Keringanan dalam Puasa
Ada lima ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan puasa, yaitu ayat 183, 184,185, 186, dan 187 dalam surat Al-Baqarah. Pada ayat 183, Allah memerintahkan orang beriman untuk berpuasa agar menjadi orang beriman.
Pada ayat 184, Allah menjelaskan bahwa berpuasa itu lebih baik dan puasa bisa diganti dengan membayar fidiyah. Ayat 185 Allah menceritakan kelebihan bulan Ramadhan. Ayat 186 menyatakan bahwa Dia akan mengabulkan doa setiap hamba yang mau berdoa asal orang itu beriman, dan mau menjalankan syariatnya, dan ayat 187 Allah menyampaikan beberapa keringan dalam hal berpuasa.
Tujuan utama berpuasa adalah menjadi insanut taqwa (manusia bertaqwa) (Qs.Al-Baqarah: 183). Insan yang bertaqwa adalah manusia yang menjalankan syariat agamanya dengan benar dan baik. Benar adalah menurut/sesuai dengan tuntutan Allah dan tuntuanan Rasulullah. Sedangkan baik adalah menjalankan syariat agama dengan hati yang ikhlas karena Allah.
Taqwa adalah seseorang yang taat kepada Allah SWT dan mau meninggalkan maksiat karena mencari rida-Nya. Setiap muslim belum bisa dikatakan sebagai orang yang bertakwa jika belum menjalankan kewajiban dan menunaikan ibadah sunah seperti yang dicontohkan Rasulullah.
Ada empat prinsip Allah menurunkan Al-Islam yaitu: basyiran (gembirakan), wa laa nadziran (jangan ditakut-takuti), yasiran (mudahkan), wa laa tu’assir (jangan dipersulit). Dan Allah benar-bemar menerapkan prinsip itu dalam setiap syariatnya, misalnya dalam hal perintah berpuasa.
Beberapa keringanan berpuasa Ramadhan yang diberikan Allah dan Rasulnya adalah;
Bercampur dengan Istri (Rafats)
Allah memberikan izin kepada orang berpuasa bercampur dengan istri pada malam hari bulan Ramadhan. Pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai salat Isya saja.
Bila ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Ini dirasakan sangat berat. Maka, Islam yang dibawakan oleh Rasulullah memberikan keringan, bahwa pada malam bulan Ramadhan, Allah membebaskan semua itu sampai waktu fajar sidiq (subuh).
Rafats berarti bersetubuh. Itulah puncak suami-istri. Ketika itulah kedua insan itu saling memakai, saling berselimut akan eksistensi dirinya masing-masing. (mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka). Rafats pada malam Ramadhan dihalalkan karena Allah tahu bahwa itu kebutuhan naluriah. Manusia akan tenang jika kebutuhan itu bisa tetap terpenuhi, manusia bisa lebih khusuk beribadah dan mengurangi perbuatan dosa. (Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian.)
Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi Saw. dan berkata, “Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat.”
Nabi Saw. bertanya, “Apakah yang telah kamu lakukan?” Umar menjawab, “Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa.”
Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, “Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu.” Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian (Al-Baqarah: 187).
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian (Al-Baqarah: 187).
Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (subuh). Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam (Al-Baqarah: 187).
Maka, hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.
Bebas Makan Minum
Allah memberi kebebasan makan minum bagi orang berpuasa sampai waktu subuh. Hadis Mu’az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan sahabat Rasulullah Saw bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama.
Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya, ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan menanyakan, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Si istri menjawab, “Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu.”
Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, “Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur.” Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Saw.
Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa, —sampai dengan firman-Nya— dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (Al-Baqarah: 187). Maka, mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.
Betapa berat mereka melaksanakan puasa, sampai jatuh bangun, dan pingsan. Mereka hanya boleh berbuka hanya sampai usai shalat Isak. Jika mereka tertidur maka kesempatan berbuka itu hilang, dan berbukanya (berupa makan, minum, dan rafats tertunda besok malam pada jam yang sama).
Maka, Allah menurunkan ayat aya 187 Qs. Al-Baqarah ini. Allah memberi kebebasan kepada kaum muslimin untuk berbuka sampai waktu fajar sidiq (subuh) meskipun mereka sudah terbangun dari tidurnya.
I’tikaf di Masjid Ketika Puasa
I’tikaf adalah aktivitas berdiam diri di masjid dalam durasi/tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
I’tikaf sunah dilakukan setiap waktu, tetapi yang paling utama (afdhal) jika dilakukan dalam bulan Ramadhan. Konon Rasulullah selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Kemudian pada tahun di mana beliau meninggal dunia, beliau ber-i’tikaf selama dua puluh hari. Ketika beliau tidak bisa i’tikaf, beliau kemudian menggantinya dengan i’tikaf sepuluh hari pertama di bulan Syawal
Hadits riwayat Aisyah ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]
I’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
Pelajaran i’tikaf intinya adalah mengurangi hubungan dengan orang banyak. Dalam ayat Qs. Al-Baqarah ayat 187 ini, Allah melarang makan minum dan mencampuri istri pada saat i’tikaf di masjid. Ini pun juga sebuah keringan.
Editor: Yahya FR