Wakaf sebagai salah satu instrumen ekonomi Islam yang sangat potensial dalam upaya pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain untuk media ibadah, wakaf juga memiliki dimensi sosial. Ia mampu memberikan maslahah yang cukup besar, apabila dikelola secara optimal dan produktif. Produktivitas wakaf pun dapat ditingkatkan lewat terobosan semacam wakaf produktif dan creative philanthropy.
Wakaf Produktif
Wakaf produktif merupakan gebrakan yang sesuai dengan prinsip agama (maqasid al shari’ah) dan tuntutan sosial kemanusiaan. Hal tersebut dimaksudkan mampu bersinergi dengan program-program pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai manivestasi dari cita-cita besar sebuah negara.
Dalam sejarahnya, gerakan wakaf produktif juga sudah dicontohkan oleh beberapa sahabat rasul dan para ulama pada zamanya. Misalnya Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab ketika menjadikan tanah di Khaibar sebagai lahan produktif yang digunakan untuk kepentingan umat Islam.
Sepanjang sejarah tersebut, wakaf berperan penting dalam pengembangan kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat, serta telah mampu memberikan sumbangsih yang cukup baik dalam upaya peningkatan fasilitas umum dan infrastruktur.
Penyelarasan wakaf sebagai upaya dalam mengelolanya secara produktif juga didukung oleh hukum positif seperti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang wakaf. Demikian pula Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI sebagai instrumen kesejahteraan untuk manusia yang berorientasi pada kepentingan dunia dan juga akhirat.
Produktivitas Wakaf di Indonesia
Umat Islam Indonesia telah mengenal wakaf sejak agama Islam masuk di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang besar dengan mayoritas penduduk beragama Islam animo masyarakat pun menjadi cukup menggembirakan, karena menunjukkan grafik naik dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Agama RI tahun 2017, Indonesia memiliki aset tanah wakaf seluas 47 643.03 Ha yang tersebar di 317 135 lokasi dengan total wakaf yang sudah bersertifikat sebanyak 64.91 persen. Penggunaan tanah wakaf tersebut sebagian besar masih berupa wakaf langsung (konsumtif).
Di kesempatan lain, Mustafa Edwin Nasution seperti dikutip Supriyanto Yudi (Tim Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Depag RI, 2005) pernah menghitung bahwa potensi wakaf tunai dalam setahun bisa terhimpun dana Rp 3 Trilyun bila dimobilisasi. Lebih lanjut Mustafa mengatakan bahwa dana Rp 3 Trilyun ini dapat menutupi 10% utang Indonesia kepada IMF tiap tahunnya.
Hitungan serupa pernah diungkapkan oleh Tulus dan Pengawas Badan Wakaf Kota Bekasi Siswadi. Asumsi Tulus dan Siswadi sangat sederhana, dari 160 juta muslim di Indonesia diasumsikan yang berkemampuan menjadi wakif 50 juta orang, dengan kemampuan setiap orang berwakaf sebesar Rp5.000 dalam 1 tahun maka akan terkumpul 2,5 Trilyun (Farid Wadjdy, 2007).
Angka-angka produktivitas wakaf di atas bukankah sangat fantastis? Bayangkan jika nominal tersebut diinvestasikan ke dalam sektor riil dan membantu usaha kecil menengah (UKM), berapa sektor rill yang dapat menjalankan? Berapa UKM yang bisa hidup dari hasil wakaf? Bahkan dana pemberdayaan ekonomi umat, pendidikan, dan kesehatan juga akan terdongkrak.
Sejak dilegalkannya program wakaf uang sejak tahun 2004 yang lalu melalui Undang-Undang No. 41 mengenai wakaf dan fatwa MUI terkait wakaf uang, maka beragam program wakaf produktif pun berkembang dengan sangat pesat. berbagai macam program yang nantiny ditawarkan ke berbagai macam donatur dari kalangan masyarakat kelas atas ataupun lembaga-lembaga besar yang mempunyai Unit Pelayanan Zakat (UPZ).
Creative Philanthropy
Bahwa di antara dasar utama untuk mecapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan adalah adanya tingkat tabungan, investasi, kerja keras dan kesungguhan. Wakaf memiliki potensi yang dapat digunakan untuk investasi seperti difatwakan Muhammad Ibnu Abdulah Al-Anshari bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat berjalan dengan baik dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi model investasi (Chapra, 2001).
Bahwa persoalan yang terjadi adalah persoalan kemiskinan dalam masyarakat, baik dipedesaan maupun perkotaan. Hal ini menjadi sebuah kerangka acuan dalam pola tujuan sebuah gerakan filantropi.
Relevansi gerakan filantropi Islam (praktik kedermawanan yang di inspirasi oleh prinsip keagamaan dalam Islam) di perkotaan setidaknya dapat pula dilihat dan dikaitkan dengan upaya advokasi dalam optimalisasi pemberdayaan dengan potensi material maupun modal social dalam menghadipi sebuah perubahan social.
Dalam hal ini, maka filantropi ibarat arsitek dalam mengembangkan bangunan dalam menghadapi tantangan di sekitarnya, merancang sebuah solusi yang fungsional dan menggunakan sumberdaya (resource) yang terbatas dengan dengan hasil (outcome) yang maksimum (Steve Gunderson, 2006).
Menyambung hal tersebut Helmut K. Anheier dan Diana Leat, sebagai upaya mempangun sebuah system perubahan social yang efektif dan memulai aktivisme filantropi di era saat ini, maka perlu dikembangkanya apa yang disebut creative philanthropy (Hilman Latief, 2017)
Maka menjadi sangat mungkin jika wakaf dapat dikelola secara produktif dan menggunakan pendekatan pendekatan creative philanthropy akan mampu mewujudkan sebuah cita–cita akan pembangunan negara dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas kesejahteraan yang jauh lebih baik.
Editor: Nabhan