Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi teologis dan rasional. Tulisan ini ingin mencoba memaknai puasa melalui pendekatan filsafat, khususnya eksistensialisme, untuk memahami bagaimana praktik ibadah ini bukan hanya sebagai perintah teologis, tetapi juga sebagai bentuk kesadaran manusia atas keberadaannya.
Pendekatan Filsafat dalam Memahami Agama
Filsafat, yang secara harfiah berarti “cinta kebijaksanaan”, mengajarkan manusia untuk berpikir rasional dan memahami kebenaran melalui akal budi. Menurut Al-Kindi, seorang filosof Islam, filsafat dan agama tidak memiliki pertentangan karena kebenaran dapat ditemukan melalui wahyu dan akal. Ilmu tauhid bahkan dianggap sebagai cabang termulia dari filsafat.
Pemikiran ini memperlihatkan bahwa filsafat dan agama bukanlah dua entitas yang berlawanan, melainkan saling melengkapi. Al-Kindi menyatakan bahwa akal adalah anugerah dari Allah yang memungkinkan manusia untuk memahami wahyu. Dalam konteks ini, pemahaman agama melalui pendekatan filsafat dapat memperkaya pemahaman spiritual dan intelektual seseorang. (Harun Nasution: Filsafat dan Mistisme dalam Islam).
Sejarah Puasa
Puasa, dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum bermakna imsak “menahan diri”. Puasa disyariatkan kepada umat Islam melalui wahyu yang bersifat rasional, mampu dinalar. Al-Qur’an menyebutkan bahwa puasa diwajibkan agar umat Islam mencapai tingkat ketakwaan yang lebih tinggi (QS. Al-Baqarah/2: 183). Ayat puasa ini turun setelah nabi berhijrah ke Madinah. Artinya selama di Makkah belum terdapat syariat khusus mengenai puasa.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa umat Islam pada awalnya berpuasa tiga hari setiap bulan sebelum diganti dengan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, sebuah tradisi yang juga dilakukan oleh umat terdahulu, termasuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Sejarah puasa menunjukkan bahwa praktik ini sudah ada sejak zaman Nabi Nuh As. dan diteruskan oleh umat-umat berikutnya. Puasa bukan hanya sebuah tradisi agama, lebih dari itu puasa merupakan sarana untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. (Ibnu Katsir: Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim).
Eksistensialisme dan Puasa
Spirit puasa yang dikemukakan di atas menarik jika diselami maknanya melalui filsafat eksistensialisme perspektif Kierkegaard. Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang harus menciptakan makna di alam semesta yang tampak hampa ini. Kata eksistensi sendiri berakar dari bahasa latin existere yang berarti“keluar dari”, “berdiri”, “melampaui”.
Eksistensi merupakan sebuah proses yang dinamis. Manusia berdiri sebagai diri sendiri, dan untuk menemukan makna manusia keluar dari dirinya, melahirkan kesadaran bahwa dirinya ada dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang ia miliki.
Eksistensialisme yang diperkenalkan oleh Soren Kierkegaard menekankan bahwa realitas eksistensi hanya dapat dialami secara subjektif oleh manusia. Eksistensi merupakan cara khas manusia mengada. Kierkegaard membagi tahap perjalanan eksistensi manusia menjadi tiga: tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius.
Tahap estetis adalah tahap awal di mana manusia masih mencari kesenangan dan menghindari penderitaan tanpa mempertimbangkan nilai moral. Pada tahap etis, manusia mulai memahami pentingnya norma dan nilai moral dalam hidupnya. Puncak dari eksistensialisme adalah tahap religius, di mana manusia melakukan tindakan berdasarkan keyakinan iman yang mendalam, sehingga tindakan mereka menjadi objektif dan rasional. (Nurbaiti: Pendekatan Filsafat dalam Kajian Islam).
Dalam konteks puasa, pendekatan eksistensialisme dapat diidentifikasi pada tahap religius ini. Manusia yang sadar akan eksistensinya mampu memilih dan melaksanakan ajaran agama, termasuk puasa, atas dasar keimanan mereka. Pada konteks ini, Rasulullah Saw. pernah menegaskan pentingnya tanggung jawab individu dalam setiap perbuatan, pemikiran eksistensialisme senafas dengan ungkapan ini. (HR. Thabrani, tentang nasihat Jibril kepada Nabi Muhammad).
Puasa sebagai Ibadah Eksistensial
Puasa melatih manusia tentang seni menahan diri dan bertindak berdasarkan nurani. Puasa melatih cara beragama secara dewasa, dengan beribadah bukan karena paksaan dari luar, melainkan karena ketulusan dari dalam diri. Melalui puasa, seorang eksistensialis dapat meraih pengalaman spiritual yang mendalam. (Yudi Latif: Moral Puasa).
Ibadah puasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu, syahwat, ucapan, tindakan dan berfokus pada peningkatan kualitas diri. Dalam filsafat eksistensialisme, puasa dapat dilihat sebagai bentuk pencarian makna dan pemenuhan eksistensi manusia. Manusia eksistensialis yang menjalankan puasa dengan penuh kesadaran akan menemukan makna dalam setiap tindakan yang dilakukan.
Puasa memiliki banyak manfaat, baik dari segi spiritual maupun kesehatan. Dalam perspektif eksistensialisme, puasa membantu manusia untuk lebih sadar akan keberadaan dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Manusia yang menjalankan puasa dengan penuh kesadaran, akan lebih mampu mengenali dirinya sendiri dan hubungannya dengan Tuhan, sebab puasa adalah ibadah khusus sekaligus tersembunyi antara hamba dengan Allah, dalam Islam kita menyebutnya ihsan.
Secara spiritual, puasa membantu memperkuat hubungan manusia dengan Tuhan melalui peningkatan kualitas ibadah dan kedisiplinan diri. Dari segi kesehatan, puasa dapat membantu mengatur pola serta mental manusia terhadap makanan dan meningkatkan metabolisme tubuh. Senada dengan hal ini, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa puasa itu menyehatkan (HR. Thabrani). Dengan demikian, puasa tidak hanya bermanfaat dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Kajian Islam dengan pendekatan filsafat eksistensialisme menunjukkan bahwa antara wahyu dan akal tidak ada pertentangan. Puasa sebagai perintah agama dapat dipahami secara rasional dan objektif, bukan sekadar perintah teologis. Pembelajaran dari puasa juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal menahan diri dan bertindak yang dilandasi kesadaran akan tanggung jawab.
Melalui pendekatan eksistensialisme, puasa dapat dipahami sebagai ibadah yang memperkaya pengalaman spiritual manusia. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang refleksi diri, pengendalian hawa nafsu, dan peningkatan kualitas diri. Dengan menjalankan puasa, manusia dapat meraih makna dan tujuan hidup yang lebih autentik.
Nabi Muhammad Saw menyebutkan bahwa puasa adalah ibadah khusus antara hamba dan Allah Swt. Karena itu, Allah sendiri yang akan memberi ganjaran terbaik kepada orang yang berpuasa. (HR. Muttafaqun Alaih).
Editor: Soleh