Perspektif

Proyek Umar bin Khattab dan Sedekah Penunjuk Jalan

3 Mins read

Jumat (15/05) sebuah pesan masuk ke WhatsApp saya. Nama yang tidak asing, sahabat saya Arief Rosyid mengirim pesan yang ambigu, “Assalamualaikum, Bro, bantu bagi-bagi sembako untuk panti-panti asuhan.” Tulisnya. Tentu saya tak bisa menolak. Saya hanya bisa menjawab pendek, “Siap!”. Saya belum tahu apa yang akan terjadi.

Namun, bagi saya, tak ada kata tidak untuk menyediakan diri berbagi. Harus siap kapanpun saja kesempatan itu datang. Tak semua orang punya kesempatan untuk memberi, bukan? Maka saya pun bertanya, “Kita mulai dari mana?”

“Bro bisa bantu sediakan data-data panti asuhan di Tangsel yang bisa kita beri bantuan?” Tanya Arief.

Mudah. Pikir saya. Selama ini ada sejumlah panti asuhan tempat saya dan sejumlah teman berbagi. Lima sampai sepuluh panti pun siap, batin saya, semua pengasuh dan pengurusnya bisa langsung saya hubungi kapan saja. Tetapi, tetap saja saya harus bertanya berapa jumlahnya, untuk memastikan, “Berapa panti?” Tanya saya.

“50 sampai 100.” Jawabnya.

Deg! Saya terdiam. Ini bukan perkara kecil, ternyata. Saya bukan dinas sosial yang memegang data-data panti asuhan se-Tangerang Selatan. Pikiran saya langsung bekerja mencari caranya. Di kepala saya terbayang sejumlah nama orang-orang baik yang bisa mewujudkan ini. Tapi, “Butuhnya kapan?” Tanya saya lagi.

“Hari ini bisa, Bro? Biar malam kita tuntaskan. Besok sudah mulai bisa bergerak.” Katanya.

Saya pun geleng-geleng kepala. Tetapi tak ada kata tidak untuk kesempatan sebaik ini. Saya pun mengonfirmasi, “Oke, Bro, kita langsung gerak!”

Setelah itu, segalanya seolah terjadi begitu cepat. Saya mengontak Edy Fajar, Hilmi Fabeta, Faisal Alfansury, Dinnur Garista, Dhani Kurnia, teman-teman saya yang mengelola simpul-simpul jejaring di kota ini. Saya datang kepada mereka dengan satu pesan, “Kira-kira, bisa dapat berapa data panti asuhan hari ini? Ada proyek Umar bin Khattab!” Ujar saya, sambil setengah bercanda.

Baca Juga  Corona Virus: The Common Enemy of Reshaping Humanity
***

Dan ketika saya katakan bahwa saya perlu setidaknya 100 panti asuhan, awalnya mereka gelagapan. Tapi mereka menyanggupi juga. “Gas lah!” Kata Alfan. “Siap terus!” Jawab Hilmi. Dan, “Kang Fahd kapan butuhnya?” tanya Edy. Ketika saya jawab butuh data malam ini juga, mereka tancap gas.

Malam itu juga, semua data terkumpul. Tanpa basa-basi saya kirimkan ke teman-teman di Jakarta. Tetapi ternyata kerja belum selesai. Malam itu juga kami perlu memilah data-data itu menjadi per kelurahan atau per kecamatan, mengatur rute yang bisa dilalui, lalu memastikan semua PIC bisa dikontak untuk menunjukkan jalan. Semalaman kami bagadang.

“Kapan ini mau realisasi?” Tanya saya ketika sahur. Berfikir mungkin ada jeda dua atau tiga hari untuk memproses semuanya.

“Nanti jam 08.00 pagi kawan-kawan sudah loading bantuannya ke truk-truk. Setelah itu kita jalan sesuai alamat. Insya Allah sesuai data yang ada kita berangkatkan 7 truk, Bro.” Kata Arief.

Saya hanya bisa tersenyum. Betapa mudah bagi Allah menggerakkan semua ini, betapa sepele perkara membagi rezeki kepada anak-anak yatim kekasih Nabi. Saya pun pindah ke ruangan sebelah, bertanya apakah teman-teman siap menjadi relawan yang menunjukkan jalan. Pagi itu juga, hari itu juga.

Saya tahu mereka belum tidur semalaman. Tetapi jawabannya serentak: Gas!

“Memang berapa banyak sih bantuannya per panti? Dihitung per kepala atau gimana?” Tanya Alfan.

Ketika saya memberitahu mereka, “Masing-masing panti 150 kg beras, 600 kotak susu, dan e-money Rp3 juta.” Teman-teman saya ini pun hanya bisa melongo. Mungkin seperti saya yang bertanya-tanya: Dari mana bantuan sebanyak itu bisa direalisasikan dalam waktu cuma sehari-dua?

Allah itu Maha Kaya. Sementara anak-anak yatim adalah kekasih Nabi yang tak lain adalah kekasihNya. Maka bila Dia berkehendak, hanya ‘Kun’ yang akan meledak di waktu yang senyap. Menjadi ‘Fayakun’ yang menggerakkan kami untuk mendistribusikan semua ini.

Baca Juga  Ulama-Ulama Sufi yang Dikritik Ibnu Taimiyah
***

Pagi itu, sekitar 7 truk TNI AU dari gudang Yayasan BUMN Untuk Indonesia bergerak menuju Tangerang Selatan. Kami menunggu di lokasi pertama, Panti Asuhan Yayasan Al-Kahfi, Cireundeu. Semua berlangsung cepat, tanpa basa-basi, saya dan kawan-kawan mewakili penyerahannya. Lalu pamit pulang.

Pengurus panti hanya bisa melongo sambil terus menerus mengucapkan terima kasih. Tentu kami hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, bukan dari kami, sebab kami pun sebenarnya masih bingung dengan kerja semesta ini.

Hari itu, kami mendatangi sekitar 80 panti asuhan. Total sekitar 12 ton beras yang kami distribusikan, 48.000 kotak susu, dan e-money sekitar Rp250 juta. Bagaimana ceritanya bantuan sebanyak itu bisa didistribusikan dalam waktu hanya sehari? Silakan baca lagi tulisan saya ini sejak kalimat pertama. Hanya Allah yang bisa menggerakkan semua ini.

Katakanlah memang bantuan ini dari Yayasan BUMN untuk Indonesia atau Menteri Erick Thohir yang punya program penanggulangan dampak COVID-19 untuk 1000 panti asuhan di seluruh Jabodetabek. Tetapi hakikatnya, tanpa Allah menggerakkan semua sistem yang mendukungnya, semua ini tak akan terlaksana.

Jika Arief Rosyid tidak bergerak, bagaimana saya bisa tahu? Jika saya tak mengenal Hilmi, Edy, Alfan, Dhani dan kawan-kawan lainnya, bagaimana semua ini bisa berlaku? Tanpa orang-orang yang menyedekahkan waktu mereka untuk membeli kuota, Googling alamat-alamat panti, berkomunikasi lewat telepon atau WA, mengisi bensin motor, menunjukkan jalan, bahkan harus berteduh karena kehujanan, juga anggota TNI yang memanggul berkarung-karung beras, bagaimana ceritanya ribuan bantuan ini akan terdistribusi?

Bahkan tanpa anak-anak yatim yang berdoa, mustahil berkarung-karung beras dan ribuan kotak susu itu datang ke depan pintu panti tempat tinggal mereka, bukan?

Baca Juga  Pemuda Negarawan: Mitos atau Realitas?
***

Saya jadi ingat kisah masyhur Umar bin Khattab yang memanggul beras dan mendatangi sebuah keluarga yang memasak batu karena kelaparan. Boleh jadi bantuan itu memang dari Umar, Sang Amirul Mukminin, dan dikerjakan di malam yang senyap. Tetapi tanpa orang yang memberi tahu Umar di mana rumah keluarga miskin itu, tanpa mereka yang menunjukkan jalan, bagaimana Umar bisa sampai ke rumah itu?

Saya percaya dalam kerja kolaborasi kebaikan semacam ini tidak ada pihak yang lebih berharga. Bukan hanya Yayasan BUMN Untuk Indonesia, bukan sekadar para pejabat yang terlibat di dalamnya, bukan cuma TNI AU. Semuanya penting: Bahkan seorang ibu tua penjaga warung yang menunjukkan arah di mana lokasi panti.

Tabik!

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds