Perspektif

Puritanisme Modern dan Kegagapan Adaptasi Modernitas

4 Mins read

Belakangan ini terkait wacana keislaman, jagat media sosial disibukkan dengan fenomena puritanisme modern yang dikenal sebagai pemuda hijrah. Gerakan ini juga dikenal dengan semangat islam-ritual yang sangat tinggi. Fenomena ini membentuk kepribadian banyak pemuda di beberapa negara seperti di Indonesia dan Malaysia menjadi lebih religius dan peduli terhadap aspek ritual pada ajaran Islam.

Kebanyakan dari mereka memiliki masa lalu yang jauh dari kata religius dan berasal dari perkotaan, dengan kehidupan yang jauh dari spiritualitas. Besar kemungkinan, kekosongan spiritualitas tadi mendorong mereka untuk mendekati agama yang menawarkan ketenangan jiwa. Namun, karena berasal dari perkotaan, pemuda cenderung mencari Islam secara simplistis dan instan.

Puritanisme dan Islam yang Instan

Simplifikasi pembelajaran agama oleh pemuda hijrah, dilakukan dengan pemanfaatan sains dan teknologi yang hari ini serba cepat. Selain itu, Islam yang digemari adalah Islam yang ready-to-use atau instan, yang bersifat hitam-putih, boleh-tidak boleh, atau halal-haram. Padahal, ajaran Islam cukup kompleks untuk dipahami karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan.

Semisal, Quraish Shihab sebagai seorang cendekiawan muslim ditanya terkait hukum pengucapan selamat natal. Tentu beliau akan menjelaskan dari berbagai aspek dan dalil, serta beragam pendapat ulama baik yang mayoritas maupun minoritas.

Namun, ulama besar seperti Quraish Shihab kurang mendapat tempat di kalangan pemuda hijrah. Selain ceramahnya yang panjang, juga terdapat kompleksitas untuk memahaminya bagi sekedar orang awam. Hal ini menjadi celah bagi paham-paham puritanisme, yang cenderung lebih tegas dalam memberikan fatwa.

Islam puritan sendiri merupakan paham yang ingin mengembalikan ajaran Islam seperti pada masa kenabian Muhammad SAW. Hal ini karena belum terkontaminasi dengan proses ijtihad dan pengalaman-pengalaman sosiologis, sehingga ajaran tersebut dianggap masih murni.

Baca Juga  Anak Zaman Now: Dilahirkan Ibu, Diasuh Smartphone?

Dengan karakteristik Islam puritan yang ready-to-use, akhirnya ulama-ulama dari kalangan ini memainkan peran dalam fenomena hijrahnya para pemuda. Mereka bermain lewat berbagai platform media sosial seperti Instagram, Youtube, hingga Facebook. Sehingga puritanisme menjadi model praktik berislam yang baru dan masif, terutama di Indonesia.

Sayangnya, puritanisme cenderung menolak model interpretasi kontekstual dan sosiologis yang tentunya mempertimbangkan kondisi sosial-budaya dalam suatu masyarakat. Karena mereka hanya menyetujui interpretasi tekstual dengan melihat ajaran Islam tidak sebagai the living instrument. 

Oleh karenanya, puritanisme lebih bisa tegas tentang halal-haramnya suatu perbuatan, tanpa mempertimbangkan beragam faktor. Hal ini tentu berimplikasi pada kehidupan sosial-religi yang telah dibangun dengan melakukan beragam akulturasi nilai-nilai agama dan tradisi, serta modernitas. Sebagai pihak yang terdampak, fenomena pemuda hijrah yang awalnya berdampak positif, lambat laun menjadi negatif di masyarakat.

Kegagapan Atas Modernitas

Modernitas sendiri merupakan masa dimana manusia mengatasi kesulitannya dengan kreativitasnya sendiri dan menghilangkan banyak faktor mistisisme dalam hidupnya yang dimulai pasca-renaissance.

Modernitas hampir tidak dapat dibendung penyebarannya ke seluruh dunia, sehingga setiap kelompok masyarakat harus mulai beradaptasi dengan fenomena ini, tak terkecuali masyarakat muslim. Islam sebagai pegangan utama, juga dituntut untuk aktif berpartisipasi dalam masyarakat modern dengan kontekstualisasi ajaran-ajarannya.

Oleh karenanya, untuk menanggapi dinamika dan mobilitas masyarakat yang tinggi, fatwa-fatwa ulama tidak lagi hanya melihat ayat-ayat Al-Qur’an secara tekstual. Namun juga mempertimbangkan faktor-faktor sosial-budaya, ekonomi, politik, hukum, serta sains dan teknologi. Namun, kegagapan dalam menghadapi modernitas kerap terjadi pada masyarakat muslim. Ini menjadi wajar karena konsep agama Islam yang syumul, menghasilkan hukum islam, yang digolongkan oleh Max Webber sebagai sacred law.

Dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft: Gundriss der Verstehenden Soziologie, Webber menjelaskan bahwa sacred law gagap dalam menghadapi modernitas, karena ada batasan penting atas rasionalisasi dan konsep ketertiban dan sistem hukum. Webber bisa jadi benar, bila hukum Islam hanya menggunakan interpretasi tekstual yang tidak hidup, seperti yang dipahami oleh kaum puritan.

Baca Juga  Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

Model Adopsi Modernitas

Sebenarnya, untuk menghindari kegagapan tersebut, terdapat beberapa model adaptasi menarik yang dapat menjadi opsi bagi umat Islam dalam menghadapi modernitas. Menurut Dr. Ebrahim Afsah, terdapat empat model untuk mengadopsi modernitas bagi masyarakat muslim, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara.

Pertama, copying and emulating the western, masyarakat ini melihat untuk mencapai kemajuan, harus mencontoh secara gamblang segala aspek kehidupan dari barat, dengan kecenderungan sekularisasi. Model ini diadopsi Turki pada saat Kemal Attaturk menggulingkan kekuasaan Ottoman. Namun, dengan model emulasi dan sekularisasi, Turki bahkan kehilangan identitasnya.

Kedua, religious modernism, dengan tidak meninggalkan nilai-nilai Islam, tapi mereformasi penafsiran lewat kontekstualisasi dan reaktualisasi nilai-nilai keislaman agar tanggap terhadap modernitas dan kemajuan iptek. Upaya ini dilakukan agar ajaran Islam tetap dapat memainkan peran pada public spheres.

Ketiga, traditionalist, yang serupa dengan konservatisme. Model ini berusaha menjaga ajaran Islam tradisional-klasik tercemar dari nilai-nilai modernisme, terutama pada aspek sosial, sehingga tradisionalis membentuk closed-old societies. Namun, pada aspek-aspek tertentu seperti kemajuan iptek, masih dapat diterima.

Keempat, fundamentalist, yang menginginkan ajaran Islam kembali kepada masa lampau, masa kenabian Muhammad SAW. Model ini cukup identik dengan kelompok puritan yang akhir-akhir ini berkembang pesat di banyak negara muslim.

Kegagapan Kelompok Puritan Modern

Perkembangan pesat kelompok puritan modern pasca-wahabi, menjadi implikasi modernitas bila melihat asal-usul perkembangan dan pangsa pasarnya. Sayangnya, implikasi ini juga memperlihatkan bagaimana gagapnya banyak komunitas muslim dalam menghadapi modernisasi, sehingga kesannya umat muslim yang beragam cenderung kehilangan identitas kebudayaannya. Hal ini disebabkan oleh paham puritanisme yang cenderung menegasikan budaya yang hidup bersama agama ditengah masyarakat, karena dianggap sebagai benalu agama yang harus dimurnikan.

Baca Juga  Radikalisme dan Sikap Pemerintah yang Membingungkan

Padahal, ajaran Islam sangat mendukung idea of progress dan membuka kesempatan untuk ber-ijtihad, serta tidak hidup di ruang hampa. Oleh karenanya, model religious modernism mungkin menjadi piliha terbaik dalam menghadapi modernitas. Model ini dapat ditempuh dengan doktrin ruju’, yang berorientasi pada pemahaman Islam yang modern dan kosmopolitan.

Doktrin al-ruju’ dipakai juga oleh Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam yang reformis. Sebagai konsekuensinya, gerakan ini melakukan kontekstualisasi dan mereformasi ajaran Islam, agar sejalan dengan modernitas dan kebutuhan masyarakat kontemporer, namun tanpa melupakan warisan pemikiran Islam klasik secara proporsional.

Dengan model semacam itu, Islam tidak hanya bisa menjawab tantangan modernitas dan globalisasi, namun juga dapat menjadi pegangan bagi masyarakat awam yang serba praktis dan instan.

Editor : Rifqy N. A./Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Alumni Fakultas Hukum UGM, Ketua Umum HMI Komisariat Hukum UGM 2018-2019, Ketua Bidang Pembinaan Aparat Organisasi HMI Cabang Bulaksumur Sleman 2019-2020. Tertarik pada isu-isu dan diskusi-diskusi tentang Hukum, Politik, Pergerakan Mahasiswa, dan Islam Kontemporer
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds