Dulu, ada joke yang suka dilempar dosen psikologi yang membuat mahasiswa profesi tertawa-tawa. “Dari semua profesi psikolog, maka psikolog klinis adalah profesi yang paling cepat masuk surga. Kenapa? Karena kuliahnya susah, menangani kasusnya sulit, tapi dibayarnya dikit. Psikolog Klinis itu nabung amal, bukan nabung duit.”
Kami calon psikolog klinis tersenyum bangga karena merasa sudah memilih psikologi klinis sebagai jalan pengabdian nan mulia. “Yang paling belakangan masuk surga adalah psikolog industri. Kuliah paling gampang tapi bayaran paling banyak!”
Anak-anak psikologi industri tertawa-tawa. Sekelompok mahasiswa psikologi industri adalah mahasiswa yang masa depannya cerah. Dari masuk kuliah saja banyak uang. Masa depan sudah terbayang di depan mata.
***
Setelah benar-benar menjadi psikolog klinis, aku baru menyadari bahwa joke tentang psikolog klinis dan surga yang suka dilemparkan oleh dosen itu tak sekadar joke. Itu memang kenyataan yang berusaha untuk ditertawakan. Menjadi psikolog klinis tak secerah menjadi psikolog industri. Tentu lain bayarannya jika anda memberi jasa pada perusahaan dengan anda memberi layanan kepada masyarakat.
Di luar persoalan finansial, karakter persoalan yang dihadapi pun berlainan. Dulu, seorang dosen psikolog industri pernah dengan jumawa berkata di depan kelas. “Kalau kalian menjadi psikolog industri, kalian akan bertemu dengan orang yang berprestasi setinggi-tingginya. Tapi kalau kalian menjadi psikolog klinis, yang kalian temui adalah orang yang sedang berada di titik yang serendah-rendahnya.”
Iya, memang benar. psikolog klinis lebih banyak bertemu dengan orang-orang yang sedang terpuruk. Tak hanya terpuruk, tapi juga merasa terjebak di lubang gelap. Berhadapan dengan orang-orang yang berpikiran negatif itu sangat melelahkan. Mendampingi mereka untuk tetap mau menjalani hidup itu menuntut kuatnya daya tahan.
Kebanyakan mereka harus didampingi dalam waktu yang tak sebentar. Psikolog klinis harus memastikan dirinya tahan, kuat, dan punya semangat. Jika tidak, klien pun merasa tak punya inspirasi untuk bangkit. Idealnya begitu. Tapi di dunia ini banyak hal yang tak ideal, bukan?
Ada beberapa psikolog klinis yang tak bertahan dengan profesinya. Seorang senior Psikolog Klinis lulusan UI pernah bercerita bahwa di angkatannya hanya tiga orang yang benar-benar bekerja sebagai psikolog klinis. Sisanya murtad bekerja di bidang industri.
***
Baru-baru, ini aku pun bertemu dengan seorang psikolog industri yang bekerja di tempat yang sama dengan kenalanku seorang psikolog klinis. “X itu sekarang udah jarang praktik klinis, kok! Dia lebih banyak ngasih training di berbagai industri. Dia bilang capek banget praktik klinis. Menghadapi klien gangguan klinis itu sulit, dan seringkali prosesnya lambat. Enak ngasih training aja, bayarannya juga gede.”
Aku sepenuhnya paham dengan pilihan teman itu. Kalau pilihannya pendapatan besar dengan proses yang tidak terlalu sulit, ngapain bertahan dengan profesi yang bayarannya kecil. Sudah prosesnya lambat, penuh risiko emosi lagi! Nggak munafik aku juga pernah terasa ingin menyeberang ke bidang industri yang lebih menjanjikan secara finansial.
Namun, aku ingat kembali niat awalku menjadi psikolog klinis. Kenapa sih memilih menjadi psikolog klinis? Jawabannya sesederhana ingin menambah jumlah psikolog klinis di Indonesia.
Di tahun 2011, jumlah psikolog klinis di seluruh Indonesia hanya berkisar 400-an orang. Dan menurut data mutakhir IPK, jumlah psikolog klinis saat ini berjumlah 1600-an orang. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa. Dan dari jumlah yang sedikit itu, tak semua pula yang bertahan dengan profesinya.
Ini menjadi alasan utama mengapa diriku harus bertahan dengan profesi psikolog klinis, sesusah apa pun prosesnya dan sesedikit apa pun pendapatannya.
Kalau kupikir-pikir lagi, kepuasan menjadi psikolog klinis itu bukan pada bayarannya, tapi pada perubahan yang ditunjukkan oleh klien. Saat klien yang kamu tangani sedikit demi sedikit mampu mengatasi hambatannya dan membuat kemajuan dalam hidupnya, saat itulah besaran pendapatan dan sulitnya kasus yang dihadapi tak terlalu menjadi persoalan.
Jika pendapatannya sedikit, lalu apa yang didapat dengan menjadi psikolog klinis? Pengalaman mengalami spektrum emosi yang luas, hubungan baik dengan klien, dan perasaan berharga bahwa diriku ini berguna. Sungguh!
Editor: Nabhan