Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi tidak mempunyai data yang dapat membuktikan seberapa ikoniknya ayat itu, tetapi sebagian mungkin setuju dengan penyataan tersebut.
Daripada disibukkan dengan iya atau tidaknya pernyataan di awal, yang jelas ayat itu – dan ayat-ayat setelahnya – mengomunikasikan kepada para pembacanya ihwal puasa Ramadhan yang merupakan kewajiban.
Kata Kutiba dalam Al-Qur’an
Bila melihat Al-Muʻjam Al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an Al-Karim, dapat kita saksikan bagaimana kata kutiba terulang sebanyak tiga belas kali dalam Al-Qur’an. Tiga belas kata kutiba tersebut, dapat ditemukan pada lima Surah dalam Al-Qur’an, yaitu Surah Al-Baqarah, Surah Ali ʻImran, An-Nisa’, Surah At-Taubah, dan Surah Al-Hajj.
Pada Surah Al-Baqarah sendiri, kata tersebut terdapat dalam tujuh ayat. Ini bisa kita temukan pada ayat 178, ayat 180, ayat 183 sejumlah dua kali, ayat 216, dan ayat 246 sejumlah dua kali.
Sementara pada Surah Ali ʻImran, kata tersebut terulang sekali dalam ayat 154. Pada Surah An-Nisa’ ia terulang dua kali, yakni dalam ayat 77 dan 127. Pada Surah At-Taubah kata tersebut terulang dua kali dalam ayat 120 dan 121. Serta pada Surah Al-Hajj ia terulang sekali yakni dalam ayat 4.
Dimensi Non-dogmatis Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah ayat 183
Kendati telah banyak dibahas maupun diulas perihal kata kutiba dalam ayat ini, tidak ada salahnya dalam rangka refleksi pun kontemplasi kita khususnya pada momentum Ramadhan ini. Tulisan ini menilik kembali penggunaan kata tersebut pada ayat ini.
Ayat ikonik seperti halnya asumsi saya diawal tadi, mengawali redaksinya dengan panggilan mesra yang kemudian dilanjutkan dengan pewajiban puasa: kutiba ʻalaikum ash-shiyam. Siapakah yang mewajibkan? Tentu saja Allah SWT. Namun dengan bentuk kata kutiba pada fragmen ayat tersebut yang berupa fiʻl al-madhi al-majhul, tidak ditunjuk ataupun disebutkan subjek yang mewajibkannya, yaitu Allah SWT.
Itu karena subjek yang mewajibkan sudahlah jelas yakni Allah SWT, hanya saja tanggapan M. Quraish Shihab mengenai hal ini kiranya amat menarik, di mana dengan tidak ditunjuk ataupun disebutkannya Allah SWT sebagai subjek yang mewajibkan pada ayat tersebut, mengisyaratkan betapa signifikan pun pentingnya apa yang diwajibkan. Apa yang diwajibkan itu sangatlah berarti pun bermanfaat untuk tiap-tiap individu bahkan juga kelompok.
Meski bila bukan Allah SWT yang mewajibkan, niscaya manusia sendirilah yang akan mewajibkannya atas dirinya. Tanggapan ini, bukanlah tanggapan yang tanpa pembuktian tentunya. Sederhana saja, silakan tanyakan pada seseorang yang tengah melakukan pengobatan tertentu, tidak jarang puasa turut mengambil bagian.
Selain itu dapat juga kita temukan berbagai penelitian dengan temuannya yang mengafirmasi betapa bermanfaatnya puasa bagi kesehatan manusia, baik itu fisik maupun mental. Nah, pada bagian ini terlihat bagaimana puasa tidak hanya berkutat pada urusan dogma ataupun ajaran agama, nyatanya banyak orang hari ini yang mewajibkan dirinya sendiri dengan alasan-alasan yang tidak melulu bersifat teologis pun dogmatis.
Mengapa Kata Kutiba?
Sekarang mari kita lihat juga mengapa justru kata kutiba yang digunakan Al-Qur’an dalam ayat ini? Padahal untuk mengungkapkan pewajiban tersebut bisa saja digunakan kata furidha ataupun kata lainnya yang memiliki kedekatan makna. Ini bisa dimulai dengan melihat huruf-huruf yang menyusun kata kutiba itu sendiri.
Kata tersebut terdiri dari huruf kaf, ta, dan ba, sebagaimana Ibn Faris dalam Muʻjam Maqayis Al-Lughah, mulanya bermakna mengumpulkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Umumnya, kata ini sering digunakan untuk mengumpulkan huruf-huruf hingga menjadi kata, menjadi tulisan. Karenanya menurut penerjemahannya secara sederhana ke dalam bahasa Indonesia sendiri, kata kataba yang tersusun dari huruf-huruf tersebut, kerap diartikan sebagai telah menulis ataupun telah mencatat.
Penggunaan kata kutiba untuk mengungkapkan pewajiban berpuasa dibanding dengan kata yang mempunyai kedekatan makna lainnya itu bisa dimengerti, bila kita melihat apa yang diwajibkan itu sendiri. Ya tentu saja kita sudah tahu bahwa yang diwajibkan adalah puasa. Namun untuk menunjuk puasa sebagai apa yang diwajibkan itu digunakan diksi ash-shiyam oleh Al-Qur’an.
Ash-shiyam yang merupakan mashdar dari shama – yashumu itu tidaklah sendirian, terdapat pula ash-shaum seperti yang digunakan dalam Surah Maryam ayat 26, di mana Maryam menahan diri untuk berbicara. Karenanya, baik Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir maupun Sayyid Thanthawi dalam At-Tafsir Al-Washith menyampaikan bagaimana diam itu juga disebut ash-shaum. Hal ini berkaitan dengan artian secara etimologisnya, yakni menahan dan menghindari berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain.
***
Nah, sekarang mengapa kata kutiba yang digunakan pada ayat tersebut mungkin sudah sedikit bisa dimengerti. Seolah-olah puasa memanglah telah dicatatkan atas manusia, ya memang dengan melihat pengertian harfiahnya, manusia mempunyai naluri untuk menahan diri. Untuk mengafirmasi hal ini bisa mengacu kepada penelitian Wali Ramadhani, Tafsir Sastrawi Menelusuri Makna Puasa dalam Al-Qur’an, yang mengungkap bahwa tendensi penggunaan kata tersebut lebih menunjukkan kepada sesuatu yang melekat.
Artinya, menahan diri yang merupakan naluri manusia itu adalah sesuatu yang melekat pada manusia. Dengan itu, penggunaan kata kutiba lebih sesuai bila disandingkan dengan ibadah puasa yang mana menurut pelaksanaannya diperintahkan untuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan ibadah tersebut dari terbit fajar hingga terbenam matahari, sedangkan tabiat manusia yang menahan diri itu telah melekat pada jiwa manusia.
Sementara kata kutiba pada potongan ayat setelahnya pun memperlihatkan sekaligus memperkuat bagaimana ibadah puasa merupakan suatu yang alamiah bagi manusia. Buktinya saja, bagaimana puasa yang diwajibkan itu telah pula diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Di sini Al-Qur’an mengomunikasikan perihal pewajiban puasa yang pula untuk generasi-generasi terdahulu, bahkan ia telah disyari’atkan semenjak Nabi Adam sebagai manusia pertama, kendati tiap-tiap kaum maupun generasi memiliki tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda. Jadi puasa yang diwajibkan ini bukanlah suatu yang artifisial bagi manusia.
Demikian tilikan yang amat sederhana oleh tulisan ini terhadap kata kutiba pada Surah Al-Baqarah ayat 183. Apa yang ditilik di sini tentu saja sangatlah perlu ditelaah lebih jauh.
Editor: Ahmad