Pandemi COVID-19 tidak dipungkiri telah memukul kehidupan masyarakat dunia, tidak hanya terkait kesehatan masyarakat, namun juga ekonomi. Sejak virus ini mulai meluas ke berbagai negara, virus ini telah menimbulkan banyak persolaan terkhusus bagi masyarakat perkotaan. Pulang kampung pun menjadi pilihan untuk menghindari “misi bunuh diri secara perlahan”.
Hal ini terjadi karena kawasan perkotaan di berbagai negara, salah satunya Indonesia, menjadi kawasan yang paling terdampak akibat pandemi ini. Tidak hanya sebagai pusat perekonomian, sekarang kawasan perkotaan juga menjadi pusat penyebaran penyakit.
Misi Bunuh Diri
Kehidupan ekonomi di perkotaan begitu hebatnya terpukul oleh pandemi ini. Satu per satu lapangan pekerjaan mulai kehilangan daya untuk memberi kehidupan bagi para pekerjanya. Tidak perlu riset yang mendetil, pukulan keras terhadap perekonomian masyarakat perkotaan sangat terlihat dari sepinya dagangan mereka, sepinya angkutan mereka, dan bahkan banyaknya gelombang PHK yang terjadi.
Barangkali pukulan ini tidak begitu dirasakan bagi mereka yang bekerja dibalik meja, berseragam, dan mendapat gaji pasti setiap bulannya. Tapi bagi mereka para pencari nafkah di jalanan, tentu runtuhnya perekonomian akibat pandemi ini menjadi bencana yang luar biasa.
Masyarakat perkotaan di Indonesia, ambil saja contoh DKI Jakarta, sebagian besar merupakan masayarakat perantau dari daerah. Bermigrasi dari desa dengan tujuan mendapat kesempatan perekonomian yang lebih besar sehingga meningkatkan taraf perekonomian dan sosial mereka.
Namun, banyak dari mereka yang bernasib kurang baik karena kalah dalam persaingan kualitas sumberdaya manusia sehingga mereka hanya bisa bekerja di sektor informal perkotaan seperti pedagang, tukang ojek, atau bahkan pemulung sampah.
Tidak disangka, gelombang pandemi di awal tahun ini memaksa mereka kehilangan pekerjaannya, banyak dari mereka tidak mendapat uang setiap harinya, banyak pula yang harus diberhentikan tanpa mendapat gaji atau pesangon.
Lalu jika demikian, apa alasan mereka untuk bertahan di kota di saat pandemi? Memaksa tetap tinggal di perkotaan seolah menjadi misi bunuh diri secara perlahan.
Pulang Kampung Jadi Pilihan
Gelombang migrasi kembali masyarakat perkotaan menjadi titik puncak dari keputusasaan masyarakat terhadap kompleksitas persoalan di perkotaan akibat COVID-19. Fenomena ini terutama terjadi di negara-negara berkembang yang memang memiliki tingkat migrasi desa-kota yang tinggi seperti Indonesia dan India yang baru-baru ini beritanya menghiasi berbagai media.
Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan selama di perkotaan didukung pula tidak adanya bantuan sosial dari pemerintah yang menjamin kehidupan mereka selama di kota memaksa mereka untuk pulang ke daerah asalnya.
Mereka menjadi migran terpaksa namun tetap memiliki kemampuan untuk memilih ke mana tujuan mereka bermigrasi, yaitu keluarga di kampung. Keluarga di kampung dinilai menjadi jaring pengaman saat mereka tidak mampu lagi menghadapi buruknya dampak COVID-19 di perkotaan.
Miftah, seorang pekerja informal di perkotaan dalam sebuah wawancara di Mata Najwa menceritakan alasannya untuk pulang kampung. Bagi dia, pulang kampung adalah solusi terakhir setelah ia kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini.
Hasil panen dari sawah orang tuanya di desa diharapkannya dapat menjamin dirinya tetap bisa makan, jelas jauh berbeda apabila ia tetap memaksakan tinggal di kota. Gaji tidak ada, pekerjaan hilang, dan luput dari pendataan bantuan sosial oleh pemerintah setidaknya memberi gambaran bahwa ia tidak akan bertahan hidup di kota.
Hal serupa juga terjadi pada Neneng, sejak suami dan beberapa saudaranya di PHK maka mereka kembali ke rumah orang tuanya di desa. Mencari keamanan dan kepastian untuk tetap dapat hidup adalah alasannya. Kedua orang tersebut pada hanyalah contoh kecil dari jutaan masyarkat perkotaan yang telah dan mungkin akan tetap bermigrasi selama masa pandemi.
Dilema Pulang Kampung
Fenomena migrasi kembali di saat pandemi menjadi dilema yang luar biasa, baik bagi pemerintah atau bagi masyarkat itu sendiri. Migrasi kembali dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit yang lebih luas di daerah-daerah, namun tidak bermigrasi meningkatkan risiko munculnya masalah lain di perkotaan yaitu kelaparan dan kemiskinan.
Memang pemerintah seyogyanya dapat memberikan bantuan sosial kepada masyarakat kelas bawah di perkotaan untuk menjamin kehidupan mereka dan secara alami mencegah mereka untuk melakukan migrasi. Namun, tentu ini akan membutuhkan biaya pengeluaran yang besar bagi pemerintah, apalagi tidak jelas sampai kapan pemerintah harus menberi bantuan.
Jauh lebih sederhana dari pertanyaan itu adalah persoalan data, siapa yang mendapat bantuan. Kualitas data kependudukan yang buruk tak jarang menjadi penyebab tidak sampainya bantuan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah tidak mampu untuk menahan gelombang migrasi kembali tersebut. Sama tidak mampunya untuk menjamin mereka tetap hidup jika tidak bermigrasi.
Fenomena pulang kampung disaat pandemi pada dasarnya merupakan contoh dari bentuk-bentuk migrasi terpaksa. Tekanan yang hebat dari daerah asalnya (kota) akibat pandemi, memaksa masyarakat untuk kembali ke daerah asalnya. Pulang kampung adalah bentuk strategi hidup masyarakat, sebuah pilihan naluriyah untuk tetap melanjutkan hidup di daerah asalnya setelah tidak ada kesempatan hidup di daerah perantauan.
Namun, strategi hidup dengan cara bermigrasi ini menjadi kompleks. Sebab di lain sisi proses ini diduga dapat turut menyebarkan virus ke daerah-daerah lain–meskipun sebenarnya belum ada penelitian yang mendukung dugaan itu.
Perlu Intervensi yang Tepat
Fenomena pulang kampung sebagai strategi hidup hendaknya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk dapat meresponnya dengan benar. Memang migrasi ini dikhawartirkan menyebarkan virus. Tetapi mencegah gelombang migrasi dengan menutup akses transportasi, melarang migrasi dan memberi pidana jika melanggar, atau pengucilan di daerah tujuan bukan solusi yang inklusif.
Mengurangi daya dorong untuk bermigrasi dengan memastikan kehidupan masyarakat di perkotaan melalui bantuan sosial dinilai lebih tepat untuk dilakukan. Sebab kembali lagi bahwa keputusan bermigrasi merupakan naluri alamiah untuk melanjutkan hidup bagi masyarakat yang nasibnya tidak pasti di masa depan.
Editor: Nabhan