Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin nyata: komunitas Muslim berkembang melalui saluran non-tradisional seperti internet, media sosial, dan platform digital lainnya. Hal ini menciptakan fenomena baru di mana pemahaman agama tidak lagi bersumber dari masjid atau pesantren, melainkan dari berbagai sumber yang tidak selalu memiliki kualitas dan otoritas yang sama. Di sinilah psikologi mencoba memahami gejala sosial ini.
Psikologi, sebagai studi perilaku dan proses mental, menawarkan lensa yang tajam untuk menganalisis fenomena ini. Masyarakat kita kini lebih cenderung mengandalkan informasi yang cepat dan mudah diakses, sehingga banyak yang terbentuk dari pengetahuan yang dangkal. Dalam konteks ini, kesadaran tentang perubahan menjadi krusial. Ulama dan tokoh agama, yang sebelumnya diakui sebagai sumber kearifan, kini berhadapan dengan sosok-sosok baru yang lebih populer di media sosial, yang sering kali tidak memiliki latar belakang keilmuan yang memadai. Dalam istilah psikologi sosial, kita menyebutnya sebagai “efek bandwagon” di mana orang cenderung mengikuti tren tanpa melakukan penelitian atau pemahaman yang mendalam.
Kesadaran Kolektif Pada Buku Muslim Tanpa Masjid
Kesadaran kolektif adalah aspek lain yang dapat dianalisis melalui pendekatan psikologis. Dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh berbagai aliran dan ormas, penting bagi umat Islam untuk memahami identitas bersama sebagai bagian dari satu ummat. Namun, sering kali yang terjadi adalah polarisasi—di mana perbedaan pandangan lebih ditekankan dibandingkan persamaan. Ini menciptakan perasaan eksklusi, di mana masing-masing kelompok merasa lebih superior dibanding yang lain.
Dalam konteks ini, psikologi sosial juga menjelaskan fenomena “bias dalam kelompok (ingroup bias)”, di mana individu lebih cenderung memberi preferensi kepada anggota kelompoknya sendiri. Ketika pemahaman tentang Islam terpecah menjadi berbagai pandangan, hal ini mengarah pada konflik yang tidak perlu di antara sesama Muslim, mengabaikan esensi dari ajaran Islam yang seharusnya mempromosikan perdamaian dan kerukunan.
Fakta Sosial dan Perjuangan Sosial
Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid, menekankan pentingnya kesadaran terhadap fakta sosial, di mana kita tidak hanya fokus pada ritual dan simbol, tetapi juga pada kondisi nyata masyarakat. Dalam konteks psikologi, ini mengajak kita untuk merenungkan tentang “social responsibility” atau tanggung jawab sosial. Mengapa kita lebih banyak berdebat tentang perbedaan pandangan ketimbang membantu mereka yang membutuhkan? Ini adalah pertanyaan mendasar yang sering kali terabaikan dalam diskursus keagamaan kita.
Masyarakat yang terjebak dalam paradigma kapitalis sering kali melupakan tanggung jawab terhadap sesama. Sehingga sering kali individu merasa terasing dari tanggung jawab moral mereka ketika mereka melihat orang lain sebagai “yang lain”. Jika kita sebagai umat Islam tidak menyuarakan kepedulian kita terhadap fakir miskin dan mereka yang tertindas, bagaimana mungkin kita bisa mengklaim diri kita sebagai pengikut ajaran Nabi yang sejati?
Sejarah dan Evolusi Islam
Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid juga menggarisbawahi pentingnya memahami sejarah Islam secara menyeluruh. Banyak orang, khususnya generasi muda, terpengaruh oleh narasi yang sangat sederhana tentang Islam tanpa memahami kompleksitas sejarahnya. Dalam psikologi, kita menyebutnya “historical bias”, di mana seseorang mengabaikan konteks sejarah dalam memahami situasi saat ini.
Kesadaran tentang sejarah membantu kita memahami bahwa Islam bukan hanya serangkaian aturan dan ritual, tetapi juga merupakan gerakan sosial yang dinamis. Pemahaman ini dapat membantu kita melepaskan diri dari ketakutan akan perbedaan dan merangkul keragaman yang ada dalam komunitas Muslim. Ketika kita menyadari bahwa berbagai aliran dalam Islam memiliki latar belakang sejarah yang berbeda, kita dapat mengurangi ketegangan dan membangun dialog yang konstruktif.
Humanisasi dan Transformasi Sosial
Kuntowijoyo memperkenalkan gagasan Ilmu Sosial Profetik yang berfokus pada humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dalam konteks psikologi, ini sejalan dengan prinsip-prinsip humanistik yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Misi kita sebagai umat Islam adalah untuk memanusiakan manusia, menghilangkan ketidakadilan, dan mendorong transformasi sosial.
Psikologi positif menekankan pentingnya membangun komunitas yang sehat dan saling mendukung. Dalam hal ini, kita harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan di mana semua orang merasa dihargai dan memiliki kesempatan untuk berkembang. Kita harus berusaha untuk tidak hanya menjadi individu yang baik, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar dalam masyarakat.
Membangun Kesadaran Baru
Akhirnya, Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid, menantang kita untuk menyadari pentingnya konstruksi pemahaman yang lebih inklusif terhadap Islam. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung ini, pemahaman yang sempit tentang agama hanya akan mengarah pada perpecahan. Sebaliknya, pendekatan psikologis yang inklusif dapat membantu kita membangun jembatan antar kelompok dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.
Mari kita ambil pelajaran dari buku Muslim Tanpa Masjid khususnya Kuntowijoyo dan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologis dalam kehidupan sehari-hari, demi menciptakan lingkungan yang saling menghormati dan memahami satu sama lain. Sebab, pada akhirnya, tujuan dari setiap ajaran adalah untuk membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia.
Editor: Assalimi