Perspektif

Pukul Sapu: Tradisi Lebaran Masyarakat Maluku

3 Mins read

Sebelum membahas Pukul Sapu, perlu kiranya ada ulasan singkat tentang lebaran. Hari raya Idulfitri atau lebaran merupakan hari kemenangan. Hari yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim setelah menjalankan puasa selama di bulan Ramadhan. Idulfitri dimaknai sebagai lahirnya jiwa-jiwa baru, jiwa yang kembali suci dari dosa yang telah lalu juga hari untuk saling memaafkan antar sesama. Di hari Idulfitri, tradisi bersilaturahmi bersama sanak saudara, tetangga, dan teman-teman.

Berbagai tradisi dilakukan untuk menyambut hari kemenangan itu. Yang paling ramai adalah tradisi mudik lebaran, makan ketupat, dan halalbihalal. Meski demikian, ada sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Maluku saat lebaran tiba, khususnya desa Morella dan Mamala, Ambon. Yaitu tradisi Pukul Sapu yang dilaksanakan setiap tanggal 7 Syawal.

Pukul Sapu

Pukul Sapu merupakan sebuah atraksi yang dilakukan oleh para pria secara berkelompok. Umumnya terdiri dari 20 orang anggota. Masyarakat Ambon menyebutnya dengan “Baku Pukul Menyapu” yang artinya memukul dengan sapu lidi. Kegiatan ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak tahun 1646. Tradisi ini menjadi salah satu momen untuk mengenang para pahlawan terdahulu.

Atraksi akan dilakukan dengan cara setiap anggota memukul anggota lain menggunakan sapu lidi yang memiliki panjang 1,5 cm selama 30 menit hingga badan lawan luka-luka. Meski terluka, lawan tak pernah memendam amarah dan dendam di dalam hatinya. Ini menjadi symbol perjuangan melawan penjajah. Selain itu, atraksi ini juga menjadi alat untuk mempererat tali silaturahmi.

Atraksi ini tak serta merta meninggalkan lawan yang terluka begitu saja. Mereka akan menyembuhkan luka tersebut sesuai dengan kepercayaan daerah masing-masing. Ini juga berkaitan dengan asal usul tradisi. Ya, kedua desa–Morella dan Mamala–mempunyai latar belakang masing masing terkait diadakannya kegiatan ini di desanya.

Baca Juga  Orang Muda, Partai Politik, dan Pemilu 2024

Raja Morella, Akib Latukau mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan untuk mengenang perjuangan Kapitan Telukabessy saat melawan VOC di tahun 1637-1646. Desa ini akan menyembuhkan luka akibat atraksi tersebut dengan getah jarak.

Berbeda dengan Morella, Abdullah Malawat Raja Mamala mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan untuk mengenang pembuatan masjid Mamala pada tahun 1646. Dimana pembuatan masjid ini dilakukan tanpa bantuan paku. Tiang-tiang masjid hanya disambung dengan minyak yang kemudian dibungkus dengan kain putih. Akibatnya, penyembuahan luka bekas Pukul Sapu dilakukan dengan minyak kelapa yang dicampur cengkeh.

“Walaupun tradisi ini memiliki dua makna berbeda, namun hal inilah yang menjadi kebanggaan tersendiri. Keduanya justru mampu memperkaya budaya Maluku,” ungkap Kepala Dinas Maluku, Salim Kairoty saat membuka tradisi Pukul Sapu pada 7 Syawal 1432H/2011M silam.

Sejarah

Seperti yang telah disebutkan di atas, ada dua versi terkait sejarah Pukul Sapu. Yang pertama dilakukan secara turun temurun untuk mengenang keberhasilan pembangunan masjid tanpa menggunakan paku atau “ping” di desa Mamala pada abad XVII.

Alkisah, Imam Tuny, imam masjid saat itu bersama dengan dua orang sahabatnya berniat untuk membangun masjid. Segala bahan telah dipersiapkan. Namun saat mendirikan masjid ada sedikit kendala untuk menyambungkan kayu penyangga. Sang imampun berdoa kepada Tuhan agar diberi pencerahan.

Alhasil, Imam Tuny bermimpi agar kayu tersebut disambung menggunakan minyal Tasala. Minyak Tasala dibasahkan pada potongan kain putih yang kemudian akan digunakan untuk menyambung kayu-kayu. Keberhasilan ini tepat pada tanggal 7 Syawal. Yang kemudian ditandai dan dirayakan dengan tradisi Pukul Sapu hingga kini.

 Tak hanya tentang keberhasilan pembangunan masjid, tradisi Pukul Sapu juga dilakukan untuk mengenang perjuangan para pejuang yang telah gugur. Melalui tradisi ini, warga Maluku dapat merasakan bagaimana pahlawan terdahulu melawan VOC.

Baca Juga  Manajemen Rantai Pasokan Halal di Hari Lebaran

Walau mengingat perjuangan bisa dengan mengirim doa, namun dengan menggelar tradisi Pukul Sapu, mampu memunculkan rasa cinta dan rindu terhadap pahlawan yang telah gugur.

Tidak Merugikan Sama Sekali

Dilihat sekilas, tradisi ini memang sedikit berbeda, yakni menyakiti tubuh lawan. Meskipun demikian, Trdisi ini sama sekali tidak merugikan bagi mereka yang menggelar atau mengikutinya. Sebaliknya, tradisi ini justru dipercaya dapat menambah rezeki bagi yang melakukannya.

Dengan tradisi Pukul Sapu, para pria merasa bangga bahwa dirinya bias merasakan apa yang dirasakan pahlawan saat melawan VOC dan mengenang Imam Tuny ketika mendirikan masjid. Khusus para pria yang memiliki badan kekar tentu tak pernah merasa rugi karena badannya terluka. Mereka justru berlomba lomba untuk melaksanakan tradisi ini.

Berpuluh puluh tahun tradisi ini digelar, namun tak pernah ada yang merasa dirugikan akibat tradisi ini. Justru ketika Pukul Sapu tak lagi digelar, maka akan menjadi tanda tanya masyarakat luas. Karena tradisi adalah simbol keberagaman dan kekayaan bangsa, khususnya masyarakat Maluku.

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Farhanah Fatin. Sebut saja Preman Maluku.
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *