Falsafah

Puasa Menurut Kaum Sufi dan Filsuf

4 Mins read

Puasa Menurut Sufi dan Filosof

Puasa Menurut Sufi – Belakangan ini, kita sering dikenalkan dengan ibadah yang begitu istimewa tiada tanding yang menjadi kebanggaan umat Islam, yakni ibadah puasa.  Ibadah puasa kali ini adalah ibadah yang penuh dengan cobaan. Menapa demikian? Karena puasa kita di tahun ini masih berada dalam keadaan pandemi Covid-19.

Sebagai umat Islam, kita jangan sampai lupa esensi dari puasa itu sendiri. Utamanya di penghujung bulan puasa ini, harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Ada hal yang menarik dari kaum sufi dan filsuf dalam memandang ibadah puasa. Mereka memiliki pandangan yang unik dan berbeda.

Salah satu hadis Nabi menyebutkan, “Banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apapun dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus”.

Berpijak dari hadis di atas, kaum sufi tidak hanya memandang puasa sebagai ibadah lahiriyah tapi juga ibadah ruhaniyah.

Puasa Menurut Sufi Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa: pertama, puasa umum (biasa), khusus (spesial), dan khususil khusus (istimewa).

Pertama, puasa umum (dimensi eksoteris), adalah puasa yang hanya menahan diri dari rasa lapar, haus, dan syahwat kemaluan.

Kedua, puasa khusus (dimensi semi-esoteris), adalah puasa yang tidak hanya menahan diri dari makanan dan syahwat kemaluan, namun juga panca indera dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa dan tercela atau disebut sebagai shoum al-jawarih.

Ketiga, puasa khususul khusus (dimensi esoteris) adalah puasa yang menahan diri dari hal-hal yang hina, pikiran duniawi, serta menahan diri mimikirkan selain Allah SWT.

Dari sini, kita dapat mengerti bahwa puasa menurut imam al-Ghazali bertingkat-tingkat.

Al-Ghazali menganggap bahwa puasa adalah ibadah istimewa yang bisa menghantarkan kepada Makrifat Billah.

Mengapa demikian? Karena pada kitab Jawahirur At-Tasawwuf, disebutkan bahwa lapar ibarat cahaya, kenyang ibarat api, dan syahwat ibarat kayu bakar yang siap tersulut oleh kobaran api.

Baca Juga  Filsafat Bunuh Diri vs Teologi Kesucian Hidup

Ketika orang sedang berpuasa, akan lebih mudah menerima bisikan lembut dalam dirinya (pancaran ilahiyah yang Allah turunkan ke dalam hati orang yang Allah kehendaki). Sehingga, hatinya tidak gelap dan terang benderang karena ada cahaya Tuhan yang bersinar.

Hal itulah yang bisa menghantarkan dia sadar kepada Allah SWT. Dalam kitab ini, kita bisa menyimpulkan bahwa ibadah puasa sebenarnya akan menambah cahaya dalam diri kita yang mulai redup akibat dosa dan kesalahan kita.

Fungsi puasa yaitu pengendali diri atau pengontrol diri manusia dari syahwat lahiriyah dan batiniyahnya. Serta sebagai pelindung dari bisikan setan (karena puasa dapat mempersempit sel pori-pori manusia (dimana syetan biasa masuk dari pori-pori tersebut).

Rasululloh SAW juga bersabda, “Wahai pemuda! Barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah bisa lebih menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwat” (HR. Bukhari).

Itulah salah satu bukti bahwa puasa adalah senjata yang ampuh untuk menahan gejolak nafsu/syahwat menurut perspektif Rasulullah.

Puasa ala Filsuf

Setelah kita mengetahui puasa yang dilakukan oleh kaum sufi, kita akan menawarkan bagaimana puasa dalam perspektif orang filsafat (filsuf). Tentu dalam hal ini, kami akan mengambil pandangan tokoh filsafat muslim.

Ketika kita melihat dalam sejarah perkembagan filsafat Islam sendiri, tentunya banyak sekali pasang surut.  Bahkan ada yang berpandangan bahwa filsafat Islam tidak bisa berkembang dan hanyalah fotocopy dari filsafat Barat.

Sehingga, banyak dari golongan ulama Islam yang anti pati terhadap ilmu filsafat.

Puncaknya, saat Imam al-Ghazali mengkriktik Ibnu Rusyd dengan kitab yang fenomenal yaitu Tahafut Al-Falasifah, lalu mendapat respon yang luar biasa pula dari Ibnu Rusyd dengan karyanya yaitu Tahafut At-Tahafut.

Namun, bukan berarti tuduhan bahwa filsafat Islam itu fotocopy dari filsafat Yunani. Pasalnya Ibnu Rusyd mengembangkan ajaran filsafat dengan baik, serta membuat ilmu filsafat Islam menjadi ilmu filsafat yang berbeda dengan sebelumnya.

Baca Juga  Bagaimana Immanuel Kant Memandang Perdamaian?

Patut kiranya kita apresiasi kesungguhan ulama kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak hanya sebatas kepada ilmu agama, namun juga ilmu dunia/ pengetahuan umum.

Baiklah, kita kembali lagi kepada pembahasan puasa. Dalam puasa, ada hal yang menarik yang perlu kita jadikan sebagai ibrah. Jika kita cermati dari salah satu kisah filsuf Islam yaitu Sihabuddin Yahya al-Suhrawardi atau sering disebut dengan Al-Suhrawardi Al-Maqtul, ia memberikan pendapat bahwa salah satu manfaat puasa adalah mempersiapkan diri seseorang dalam menerima ilmu pengetahuan.

Hal itu terbukti dalam ujarannya bahwa bagi orang yang ingin membaca karyanya yang berjudul Hikmah al-Isyraq, sebaiknya berpuasa selama 40 hari terlebih dahulu.

Ini adalah syarat yang beliau tetapkan bagi penuntut ilmu atau pembaca karyanya. Karena tanpa melakukan puasa tersebut, pembaca tidak akan mendapatkan (tidak siap menerima) ilmu pengetahuan yang ada dalam kitabnya.

Lantas, apakah benar pernyataan beliau? Jika kita melihat ke dalam perkembangan sejarah ulama dan cendekiawan muslim dahulu, ternyata hal ini memanglah benar.

Artinya, banyak ulama yang melakukan puasa demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Dan dengan berpuasa, maka jiwanya terkontrol/ terkendali. Sebagaimana Ibnu Sina, Imam Syafi’i, Imam Nawawi, dan lain-lain. Imam Nawawi adalah ulama yang hebat, beliau dalam mencari ilmu sering berpuasa dan ketika malam beliau qiyamul lail serta tekun dalam belajar.

Sehingga, dari kebiasan beliau yang luar biasa, bisa menghantarkannya meraih ilmu yang ia inginkan. Dan di negeri kita, hal ini bukanlah hal yang asing. Pasalnya, banyak para pelajar di Indonesia yang sering melakukan puasa Senin-Kamis dengan harapan ia akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Selain itu, ternyata ketika berpuasa, aliran otak menjadi lebih lancar. Sehingga, mudah untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Sebagaimana hal ini juga sering dilakukan oleh presiden ketiga indonesia yaitu Prof. BJ Habibie serta masih banyak lagi tokoh sukses Indonesia.

Baca Juga  Skeptisme Al-Ghazali untuk Menemukan Kebenaran yang Hakiki

Jadi, puasa dalam sudut pandang kaum filsafat amatlah penting. Di mana filsafat memiliki perhatian yang lebih dalam pemikiran yang radikal, rasional, universal, dan sistematik.

Namun, untuk mewujudkan pikiran yang demikian itu, filsuf muslim dan secara umum ulama-ulama Islam senantiasa menyertakannya dengan ibadah puasa.

Karena, ketika berpuasa, gejolak emosional kita menjadi terarah dan lebih stabil. Serta, bisa lebih fokus. Maka dalam berpuasa, seharusnya bisa menjadi wahana bagi kita dalam ber-tafakkur atau mengerahkan daya berpikir pada hal-hal yang bermanfaat.

Editor: Yahya FR

Najib Asyrof Imtiyaz
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds