Tafsir

Virus Covid-19 dan Salah Paham Tentang Takdir

3 Mins read

Covid-19—MUI dan Muhammadiyah mengeluarkan himbauan terkait Salat Jumat di daerah zona merah virus Corona. Di daerah yang banyak terjadi pandemi Corona sehingga masuk dalam tingkatan parah atau zona merah, Salat Jumat boleh tidak dilaksanakan, diganti dengan Salat Zuhur di rumah masing-masing. Adapun daerah yang masih masuk dalam zona kuning atau hijau, maka Salat Jumat tetap dilaksanakan secara berjamaah.

Himbauan ini telah tersebar luas melalui internet dan media sosial. Memunculkan polemik di tengah masyarakat baik yang pro maupun kontra. Bagi yang pro himbauan tersebut merupakan hal yang rasional guna mencegah penyebarluasan virus Covid-19. Dalam ilmu fikih pun dikenal yang dinamakan dengan rukhshah, kemudahan yang diberikan apabila ada uzur. Hal yang mirip lebih dulu dilakukan oleh pemerintah Kerajaan Saudi yang melarang ibadah umroh dan mengosongkan ka’bah.

Bagi yang kontra, himbauan MUI dan Muhammadiyah seolah-olah umat Islam lebih takut kepada penyakit daripada kepada Allah SWT. Menurut yang kontra hendaknya kita berserah diri kepada takdir Allah SWT, kalau memang sudah ditakdirkan tidak sakit maka ada virus pun tidak akan sakit. Jika Allah SWT menakdirkan sakit kita melakukan ikhtiar apapun tetap akan sakit.

Berpindah dari Satu Takdir ke Takdir Lain

Takdir adalah sesuatu yang wajib diimani karena menjadi bagian dari enam rukun iman. Iman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu pilar keimanan disamping lima pilar lainnya. Secara sederhana, takdir itu ada yang tidak bisa diubah dan ada yang bisa diubah. Soal jenis kelamin kita adalah jenis takdir yang tidak bisa diubah dan dipilih. Murni kekuasaan Allah SWT. Namun soal apakah kita pintar atau bodoh bukanlah takdir yang tak bisa diubah, namun bisa diubah oleh ikhtiar kita.

Baca Juga  Menyoal Poligami: antara Ajaran Islam dan Pemuasan Berahi Seksualitas

Lantas bagaimana dengan wabah Covid-19? Apakah termasuk takdir yang bisa diubah atau tidak? Penulis ingat dengan sebuah kisah saat Umar bin Khattab dengan pasukannya akan masuk ke negeri Syam. Pada waktu itu, di negeri Syam sedang terjadi wabah. Oleh karena itu Umar menunda kepergiannya ke Syam, agar tidak terkena wabah.

Melihat hal itu, seorang sahabat bertanya kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah jika memang sudah takdirnya kita kena wabah, maka kita akan kena? Mengapa engkau menghindar dari takdir Allah SWT?” ujarnya. Mendengar hal itu Umar bin Khattab menjawab, “Aku tidak menghindari takdir, tapi aku hanya berpindah dari takdir Allah SWT yang satu kepada takdir Allah SWT yang lainnya.” Ujar Umar.

Jawaban Umar mengisyaratkan bahwa kita sebagai manusia bisa memilih takdir kita masing-masing. Dalam QS. Al Furqan:2, Allah SWT menyatakan telah menciptakan segala sesuatu dan telah menetapkan ukuran dari segala sesuatu itu (faqaddarahuu taqdiiraan). Inilah yang disebut takdir, yakni hukum-hukum yang telah Allah tetapkan dalam segala sesuatu. Kita lebih sering menyebutnya dengan sunnatullah atau hukum alam.

Sunnatullah dan Qadarullah

Kata sunnatullah sendiri disebutkan dalam firman Allah SWT QS. Al Ahzab: 62. Allah SWT menyebutkan bahwa hukum Allah ditetapkan bagi kaum yang sebelumnya, dan tidak ada perubahan dalam hukum Allah (wa lan tajida lisunnatillahi tabdiilaa). Nurcholis Madjid berpendapat bahwa istilah sunnatullah tidak tepat diartikan hukum alam, menurut Cak Nur sunnatullah adalah hukum yang berlaku untuk perilaku sosial suatu umat.

Adapun hukum alam seperti gravitasi, lebih cocok dengan sebutan taqdirullah seperti yang difirmankan dalam QS. Al Furqan: 2. Namun di masyarakat sudah terlanjur menerjemahkan sunnatullah menjadi hukum alam.

Baca Juga  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (2): Ayat Mutasyabihat itu Tetap Bisa Dipahami!

Dari uraian sebelumnya, kita bisa pahami bahwa upaya-upaya pencegahan virus Covid-19 yang kita lakukan sekarang bukanlah dalam rangka melawan takdir, namun dalam rangka berpindah dari satu takdir Allah kepada takdir lainnya. Boleh jadi saat kita lengah dan berleha-leha, Allah menakdirkan kita seperti Iran dan Italia. Namun saat kita waspada dan berikhtiar maksimal, Allah takdirkan kita terhindar wabah Covid-19 yang parah dan segera pulih kembali. Tinggal kembali kepada kita mau memilih takdir yang mana.

Dalam Al Qur’an umat Islam diperintahkan Allah SWT untuk menjadu Ulul Abshar, Ulul Albab, Ulun Nuhaa yang karena keterbatasan bahasa Indonesia diartikan seragam, yakni orang-orang yang berakal. Saat akan manusia dimaksimalkan maka manusia bisa memahami misteri takdir Allah SWT seperti virus Covid-19. Karena itu kita perlu juga menghargai para ilmuwan dan dokter yang berjuang untuk mengatasi virus ini, merekalah manusia-manusia yang menjalankan perintah Allah untuk memaksimalkan akal pikiran dan mengamati alam semesta.

Menerima Ketetapan Allah SWT

Dalam QS. Al Hadid: 22-23, Allah SWT berfirman: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Ayat di atas menerangkan bahwa musibah yang menimpa bumi atau manusia telah ditetapkan di lauhul mahfuzh. Apakah ayat tersebut bertentangan dengan uraian sebelumnya? Dimana manusia dapat berpindah dari satu takdir kepada takdir lain? Hemat penulis yang perlu ditekankan dari QS. Al Hadid 22-23 adalah jika suatu bencana sudah terlanjur menimpa kita, maka kita harus menerimanya sebagai ketetapan Allah SWT.

Gunanya agar kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Kalaupun takdir adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT sejak zaman azali, namun kita tidak tahu apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Maka sebelum takdir itu terjadi, tidak boleh kita pasrah dan menyerahkan kepada takdir. Sebelum takdir terjadi, tugas kita adalah berikhtiar semaksimal mungkin. Saat takdir sudah terjadi, barulah tugas kita untuk ridha dengan segala ketetapan Allah SWT.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *