Perspektif

Hak Korban Bencana: Perspektif Konstitusional dan Fikih Kebencanaan

4 Mins read

Tahun 2021 belum genap berjalan satu bulan, tapi berbagai peristiwa bencana alam yang menghantam Indonesia telah meninggalkan banyak pilu. Mulai dari longsor di Sumedang, gempa di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, erupsi gunung Semeru dan Merapi, dan masih banyak rentetan bencana alam yang terjadi di negeri ini.

Belum lagi jika ditambah dengan tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182/PK-CLC dan bencana non-alam pandemi COVID-19 yang juga belum sepenuhnya teratasi. Rangkaian peristiwa ini pasti menyisakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Lantas bagaimana sebenarnya hak-hak bagi mereka–korban bencana alam, jika kita tengok dari kacamata konstitusional dan fikih kebencanaan?

Bencana di Indonesia

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 185 bencana terjadi di Indonesia sepanjang 1 sampai 21 Januari 2021. Jumlah tersebut terdiri atas banjir (127 kejadian), tanah longsor (30 kejadian), puting beliung (21 kejadian), gelombang pasang (5 kejadian), dan gempa bumi (2 kejadian).

Jumlah ini pun belum termasuk erupsi gunung yang juga masih terjadi di beberapa titik lokasi. Dari kejadian-kejadian tersebut, BNPB mencatat setidaknya mengakibatkan 166 korban meninggal dunia, 1.273 korban luka-luka, 11 korban hilang, dan ratusan ribu orang mengungsi. Dari data tersebut, kita tahu berapa banyak jiwa menjadi korban yang hak-hak nya pun harus dipenuhi dan tidak bisa diabaikan.

Sebenarnya, berbagai instrumen–baik internasional, nasional ataupun regional, sudah disiapkan untuk menghadapi bencana alam tersebut. Di tingkat internasional, PBB melalui lembaga dalam naungannya (baca: Inter-Agency Security Committee) telah mengeluarkan instrumen Protecting Persons Affected by Natural Disasters sebagai standar operasional urusan bencana alam dengan standar HAM internasional.

Di dalamnya mencakup aspek-aspek non-diskriminasi dan perlindungan HAM dalam penanganan korban bencana. Pun juga dengan sesuatu yang sangat penting, yakni adanya jaminan informasi bagi setiap penduduk. Jaminan tersebut baik informasi mitigasi, peringatan, bantuan, dan juga recovery.

Pandangan Konstitusional

Indonesia sendiri pun juga telah memiliki instrumen penting dalam urusan bencana alam yang secara yuridis tertuang dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Yang jika kita baca secara sekilas, undang-undang tersebut seakan telah mengakomodir jaminan hak atas korban bencana alam.

Baca Juga  GBHN Sudah Tidak Relevan dengan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Saat Ini

Tetapi jika kaji dengan lebih seksama, ternyata dalam undang-undang tersebut masih terdapat kerancuan. Secara tersirat disebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, dan lembaga-lembaga lain, adalah unsur penanggulangan bencana di samping pemerintah.

Hal ini bisa kita artikan bahwa pemerintah bukan satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengatasi bencana alam dengan konsekuensi pemerintah tidak bisa dimintai pertanggung jawaban jika terjadi kegagalan dalam upaya penanganan. Yang mana hal ini menyebabkan tidak tegaknya pemenuhan hak korban sebagai akibat dari lepasnya tanggung jawab negara tersebut.

Hilangnya kewajiban negara tersebut membuat jaminan hak yang diberikan negara dalam tahapan penanganan bencana seolah hanya menjadi pengakuan tentang HAM tanpa dapat dinikmati para korban bencana tersebut.

Dalam undang-undang tersebut memang diatur secara jelas prioritas penanganan, standar minimum bagi pengungsi, maupun langkah-langkah penanganan darurat bencana alam. Namun, jaminan ini tidak diimbangi dengan mekanisme yang mengatur agar negara berkewajiban melakukan hal yang telah diatur tersebut.

Ketidakjelasan paradigma kedudukan hak korban bencana alam tersebut mungkin disebabkan karena konstitusi tidak menyebutkannya secara tegas dalam batang tubuh. Padahal, pembukaan UUD 1945 dengan terang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan rakyatnya.

Hal ini sudah jelas termasuk perlindungan atas bencana alam, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Pandangan Fikih Kebencanaan dan Hak Korban Bencana Alam

Problema pemenuhan hak korban bencana alam ini juga pernah dibahas dalam fikih kebencanaan Muhammadiyah. Hal ini merupakan hasil Munas Tarjih Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta pada tahun 2015. Di dalamnya disebutkan bahwa syarat awal dan utama dalam penangan bencana alam adalah terpenuhinya hak-hak korban bencana sesuai standar kemartabatan mereka sebagai manusia, walaupun mereka terpaksa hidup dalam kondisi darurat.

Baca Juga  Benarkah Jilbab adalah Bentuk Penindasan?

Sejatinya, pemberian pertolongan dan pemenuhan hak korban bencana oleh pihak yang berlebihan bukanlah didasarkan atas dasar rasa kasihan, tetapi seharusnya atas dasar kewajiban mereka sebagai pihak yang harus membantu pihak yang mengalami kesusahan. Korban bencana alam perlu diberi jaminan untuk mendapatkan akses agar segera pulih dari kondisi ketergantungan akan bantuan dan segera membangun sistem sosial mereka kembali.

Dalam Al-Qur’an sendiri, terdapat banyak ayat yang menunjukkan bentuk khidmat kepada para penyandang masalah kesejahteraan. Di antaranya terkait pemberian perlindungan, pemerhatian masa depan, penghindaran perlakuan tidak adil, dan masih banyak lagi.

Salah satu ayat yang sudah tidak asing lagi bagi kita adalah surat al-Ma’un yang dijadikan sebagai dasar atas teologi sosial. Dalam prinsip ajaran Islam pun kita mengenal adanya semangat pemberdayaan sebagai jalan dakwah untuk menghidupkan.

Pemenuhan hak-hak masyarakat yang terdampak bencana alam haruslah dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam upaya penanganan darurat. Dalam pemenuhan hak korban bencana tersebut, diperlukanlah standar agar terjamin aspek-aspek keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas dan juga pemberdayaan.

Selain beberapa aspek tersebut, ada tiga hak utama bagi korban bencana yang harus dipenuhi, yaitu; pertama, hak hidup yang bermartabat; kedua, hak mendapat bantuan kemanusiaan; dan ketiga, hak atas perlindungan dan keamanan. Hal-hal ini bisa kita sarikan dari prinsip-prinsip yang ada dalam surat an-Nahl ayat 90.

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana

Di luar dari penanganan langsung pasca bencana, ada satu lagi hak korban bencana yang harus dipenuhi juga. Hal tersebut adalah hak rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Prinsip dari pemenuhan hak ini adalah menyegerakan keberfungsian sistem yang berjalan di masyarakat dengan tepat dan lebih baik daripada sebelum terjadi bencana.

Baca Juga  Mencari Makna dalam Bencana

Hal ini merupakan satu bagian dari upaya menghindari dampak yang lebih buruk dari kejadian bencana alam. Harus disadari bahwa proses pemenuhan hak rehabilitasi dan rekonstruksi ini merupakan fase kritis dalam mencegah adanya risiko baru dalam rangka membangun kembali dengan lebih baik.

Terlepas dari regulasi atau prinsip sosial yang mengatur terkait pemenuhan hak korban bencana alam. Kita harus sadar bahwa kita semua adalah satu saudara sebangsa, jadi sudah semestinya kita saling bahu membahu dalam membantu menangani dan memenuhi hak-hak korban bencana.

Semoga bencana yang menimpa Indonesia segera berlalu dan meninggalkan pelajaran baik yang bisa diterapkan kedepannya. Dan sebagai akhir, yang terpenting bukanlah apa penyebab terjadinya bencana tersebut, tapi bagaimana caranya kita mengembalikan kondisi lebih baik dari sebelumnya.

Editor: Zahra

Rifqy Naufan Alkatiri
7 posts

About author
Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan Kota Batu, sedang menempuh studi pada Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang.
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *