Beberapa tahun lalu, tepatnya di ruang rapat besar lantai 6 Gedung Widya Graha LIPI, saya menjadi moderator dengan tema, “Di Balik Dunia Kepenulisan Joko Pinurbo (Jokpin).” Penanggapnya adalah Nanto Sriyanto, peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI. Jokpin kebetulan saat itu bisa hadir yang langsung diundang Jaleswari Pramodhawardani, peneliti senior PMB LIPI yang saat ini bekerja di Kantor Sekretariat Kepresidenan (KSP).
Saya memulai dengan pertanyaan langsung kepadanya, juga publik, “apakah menjadi penulis, apalagi yang memfokuskan kepada puisi, bisa menghidupi?” Pertanyaan ini saya ajukan karena tahu bahwa Jokpin pernah bekerja sebagai distributor pemasaran penerbit buku terbesar di Indonesia cabang Yogyakarta. Ini karena, menghidupi diri sebagai penyair dengan buku-bukunya tidaklah cukup.
Meskipun popularitasnya sebagai penyair sudah menjulang, buku-bukunya laris manis dan sejumlah puisinya menjadi sangat quotable di tengah keranjingan pengguna media sosial, ia mengakui bahwasanya dunia sastra itu tidak bisa menopang kehidupan dan juga keluarganya. Namun, setelah lebih dari 20 tahun berkarya, ia mulai merasakan hasilnya di mana pekerjaannya sebagai penyair bisa menopang kehidupannya secara ekonomi.
Sulitnya Kehidupan Penulis
Ya, menggantungkan hidup menjadi penulis, apapun genre bidang yang ditekuni, tidaklah mudah. Popularitas yang didapatkan tidak seiring dengan raihan ekonomi yang didapatkan. Meskipun harus diakui, ada penulis yang benar-benar bisa menggantungkan hidup dari dunia tersebut. Bahkan membuatnya banting setir dari pekerjaan yang ditekuni sebelumnya bertahun-tahun.
Andrea Hirata melalui tetralogi Laskar Pelangi, misalnya, membuatnya berhenti bekerja dari karyawan BUMN, yaitu PT. Pos Indonesia. Selain karena idealisme kepenulisannya mulai tumbuh, karya-karya yang ditulisnya tentu saja bisa menghidupi dirinya. Apalagi saat karya-karya tersebut kemudian diadaptasi ke dalam film dan mengundang penonton Indonesia begitu banyak.
Hal yang sama juga terjadi dengan Dewi Lestari, mantan penyanyi, yang menekuni dunia kepenulisan setelah novel perdananya laris manis, Supernova dan Bintang Jatuh. Jauh sebelumnya, Pramudya Ananta Toer sangat mempercayai mengenai tugas-tugas kepenulisan, yang membuatnya menggantungkan hidup dari karya-karyanya.
Namun, berapa banyak orang bisa benar-benar hidup dari kepenulisan di tengah iklim literasi Indonesia masih belum mendukung secara penuh? Saya sebut demikian, karena perbukuan Indonesia dihadapkan juga dengan tingkat kekuatan daya membaca Indonesia yang masih belum signifikan. Ditambah pembajakan buku yang justru memiskikan para penerbit sekaligus penulis.
Kecilnya Royalti
Puthut EA (2020), sastrawaran dan esais yang bermukim di Yogyakarta dan mengalami proses karir 20 tahun dalam dunia kepenulisan mengakui bahwasanya menjadi penulis dengan royalti yang didapatkan seringkali tidak cukup untuk menopang hidup. Kondisi ini yang membuatnya selalu menolak untuk mengisi kelas atau pertemuan mengenai motivasi menjadi penulis. Hal ini diungkapkan oleh Puthut dalam status facebook-nya pada 22 Januari 2020 dengan unggahan waktu 18.14.
Rentang 20 tahun lebih itu artinya, saya bisa menjadi saksi dalam durasi panjang, betapa ‘berbahaya’-nya iming-iming menjadi penulis. Saya kasih contoh mudah. Hampir semua penerbit memberi royalti 10% dari harga jual per eksemplar terjual. Kalau ada buku dijual 50.000 rupiah, itu artinya setiap eksemplar si penulis mendapat 5.000 rupiah. Kalau buku itu terjual 1000 eks, penulis ‘hanya’ dapat 5 jt rupiah.
Saya tahu persis, tak banyak penulis bisa menembus penjualan 3000 eksemplar. Kalau dalam setahun dia hanya menerbitkan dua buku dengan oplah 3000 eksemplar, berapa uang yang dia terima setahun? Kecil sekali, bukan? Padahal banyak sekali penulis yang menerbitkan buku sekali setahun, itu pun tak laku dijual 1000 eks. Terbayang berapa royalti yang dia terima?
Dengan kerentanan ekonomi tersebut, mengapa workshop-workshop kepenulisan itu tetap digelar? Ironisnya, workshop kepenulisan itu dihadiri oleh cukup banyak orang. Padahal, uang yang dikeluarkan untuk membiaya workshop kepenulisan itu juga tidak sedikit, mulai dari paling kecil dengan harga Rp. 200 ribu-Rp. 5 juta.
Tiga Jawaban
Setidaknya, ada tiga kemungkinan jawaban untuk menjelaskan. Pertama, mitos-mitos dunia kepenulisan. Harus diakui menjadi penulis itu keren, pintar, dan menginspirasi adalah tiga kata yang seringkali muncul saat kita bertemu dengan penulis terkenal. Kondisi diperkuat dengan selebrasi peluncuran buku, tanda tangan, dan juga acara meet and greet, menghubungkan antara penulis dengan para pembacanya secara langsung.
Kedua, keliaraan imajinasi dan pemberontakan. Harus diakui, aktivitas kepenulisan memungkinkan setiap penulis untuk menuangkan gagasan yang itu rasanya tidak mungkin diungkapkan dalam ucapan di ruang publik terkait dengan adanya norma-norma dalam agama dan budaya. Menulis kemudian menjadi cara untuk membebaskan imajinasi menjadi liar dalam kungkungan norma publik tersebut sekaligus bentuk pemberontakan atas regulasi yang dianggap mengekang. Spirit-spirit semacam ini memiliki pertautan yang kuat dengan pembaca yang membuat mereka memiliki representasi suara dengan penulis.
Ketiga, efek ikutan dari dunia kepenulisan. Royalti buku dari hasil menerbitkan buku memang kecil sebagaimana dijelaskan oleh Puthut EA sebelumnya. Namun, efek ikutan yang dihasilkan ini bisa menjadi besar, tidak hanya dalam materi melainkan juga non-materi. Dengan menulis buku setidaknya memudahkan seorang penulis untuk mendekati seseorang yang disukainya.
Cara ini tidak hanya lazim, melainkan juga menjadi semacam keistimewaan bagi orang-orang yang sudah menuliskan buku. Dengan memiliki karya memungkinkan penulis bisa diundang, baik institusi pemerintah di sejumlah kementerian ataupun BUMN. Ia diundang karena kapasitas keilmuannya yang tertuang sebelumnya dalam buku yang ditulisnya sehingga dianggap representatif atas bidang kepakarannya. Harapannya, tentu saja, ia dihadirkan agar bisa menjawab persoalan. Jikalaupun tidak, kehadirannya bisa dijadikan kegiatan sebagai bagian dari penyerapan anggaran.
Di sisi lain, efek ikutan dari dunia kepenulisan ini adalah membuat workshop-workshop kepenulisan sebagai tempat cari uang dengan mengandalkan buku-buku seorang penulis yang sudah diterbitkan sebagai bagian dari legitimasi kepenulisannya.
Tujuan Mulia
Dari ketiga penjelasan tersebut, sebenarnya meneguhkan satu hal, menjadi penulis itu sebenarnya tujuan yang mulia dengan kemampuan yang dimilikinya untuk memikat para pembaca dengan narasi dan kecanggihan teknik bercerita dan isi yang tertuang dalam karya. Melalui karya memungkinkan juga untuk memiliki dampak ikutan yang tidak bisa diduga oleh seorang penulisnya atas kehidupan di depan yang akan ia jalani ke depan.
Namun, bukan berarti dunia kepenulisan bisa menjadi ladang utama penghidupan dan tumpuan dalam kehidupan sehari-hari di tengah mendesaknya kebutuhan pokok yang terus naik. Dengan demikian, dunia kepenulisan hanyalah menjadi pengganjal perut dan merupakan bentuk pelarian dari pekerjaan utama kita yang sesungguhnya.
Caranya mengetahui itu, ya dengan melihat hasil penjualan dari buku kita yang terbit saja. Jika royalti kepenulisan tidak bisa membikin kita untuk nongkrong setiap hari di warung kopi itu tidak bisa dijadikan sandaran. Tidak lebih.
Editor: Nabhan