Perspektif

Misteri Wajah Muhammad Saw: Teologi dan Mazhab Kritis Frankfurt

5 Mins read

Polemik Seputar Penggambaran Wajah Rasulullah

Sehubungan dengan polemik soal mengapa ummat Islam menolak  menggambarkan wajah Rasulullah Muhammad Saw, yang secara nakal dilontarkan oleh Kang Sumanto Al-Qurtuby yang direspon dengan cadas oleh Gus Rijal Mummaziq dan dibacemi dengan manis oleh Kak Iqbal Aji Daryono, saya jadi tertarik untuk terlibat urun rembuk dalam wacana ini.

Beberapa kalangan ummat menanggapi secara berlebihan penolakan untuk menggambar wajah para nabi secara reaksioner dengan menggugat film-film tentang nabi seperti film Exodus yang menunjukkan wajah Nabi Musa AS maupun film Noah, seperti yang terjadi di Uni Emirat Arab, Maroko, Qatar, Mesir dan beberapa negeri-negeri Muslim lainnya.  

Namun apakah hanya dengan sikap eksesif ummat seperti itu maka dengan sendirinya penolakan untuk menggambar wajah kanjeng Nabi maupun para nabi lainnya, dengan serta merta menjadi sikap yang ketinggalan jaman, dan kalah arif dengan kalangan yang lain?

Nanti dulu. Memaksakan keyakinan kita dengan melabeli sesat pada suatu karya budaya, adalah berbeda dengan memberi pemaknaan terhadap suatu doktrin atau kepercayaan yang diyakini oleh suatu komunitas keyakinan tertentu.

Seputar Sesat-Menyesatkan dan Memaknai Suatu Keyakinan

Menyatakan bahwa suatu produk kebudayaan sesat dan meminta pelarangan secara publik, adalah mengabsolutkan keyakinan kita sendiri dan mengabaikan kebebasan berkreasi yang dalam ruang publik tunduk pada prinsip nalar publik universal, bukan supremasi suatu keyakinan atas yang lainnya.

Sementara, memaknai suatu keyakinan tertentu sebagai terbelakang, ketinggalan zaman, atau membandingkan dengan keyakinan yang berbeda bisa jadi akan berbenturan dengan prinsip-prinsip kebhinekaan dalam horizon multikulturalisme. Apalagi apabila keyakinan yang dimaksud sama sekali tidak bertentangan dengan nilai universal kemanusiaan.

Alih-alih menunjukkan kecerdasan berpikir dan kritisisme terhadap dogma usang, kritik terhadap suatu keyakinan tanpa mengelaborasi sampai pada sumber pengetahuan dan tafsir hermeunetik terhadap keyakinan tersebut, justru berpotensi menunjukkan keterbatasan.

Sindiran kepada Kalangan New Atheism

Secara agak sinis, saya jadi teringat bagaimana filsuf kritis Terry Eagleton menyindir kalangan new atheism seperti Richard Dawkins yang kerapkali menggugat dogma agama.

Bagi Eagleton Dawkins ibarat seseorang yang hanya mengetahui beberapa jenis hewan setelah jalan-jalan di kebun binatang, namun mengklaim mengetahui silsilah hewan di seluruh dunia dan sepanjang massa. Mungkin analogi Eagleton ini berlebihan untuk memaknai diskusi tentang misteri wajah Kanjeng Nabi, namun perlu juga kita renungkan dalam-dalam.    

Baca Juga  Hijrah Rasulullah (2): Sebuah Romantika Kisah

Di sini saya tidak bermaksud untuk mengulik apakah penolakan tersebut bersumber dari kitab suci ataupun rujukan hadis yang valid. Saya mau mengulasnya dari suatu prinsip utama dalam tradisi Yahudi dan juga Islam yang apabila kita jeli dan serius membaca kemudian menjadi sebuah spirit utama dari tradisi filsafat kritis sekuler yang kita kenal dengan Frankfurt Critical School.

Penolakan Berbagai Macam Idolatry

Prinsip itu adalah penolakan atas berbagai macam idolatry (berhala) di dunia sebagai proses negative dialectic terhadap berbagai macam bentuk kekuasaan duniawi yang hendak ditarik ke tingkat yang absolut.

Para inisiator Frankfurt School seperti Theodore Adorno, Max Horkheimer, dan Erich Fromm pertama-tama melihat agama sebagai problem. Mereka tidak mengabaikan tentang tendensi absolutisme agama yang mengarah pada praktik dominasi, eksploitasi, dan alienasi.

Namun demikian mereka tidak berhenti di situ. Mereka melihat ada spirit dalam agama yang memiliki potensi emansipatoris apabila dilepaskan dari batasan dogmatiknya untuk diabstraksikan dalam horizon kritisme yang lebih tinggi.

Hal itu justru akan sangat tajam membongkar berbagai macam praktik-praktik dominasi yang dilakukan oleh rezim kekuasaan yang hendak mengabsolutkan dirinya. Termasuk rezim kekuasaan yang mengklaim berkuasa atas nama agama.

Kritik terhadap dogmatisme agama membawa mereka pada pencarian sumber spirit utama dari tradisi agama. Lalu kemudian, mereka tarik dimensi kritis tersebut ke dalam tradisi filsosofis yang bercorak sekuler (critical theory).

Tarikan tersebut sebagai navigasi untuk menggugat persoalan-persoalan sosio-politik maupun ekonomi-politik dalam ranah bumi manusia. Bahasa mudahnya seperti yang diorasikan oleh Presiden Ir Sukarno, “Ambillah api Islam, jangan abunya!”     

Dalam tradisi keagamaan Abrahamik, penolakan terhadap berbagai macam bentuk pemberhalaan seperti larangan pelukisan terhadap segala sesuatu yang duniawi (profan) bukan hanya tafsiran dari kalangan Islam.

Bahkan dalam tradisi religius Yahudi, kalau kita membaca Decalogue (Sepuluh Perintah Tuhan) yang kedua, di situ tertera: you shall not make for yourself a graven image (kamu jangan membuat dirimu ikon berhala).

Baca Juga  Maulid Nabi: Menyegarkan Kembali Risalah Kemanusiaan

Prinsip Decalogue kedua inilah dalam pergumulan kalangan Frankfurt School awal seperti Max Horkheimer dan Theodore Adorno, diserap dan diabstraksikan dalam spirit critical perspective dielevasi dan dijadikan sumber dari critical theory dari filsafat sekuler mazhab kritis frankfurt.

Melalui metode yang disebut negative dialectic, prinsip anti-idol dan penolakan atas pemberhalaan ini kemudian dikembangkan dalam rumusan kritik yang jenial.

***

Doktrin larangan mengukir dan melukiskan benda mati, ditarik ruh ajaran pembebasannya dan dimaknai relevansinya dalam melakukan gugatan kritis terhadap realitas dunia yang profan menjadi; pertama, anti- idolatry menjadi gugatan kritik terhadap berbagai bentuk kekuasaan profan duniawi yang hendak ditarik pada level absolut seperti fasisme.

Berhala dan anti-idol yang secara harfiah adalah penolakan untuk menggambar wujud manusia, ditarik dan diabstraksikan kepada suatu pandangan yang lebih subtil dan kritis dengan menolak mengabsolutkan berbagai macam ideologi-ideologi yang sifatnya duniawi.

Di sini bertemu pandangan Mazhab Franfurt misalnya dengan artikulasi Nurcholish Madjid tentang teologi desakralisasi terhadap segenap sesuatu yang profan.

Dalam perspektif kritis, konsepsi desakralisasi Nurcholish Madjid, keyakinan terhadap Tauhid yakni keesaan Allah dengan elaborasi mendalam terkait penolakan atas penyekutuan terhadap Allah.

Penolakan itu direinterpretasi lebih mendalam sebagai penolakan atas setiap bentuk pemberlakuan segala hal yang sebenarnya bersifat duniawi (profan) menjadi sesuatu yang absolut, sacral, dan lepas dari kritik nalar.

Kedua, anti-idol dan pemberhalaan kongruen dengan prinsip kritik alienasi dari tradisi kiri Marxist, ketika segenap tenaga, pikiran, dan kreasi manusia diasingkan dari dirinya sendiri dan kemudian dipuja-puji yang dalam konteks formasi kapitalisme berbentuk komodoti fetish.

Dalam penggambaran dan visualisasi atas yang sifatnya sakral ke dalam sesuatu yang bisa diindra oleh penglihatan dan dapat disentuh, rentan membawa kita untuk menarik kualitas-kualitas utama dalam diri kita keluar dan kita proyeksikan pada benda-benda yang kita anggap sakral, lalu kita sembah.

Alienasi bekerja seperti parasit yang menyerap potensi kekuatan manusiawi kita keluar, hingga manusia terasing dari kerja budaya dan karya ciptanyabsendiri, dan mewujud pada benda-benda yang kita buat.

Baca Juga  Kritik Tajam atas Hipermoderatisme

Dalam konteks tatanan kapitalisme seperti buruh yang bekerja dan terasing dari produk yang mereka ciptakan, dan tidak hanya itu mereka tunduk terhadapnya, dan membutuhkan mediasi uang yang kerapkali tidak selalu bisa mereka dapatkan untuk mendekati komoditi yang mereka buat sebagai hasil kerja mereka sendiri.

***

Dalam bahasa agama, bukankah itu yang bisa kita ambil pelajaran dalam kisah Nabi Ibrahim menghancurkan berhala dan menyematkan kapak pada berhala yang paling besar?  

Melalui proses negative dialectic yang diusung oleh pendiri mazhab Frankfurt keyakinan agamis tidak ditelan bulat-bulat dan diterjemahkan secara kering dan dangkal.

Untuk masuk kedalam api progresifnya, mereka menelisik dengan menarik abstraksi filosofisnya untuk ditarik keluar dari batasan-batasan partikular dogma agama. Untuk dimaknai dalam makna sekuler baru, sebagai jalan untuk membangun kritik terhadap corak kekuasaan yang berperan sebagai berhala dalam kehidupan manusia.

Ada ilustrasi menarik terkait dengan gugatan anti idol ini, ketika Theodore Adorno wafat dan koleganya menanyakan kepada Max Horkheimer, mengapa tidak ada sama sekali simbol-simbol religius baik Kristen dan Yahudi dalam pusaranya.

Max Horkeimer menjawab dengan sebuah surat yang intinya: Justru pada pusara Teddy, kita bisa menyaksikan sumbangan utama teologi Abrahamik pada Frankfurt Critical School.

Apakah dengan demikian posisi saya mengugat pandangan dan keyakinan lain yang memvisualisasikan figur-figur sakralnya? Tidak, karena setiap keyakinan dan paham,  memiliki hikmah dan kebijaksanaanya sendiri untuk memaknai dunia dan terlibat aktif di dalamnya.

Seperti diutarakan oleh Profesor perbandingan agama Amerika Serikat berdarah Persia, Reza Aslan bahwa agama itu ibarat bahasa, masing-masing komunitas memiliki bahasa-bahasa religio-spiritualnya sendiri-sendiri untuk memaknai perjalanan mereka dan menebalkan iman dalam menghadapi kerasnya kehidupan.

Yang penting untuk diapresiasi bukanlah pada apakah suatu doktrin tersebut ketinggalan zaman atau melampaui zaman. Lebih maju diskusi kita ketika dengan dialog antar iman, kita bisa memahami dan mengapresiasi bagaimana berbagai pemaknaan agama dan bahasa-bahasa religiusitas yang mereka yakini, memberi makna terhadap persoalan-persoalan sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan di bumi manusia.

Editor: Yahya FR

Airlangga Pribadi
1 posts

About author
Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *