IBTimes.ID – Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) 2020-2024.
Alasan dan tujuan utama RAN PE adalah keamanan. Bagaimana negara dapat menjamin rasa aman bagi seluruh masyarakat dan menciptakan stabilitas nasional. Satu hal yang baru di dalam RAN PE adalah pelibatan dan peran aktif seluruh pemangku kepentingan. RAN PE merupakan program “semesta” yang melibatkan jajaran dan lembaga pemerintah tingkat pusat dan daerah serta berbagai elemen masyarakat.
Tumpang Tindih
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menyebut bahwa ektremisme dan terorisme merupakan masalah global. Tidak ada satupun negara yang mampu menjamin bebas dari ancaman ekstremisme dan terorisme. Demikian halnya dengan Indonesia. Beberapa riset menunjukkan bahwa ragam dan jumlah ekstremisme di nusantara cenderung meningkat.
Menurut Mu’ti, secara kuantitas, persentase ekstremisme dan terorisme relatif rendah. Mayoritas bangsa Indonesia terdiri atas kelompok moderat yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara dan negara kesatuan Republik Indonesia.
“Hubungan antar umat beragama juga terjalin dengan baik. Bahkan, riset Balitbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta, hubungan antar umat beragama lebih baik dibandingkan dengan hubungan intern umat beragama,” tulisnya di laman Repubika (23/1).
Mencermati realitas tersebut, banyak pihak mempertanyakan urgensi penerbitan Perpres nomor 7 tahun 2021 tentang RAN PE. Menurut pria kelahiran Kudus tersebut, terbitnya RAN PE terkesan reaktif. Selain itu, Perpres yang berlaku 2020-2024 seakan dimaksudkan untuk melindungi penguasa dan pejabat, bukan masyarakat dan rakyat.
“Apakah bisa dijamin bahwa setelah 2024 Indonesia akan terlindungi dari ancaman ekstremisme dan terorisme?” tanya Mu’ti.
Catatan lain yang dibuat Mu’ti terkait dengan RAN PE ini adalah pertanyaan yang terkait kemungkinan terjadinya tumpang tindih (overlap) antara Perpres 7/2021 dengan UU nomor 16/2017 tentang Ormas dan Undang-undang 5/2018 tentang Anti Terorisme.
Menurut Mu’ti dua undang-undang tersebut sudah cukup membuat ekstremisme dan terorisme “tidak berdaya”. Pemerintah dan BNPT memiliki kewenangan yang “extraordinary” untuk mencegah dan memberantas ekstremisme dan terorisme, termasuk membubarkan Ormas seperti HTI dan FPI.
“Selain itu, beberapa lembaga negara juga sudah menerbitkan aturan dan pedoman terkait dengan pencerahan ekstremisme. Pada tahun 2020, BNPT menerbitkan Panduan Pencegahan Radikalisme di Lingkungan BUMN dan Swasta. Kementerian Agama menerbitkan buku Moderasi Beragama dan menggiatkan pembinaan moderasi melalui berbagai forum pelatihan dan kebijakan bagi dosen dan mahasiswa. Karena itu perlu dipastikan agar Perpres nomor 7/2021 tidak tumpang tindih, apalagi bertentangan dengan regulasi yang telah berlaku.” tegas Mu’ti.
Membatasi Kebebasan
Selain itu, Mu’ti menyebut bahwa Perpres RAN PE memiliki potensi yang tinggi terhadap pembatasan kebebasan berkeyakinan. Di dalam pasal 1 ayat 2 Perpres 7/2021 disebutkan bahwa Ekstremisme Berbasis Kebebasan yang mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan mendukung atau melakukan aksi terorisme.
Dari sisi akademik dan pelaksanaan, definisi tersebut problematik. Kata “keyakinan” menurut Mu’ti adalah dimensi dalam dari perbuatan manusia. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak nampak. Sebagian sikap dan tindakan seseorang dilandasi oleh keyakinan. Tetapi tidak semua keyakinan diekspresikan dalam sikap dan perbuatan.
Pada sisi yang lain, sebagian sikap dan perbuatan tidak sejalan dengan keyakinan. Misalnya, dalam kaitan antara pandangan dan sikap moderat, ada empat kategori: (1) berpandangan moderat dan berperilaku moderat; (2) berpandangan moderat tetapi bersikap ekstrem; (3) berpandangan ekstrem tetapi berperilaku moderat; (4) berpandangan ekstrem dan berperilaku ekstrem. Dilihat dari pandangan keagamaan, FPI adalah kelompok ahlussunnah yang moderat, tetapi sikap dan gerakannya ekstrem. Jamaah Tabligh, pandangan keagamaanya cenderung ekstrem tetapi sikap dan perbuatannya moderat.
Al-Mutairi (2001) dalam bukunya Religious Extremism in The Lives of Contemporary Muslim membedakan variasi dan derajat ekstremitas dalam hubungannya dengan keyakinan dan ekspresinya.
Dalam konteks Islam, imbuh Mu’ti, ada lima kategori ekstremitas yaitu al-ghulu, al-tatharruf, al-unf, al-tanatha’, dan al-tasyaddud. Menurut al-Mutairi sebab seseorang menjadi ekstrem tidak tunggal. Memang sebagian ekstremisme berakar pada keyakinan yang terkait dengan akidah dan syariah. Ekstremisme bisa juga disebabkan oleh faktor psikologis sebagai akibat dari berbagai keadaan seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain sebagainya.
“Tekanan, kekhawatiran, dan pembatasan kepada umat Islam secara berlebihan bisa membuat seseorang bersikap ekstrem. Faktor lain yang secara psikologis melahirkan ekstremisme adalah kesenjangan kesejahteraan, konspirasi terhadap umat Islam dan pemihakan kepada sekularisme, serta tumbangnya khilafah,” tulis Mu’ti mengutip Al-Mutairi.
Membatasi ekstremisme yang mendorong Terorisme pada masalah “keyakinan” bisa menimbulkan masalah. Dalam pelaksanaannya, Perpres nomor 7/2021 memungkinkan terjadinya pembatasan kebebasan berkeyakinan yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi HAM. Pemberlakuan Perpres RAN PE hendaknya sangat berhati-hati agar negara tidak melanggar UUD dan HAM.
“Ekstremisme dan Terorisme tidak seharusnya diatasi dengan cara ekstrem dan pendekatan pre-emptive. Karena itu, pendekatan yang bersifat persuasif, humanis, dan edukatif disertai penegakan hukum dan peniadaan faktor eksternal non keyakinan seperti ketidak adilan sosial, hukum, dan politik tidak dapat diabaikan,” tutup Mu’ti.
Reporter: Yusuf