baca Juga  Membumikan Konsep Pancasila Sebagai Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah

“The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.”

(Pelaksanaan kebebasan ini, karena itu membawa serta tugas dan tanggung jawab, dapat tunduk pada formalitas, kondisi, pembatasan, bahkan hukuman sebagaimana ditentukan oleh hukum. [Hal seperti itu] diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan nasional, keutuhan wilayah atau keselamatan publik, untuk pencegahan kekacauan atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, untuk perlindungan reputasi atau hak orang lain, untuk mencegah terungkapnya informasi rahasia, atau untuk menjaga otoritas dan imparsialitas peradilan.)

Kedua, umat Islam juga menggunakan beberapa jurisprudensi (kasus hukum terdahulu), di mana negara-negara Eropa melakukan pembatasan eskpresi karena dianggap menganggu hak keagamaan orang lain. Tahun 1994 misalnya terjadi sebuah kasus di mana Otto Preminger Institute, sebuah lembaga seni Austria, memproduksi film non-profit yang menggambarkan Jesus dan Bunda Maria yang menyinggung umat Kristen.

Karena adanya protes, pemerintah Austria membatalkan penayangan film ini dan menganggapnya sebagai serangan terhadap agama Kristen, khususnya Katolik. The ECHR menguatkan putusan pembatalan terhadap film dengan menyatakan: “Katolik adalah agama mayoritas penduduk Tyroleans (penduduk kota Tyrol Austria)”. Selain kasus Austria ada banyak kasus-kasus lainnya terkait blasphemy di Eropa yang mendapatkan sangsi.

Hanya saja, ketika giliran umat Islam membawa kasus blasphemy atau penggambaran kartun Nabi Muhammad ke meja hijau, terjadi pengabaian bagi umat Islam. Putusan Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia untuk kasus Majalah Jyllands-Posten Denmark menyebut bahwa karikatur ini dapat diterima karena ini kritik kepada fundamentalisme agama, bukan kepada agama itu sendiri. Kritik ini dianggap sesuatu yang normal dalam masyarakat demokratis. Di sinilah umat Islam merasa ada penerapan hukum yang arbitrer dan hipokrit kepada mereka.

Tindakan radikal dengan membunuh tentu saja suatu perbuatan barbarik yang tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh siapapun. Tetapi bagi umat Islam yang ingin mencari perubahan dan keadilan hukum, apa yang bisa mereka lakukan? Pertanyaan ini belum terjawab sampai sekarang.

Terakhir, di tahun 2020 saat umat Islam Perancis tengah berupaya sekali lagi menempuh jalur hukum, media Perancis Charlie Hebdo justru menayangkan ulang karikatur Nabi Muhammad di penerbitan edisi Agustus 2020. Maka, adalah suatu hal yang beralasan jika umat Islam ada yang meyakini bahwa ini adalah lingkaran setan yang sengaja diperpanjang untuk menstigmatisasi mereka.

Wallahu A’lam bis Shawab.

Editor: Yusuf

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds